Opini

Nyadran di Makam Prajurit Pangeran Diponegoro

Ahad, 11 April 2021 | 20:00 WIB

​​​​​​Sebuah batu raksasa setinggi sekitar lima meter dan lebar enam meter. Posisinya naik dan agak miring dengan moncong menjorok menemani pemandangan unik dan menakjubkan menuju makam RP Kamboro di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Batu raksasa ini, oleh orang setempat disebut watu kimpal. Dari pusat kota Lasem jaraknya sekitar lima kilometer. Sebelumnya melewati gugusan lembah yang hijau dan asri menghiasi mata yang melewatinya.

 

Penulis dan beberapa warga sengaja melakukan perjalanan ke sana, menjelang Ramadhan ini, dalam tradisi nyadran. Nyadran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah, termasuk Lasem. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di perdesaan. Dalam bahasa Jawa, nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah Sya'ban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.

 

Setiap menjelang Ramadhan, tepatnya pada bulan Sya'ban, masyarakat Jawa termasuk Lasem, selalu melakukan tradisi Nyadran. Budaya yang telah dijaga selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan bersih-bersih makam para orang tua atau leluhur, membuat dan membagikan makanan tradisional, serta berdoa atau selamatan bersama di sekitar area makam. Adapun pengertian tetenger adalah penanda atau pengingat.


Pada hari Kamis tanggal 25 Sya'ban 1442 H atau 8 April 2021 warga Desa Criwik Kecamatan Pancur Kabupaten Rembang, dulunya Kadipaten Lasem, melakukan tradisi nyadran, pembersihan atau bersih-bersih makam di sekitar area makam, sekaligus penelusuran makam para orang tua atau leluhur. Nyadran ditutup pembacaan tahlil dan surat yasin. 

 

Salah satu makam adalah makam RP Kamboro, prajurit Diponegoro. Keterangan tentang makam RP Kamboro terdapa pada lampiran situs di Lasem. Dua puluh tahun lalu, makam itu masih ada nisan, berupa sepasang pohon puring.

 

Beberapa bulan sebelumnya saya memberi masukan kepada tokoh masyarakat setempat agar tetenger dimunculkan kembali. Tetenger lalu dibuat, berdasarkan hasil musyawarah Kades Sampurno, Kadus Lasdi, Ustadz Munawir, Bapak Sarmani dan beberapa orang tua yang masih ingat letaknya. Esoknya harinya pada hari Jumat, saya berziarah disambut mereka yang disebutkan tersebut. Kemudian musyawarah memastikan atau meluruskan posisi pohon puring. Posisi ini juga dibenarkan Mbah Tisno Teger, yang berusia 80 tahun.


Ada cerita menarik dari Pak Saldi. Menurut dia, beberapa tahun lalu di waktu pagi hari dekat makam, ia melihat ada orang sedang menyembelih kambing kendit yang ada warna putih melingkari tubuhnya. Tapi, anehnya setelah didatangi lebih dekat seketika menghilang. Mbah Sarjan kakeknya dulu penjaga makam kandangan, artinya komplek makam ini yang dipagari.


Penelusuran dilanjutkan ke sebelah timur 100 meter ke makam Ki Ageng Sutisna atau Ki Ageng Criwik dan istrinya yaitu Nyai Ageng Silogati. Ki Ageng Sutisna adalah tokoh yang membuka atau babat alas Desa Criwik dan sekitarnya. Adapun Nyai ageng Silogati, istrinya, adalah kakak dari Santi Kusuma atau Sunan Kalijaga. Hal ini menurut keterangan Silsilah Babad Carita Lasem yang digubah RP Kamzah pada tahun 1858 M, kemudian digubah kembali dan diterbitkan oleh Pembabar Semarang tahun 1985. Naskah ini kemudian diterjemahkan dan diterbitkan oleh Perpustakaan Daerah Rembang tahun 2000.

 

Posisi makan keduanya di bawah pohon jati yang berusia ratusan tahun. Setelah diperhatikan ada nisan yang lepas, kemudian hasil musyawarah nisan in ditanam kembali. Semua makam membujur layaknya makam Muslim, sama dengan kompleks makam di sebelah sisi selatan.


Di sebelah timur makam kuno terdapat watu padasan. Konon ini adalah tempat Ki Ageng Sutisna menaruh sorban dan penutup kepala untuk berwudhu, sebab dahulu di sebelahnya ada belik atau sumber air.

 

Pernah terjadi satu peristiwa aneh. Saat itu ada yang memindahkan watu padasan ke pinggir talut, alasannya mengganggu jalan, akhirnya orang itu jatuh sakit tidak sembuh-sembuh. Akhirnya oleh warga, padasan itu dikembalikan ke tempat semula.

 

Sarbini, salah satu warga pernah menceritakan, ada cerita menarik, jika memasang lampu yang menyorot makam selalu cepat mati atau rusak lampunya. Akhirnya, lampu dipasang di balik tabir aling-aling yang tidak menyorot langsung.

 

Dahulu makam tersebut dikenal keramat atau angker. Orang yang melewatinya selalu membuka topi atau payung yang dipakainya sebagai tanda hormati. Barokah makam tersebut desa itu menjadi aman, orang yang berniat jahat selalu gagal.

 

Pada akhir tahun 2020 Habib Anis Jakarta yang terkenal tak dinyana ziarah ke makam yang terletak di pelosok gunung ini. Katanya ini adalah makam orang-orang saleh. Ia pun menyampaikan kepada Pemerintah Desa agar dirawat. Malamnya ia melakukan pembacaan shalawat di masjid desa itu. Kala itu ia didampingi KH Ahfas Faishal A Hamid Baidlowi Lasem.

 

Abdullah Hamid, pemerhati sejarah Lasem.