Syariah

Miras sebagai Obat: Ragam Pendapat Ulama Lintas Mazhab

Ahad, 20 Juni 2021 | 13:15 WIB

Miras sebagai Obat: Ragam Pendapat Ulama Lintas Mazhab

Status hukum miras atau minuman keras sudah dikenal pada era Nabi dengan proses yang cukup dinamin, tidak langsung kaku dan serbahitam-putih.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah kesempatan, sebelum komunitas diskusi saya bubar karena kebanyakan anggotanya telah mendapat rekomendasi untuk pulang bermasyarakat, kami sempat mendiskusikan soal minuman keras (miras), atau dalam literasi kitab kuning karib dikenal dengan khamar (minuman keras hasil perasan anggur) dan nabidz (minuman keras hasil perasan selain anggur).

 

Diskusi ini sebenarnya muncul secara spontan, berawal dari salah seorang teman yang menyoal ihwal hukum miras dalam posisinya sebagai obat untuk sebuah penyakit, misalnya. Dari sini, kemudian mulailah kami memutar otak, mengkaji hal-hal yang terkait dengan itu dalam kepulan asap rokok dan aroma kopi hangat di waktu pagi menjelang siang. Diawali mengkaji dalil, mengasumsikan beberapa kasus yang ada, sampai kepada mempertimbangkan dampak baik dan buruknya. Untuk mengenang masa itu, saya ingin membahasnya dalam sebuah tulisan khusus di sini.

 

4 Tahapan Pengharaman Khamar dalam Al-Qur’an

Bila sedikit menengok ihwal sejarah keharaman khamar, kita akan menemukan empat tahapan Al-Qur’an dalam mengharamkan minuman berbahaya ini. Dari sini, bisa dibayangkan bagaimana khamar begitu dekat dengan masyarakat jahiliyah Arab masa lalu. Hampir di semua aktivitas mereka selalu ditemani minuman anggur memabukkan. Semacam menjadi sebuah kebanggaan tersendiri ketika dalam satu acara, atau hanya kumpul-kumpul biasa, mereka duduk semalaman atau seharian ditemani khamar. Sehingga, Al-Qur’an butuh empat tahapan untuk mengharamkannya. Dan, inilah kelebihan metode dakwah Al-Qur’an yang harus dipahami dan diteladani.

 

Jadi, pertama-tama, Al-Qur’an mendeklarasikan kehalalan meminum khamar bagi umat Islam di masa awal, bahkan, sampai dipuji-puji sedemikian rupa. Hal ini, dapat kita lihat dalam surah an-Nahl (67), Allah berfirman:

 

وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَالْاَعْنَابِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًاۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

 

Artinya, “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang mengerti.”

 

Kemudian, setelah itu, turun lagi ayat surah al-Baqarah (219) di Madinah yang menilai khamar secara objektif, selain dipuji bahwa ia memiliki banyak manfaat, juga disebutkan, terdapat dosa besar di balik aktivitas meminum khamar tersebut. Allah ﷻ berfirman:

 

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ

 

Artinya, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”

 

Pada tahap yang kedua ini, ayat di atas berhasil memilah kaum muslimin menjadi dua kubu. Pertama, adalah mereka yang melepaskan khamar dari kehidupannya. Mereka sangat takut dengan penggalan ayat Qul fihima itsmun kabir, Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa besar”. Sedangkan golongan kedua masih tetap dengan aktivitas lamanya yang masih belum bisa ditinggalkan. Golongan ini berpegangan pada teks wa manafi’u linnas, “dan beberapa manfaat bagi manusia”.

 

Seiring berjalan waktu, akhirnya terjadilah satu insiden yang cukup aneh dan mengocok perut. Yaitu, ketika sahabat Abdurrahman bin ‘Auf mengadakan sebuah acara, semacam jamuan makan untuk para sahabat yang lain dan ditemani sekian botol anggur sebagai santapan penutupnya. Saat tiba waktu shalat maghrib, tiba-tiba salah seorang dari mereka salah membaca ayat surah al-Kafirun. Ayat yang sebenarnya berbunyi La a’budu ma ta’budun, “Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah”, malah dibaca A’budu ma ta’budun, “Aku menyembah apa yang kamu sembah”. Bacaan yang fatal ini, disebabkan mabuknya karena mengikuti jamuan tadi.

 

Lalu, turunlah ayat surah an-Nisa’ (43) yang berbunyi:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

 

Artinya, “Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan.”

 

Singkatnya, melalui ayat ini, Allah mengharamkan aktivitas mabuk-mabukan di waktu menjelang shalat. Karena demikian, mereka pun memindah jadwal mabuk mereka ke waktu setelah shalat isya, supaya tetap dalam kondisi sadar dan bugar untuk shalat subuh. Peristiwa lain pun terjadi lagi. Dan, ini lebih parah dari sebelumnya.

 

Suatu malam, sahabat ‘Utban bin Malik membuat jamuan makan lengkap dengan jumlah anggur yang tak kalah banyak untuk para sahabat, termasuk Sa’ad bin Abi Waqash. Kebetulan, malam itu mereka memanggang kepala onta. Setelah makan dan minum khamar, mereka pun dikuasai mabuk berat. Di saat teler dan tak sadarkan diri itu, suasana semakin gaduh. Mereka bernyayi sejadi-jadinya, sampai seseorang di antara mereka berlaku ekstrem. Ia mengambil tulang dagu onta yang mereka panggang dan dipukulkannya ke kepala Sa’ad bin Abi Waqash yang menyebabkan luka parah.

 

Lalu sahabat Sa’ad mengadu kepada Rasulullah , dan turunlah surah al-Maidah (90) sebagai ayat terakhir tentang khamar. Ayat ini merupakan penegasan atas keharaman khamar secara mutlak. Allah ﷻ berfirman:

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

 

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”

 

Penjelasalan di atas dapat dijumpai dalam kitab Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam min Al-Qur’an (juz 1, hal 193, pada muhadharah ketigabelas bab Tahrimul Khamri wa al-maisir).

 

Hukum Meminum Khamar dengan Tujuan Berobat

Terkait bagaimana hukum meminum khamar dengan maksud berobat, sebenarnya sudah pernah ada di masa Rasulullah ﷺ. Dalam sebuah hadits riwayat Ummu Salamah, ia bercerita, pernah suatu ketika salah seorang putrinya mengeluh sakit, lalu ia membuat khamar dengan cara memasaknya hingga mendidih. Kebetulan, Rasulullah ﷺ masuk ke bilik Ummu Salamah dan melihat sesuatu yang tengah mendidih dalam sebuah kendi. Nabi pun bertanya apa yang sedang dimasak Ummu Salamah, dan ia menceritakan semuanya. Lalu, nabi bersabda:

 

إن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم

 

Artinya, “Sungguh, Allah tidak pernah membuat (syarat) kesembuhanmu pada sesuatu yang diharamkan kepadamu.”

 

Hal senada terdapat dalam sebuah atsar as-shahabah (jejak peristiwa para sahabat Nabi, baik dalam bentuk ungkapan maupun perilaku) yang diriwayatkan oleh Sahabat Masruq bahwa Abdullah bin Mas’ud mengatakan:

 

لا تسقوا أولادكم الخمر فإنهم ولدوا على الفطرة، وإن الله لم يجعل شفاءكم فيما حرم عليكم

 

Artinya, “Janganlah kau minumkan khamar kepada anak-anakmu (sebagai obat), sebab, mereka lahir dalam keadaan suci. Juga, karena Allah tidak pernah membuat (syarat) kesembuhanmu pada sesuatu yang diharamkan kepadamu.”

 

Berkenaan dengan ini, Imam ad-Dawudi mengakui kebenaran statemen Sahabat Ibnu Mas’ud tersebut. Namun, yang menjadi persoalan, statemen itu hanya untuk merespons isu seputar pengobatan. Berbeda dengan kondisi darurat sebagaimana dalam kasus kebolehan memakan daging babi atau bangkai, misalnya, untuk menyambung hidup. Dan, semacam ini boleh secara tegas dalam Al-Qur’an. Itu artinya, khamar juga memiliki porsi yang sama. Sebut saja ketika seseorang dalam kondisi tercekik dahaga, tentu boleh ia meminum khamar untuk keberlangsungan hidupnya.

 

Lain lagi dengan Imam as-Syafi’i yang justru tetap mengharamkannya, kendati dalam kondisi darurat. Alasnnya, karena meminum khamar, yang lapar akan semakin merintih kelaparan, dan yang haus pun akan terus tercekik rasa haus, bahkan semakin kejam. Bila meminum sedikit tak ada gunanya, dan meminum banyak akan selain membuat lapar dan dahaga lebih mencekam, juga akan membuat orang mabuk. Alih-alih mencari kesembuhan, malah semakin parah.

 

Sepertinya, dalam hal ini, Imam Malik bin Anas sepaham dengan muridnya, as-Syafi’I, bahwa dengan meminum khamar, seseorang hanya akan tambah haus saja, bukan sembuh. Terlebih lagi, bila dibandingkan antara tegasnya keharaman khamar dengan potensinya untuk menyembuhkan yang masih diragukan (masykuk), bahkan kalau mengaca hadits di atas, tidak ada sama sekali. Kecuali ketika khamar bukan sebagai obat, melainkan sebagai media pengobatan. Misalnya, demi kebutuhan amputasi anggota tubuh dalam pengobatan penyakit menular, dan khamar dibutuhkan agar mati rasa, maka boleh-boleh saja.

 

Adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha, tokoh yang paling berbeda dari sekian pendapat di atas. Hematnya, semua itu masuk dalam kategori emergency, dan itu boleh dilakukan. Logikanya, daging hewan yang tak mungkin dapat suci saja boleh, apalagi khamar yang potensial sekali untuk suci, yaitu, ketika ia menjadi cuka. Semua keterangan terkait silang pendapat di atas, bisa dibaca dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari (juz 10, hal. 94, pada bab Syarab al-Halwa’ wa al-‘Asal).

 

Dari sekian pendapat yang ada, kita kaum muslimin sah-sah saja hendak ikut yang mana di antara mereka, tanpa meremehkan persoalan agama, juga tidak sembrono dalam menetapkan status kondisi darurat. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi solusi terbaik bagi yang membutuhkan. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni sekaligus pengajar di Maohad Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur