Opini

Hari Santri: Resolusi Jihad NU 1945 Belum Usai

Kam, 22 Oktober 2020 | 11:00 WIB

Hari Santri: Resolusi Jihad NU 1945 Belum Usai

Ilustrasi Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari. (Foto: NU Online)

Oleh Farchan Misbach

 

Penetapan Hari Santri 22 Oktober sebagai hari besar nasional adalah suatu bentuk pengakuan resmi Negara terhadap komitmen, dedikasi, dan perjuangan umat Islam Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekan Indonesia. Hari besar yang telah diperingati sebanyak 5 kali sejak ditandatanganinya Keppres Nomor 22 tahun 2015 ini ditujukan untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan peran Ulama dan Santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta berkontribusi dalam pembangunan bangsa.


Hari Santri tidak ubahnya adalah monumen dan simbol komitmen nasionalisme umat Islam. Sejarah Hari Santri sangat erat kaitannya dengan peristiwa bersejarah bangsa Indonesia yang mana 22 Oktober tersebut merujuk kepada seruan jihad atau biasa dikenal sebagai Resolusi Jihad 1945 yaitu ketika para Santri dan Ulama Pondok Pesantren dari berbagi penjuru Indonesia bersatu dan membulatkan tekat untuk mengusir penjajah yang menindas dan berusaha merampas kemerdekaan bangsa.


Sosok yang menjadi tokoh sentral peristiwa bersejarah terbuat tiada lain KH Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlotul Ulama. Tak lama setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Negara ini kembali mendapat teror dari penjajah yang tak menyurutkan sedikitpun niatnya untuk kembali menjarah, menindas, dan mejajah kita. Hingga akhirnya Belanda yang di bonceng oleh Inggris sebagai pemedang dunia kedua setelah mengalahkan Jepang mengancam akan kembali. Meskipun Soekarno dikenal sebagai sosok nasionalis, dia juga menaruh hormat yang sangat besar terhadap kiai (Ulama). Seperti ketika proklamasi hendak dilaksanakan, sejarah mencatat Soekarno sebelumnya sowan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk meminta nasihat dan restu kiranya kapan proklamasi dilaksanakan. Dan setelah melalu proses istikharah dan musyawarah para kiai, dipilihlah hari Jumat (sayyidul ayyam) tanggal 9 Ramadhan (sayyidus syuhur) 1364 H tepat 17 Agustus 1945. (Aguk Irawan MN, Sang Penakluk Badai: Biografi KH Hasyim Asy’ari, 2012)


Pun demikian dengan ancaman kembalinya sekutu, Soekarno kembali lagi sowan kepada KH Hasyim Asy’ari untuk miminta nasehat dan pendapat bagaimana kiranya hukumnya ummat islam mengahadapi hal semacam ini. Menanggapi hal itulah KH Hasyim Asy’ari memberikan fatwahnya yang kemudian diputuskan didalam rapat para konsul NU Se-Jawa Madura.


Berikut teks asli dari Resolusi Jihad tersebut:


Bismillahirrochmanir Rochim


Resoloesi :


Rapat besar wakil-wakil daerah (Konsoel2) Perhimpoenan Nahdlatoel Oelama seloeroeh Djawa-Madoera pada tanggal 21-22 October 1945 di Soerabaja.


Mendengar :


Bahwa di tiap-tiap Daerah di seloeroeh Djawa-Madoera ternjata betapa besarnja hasrat Oemmat Islam dan ‘Alim Oelama di tempatnja masing-masing oentoek mempertahankan dan menegakkan AGAMA, KEDAOELATAN NEGARA REPOEBLIK INDONESIA MERDEKA.


Menimbang :


a. Bahwa oentoek mempertahankan dan menegakkan Negara Repoeblik Indonesia menurut hoekoem Agama Islam, termasoek sebagai satoe kewadjiban bagi tiap2 orang Islam.


b. Bahwa di Indonesia ini warga negaranja adalah sebagian besar terdiri dari Oemmat Islam.
Mengingat:


1. Bahwa oleh fihak Belanda (NICA) dan Djepang jang datang dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem.


2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia.


3. Bahwa pertempoeran2 itu sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja.


4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian2 itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet.


Memoetoeskan :


1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia soepaja menentoekan soeatoe sikap dan tindakan jang njata serta sepadan terhadap oesaha2 jang akan membahajakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia teroetama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannja.


2. Seoapaja memerintahkan melandjoetkan perdjoeangan bersifat “sabilillah” oentoek tegaknja Negara Repoeblik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.


Soerabaja, 22 Oktober 1945


Resolusi Jihad yang diserukan oleh Ulama berdampak sangat luar biasa atas bangkitnya semangat umat untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengilhami meletusnya pertempuran 10 November di kota Surabaya selama 3 minggu yang saat ini kita peringati sebagai Hari Pahlawan Nasional. (Dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi No. 26 tahun ke-I, Jumat Legi, 26 Oktober 1945)


Resolusi Jihad 1945 belum selesai


Resolusi Jihad 1945 kiranya adalah bukti akan komitmen penuh Umat Islam, Santri, dan Kiai (Ulama) dalam mempetahankan kedaulatan Negara Indonesia. Dengan memperingati Hari Santri Nasional, tentunya tidaknya hanya sekedar menjadikannya momen nostalgia ataupun pelajaran sejarah namun juga sebagai sarana merefleksikan nilai-nilai apa yang dapat diambil dan bertekat untuk meneruskan perjuangan apa yang telah dimulai. 


Sebagai langkah awal, akan lebih mudah jika memulai segalanya dengan pertanyaan “apakah Indonesia sudah merdeka?” Tentu kita semua dengan sangat yakin untuk menjawab “Iya, kita sudah merdeka”.

 

Namun bagaimana jika pertanyaannya sedikit diubah. “apakah Bangsa Indonesia, telah benar-benar merdeka?” seketika kita tentu akan menelan ludah sejenak dan berusaha meninjau kembali pertanyaan tersebut. Dam akhirnya sedikit ragu – ragu untuk menjawab “sek sek tak mikir sek. Disini penulis tak ingin terlalu jauh membahas makna kemerdekaan, namun sekedar menjadikan hal tersebut sebagai bahan refleksi dalam merenugi makna Resolusi Jihad.


Islam sebagai dien yang memberikan arahan perilaku yang mengatur tidak hanya hubungan manusia dan tuhan (Hablum minallah), manusia dengan manusia (Hablum Minannas), bahkan manusia dengan alam (Hablum minal alam).


Nahdlotul Ulama sebagai organisasi masyrakat dibidang keagamaan yang menjadikan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr dan manhaj al harakah melahirkan semangat nasionalisme dan berbuah kepada islam kebangsaan yang menjunjung nilai-nilai kemanusian dan kemerdekan dengan memegang teguh prinsip Tawasuth (tengah-tengah), Tawazun (seimbang), I'tidal (tegak lurus), dan Tasamuh (toleransi).


Dan akan terkesan sangat  mengerdirkan jika Resolusi Jihad  hanya disebut sebagai bentuk sikap defensive belaka. Karena pada dasarnya Resolusi Jihad adalah suatu hasil dari perenungan dan penghayatan nilai nilai islam kebangsaan. Sebgaimana Islam sebagai rahmatan lil a’lamin (rahmat untuk seluruh alam), yang yang kemudian di elaborasikan sebagai pengakuan  terhadap al-huquq al-insaniyyah (hak asasi manusia) yang meliputi ushul al-khams (5 Hak dasar) antara lain:


• Hifdhud dîn memberikan jaminan hak kepada umat Islam untuk memelihara agama dan keyakinannya (al-din). Sementara itu Islam juga menjamin sepenuhnya atas identitas (kelompok) agama yang bersifat lintas etnis, oleh karena itu Islam menjamin kebebasan beragama, dan larangan adanya pemaksaan agama yang satu dengan agama lainnya. 


• Hifdhun nafs wal ’irdh memberikan jaminan hak atas setiap jiwa (nyawa) manusia, untuk tumbuh dan berkembang secara layak. Dalam hal ini Islam menuntut adanya keadilan, pemenuhan kebutuhan dasar (hak atas penghidupan) pekerjaan, hak kemerdekaan, dan keselamatan, bebas dari penganiayaan dan kesewenang-wenangan.


• Hifdhul ‘aql adalah adanya suatu jaminan atas kebebasan berekspresi, kebebasan mimbar, kebebasan mengeluarkan opini, melakukan penelitian dan berbagai aktivitas ilmiah. Dalam hal ini Islam melarang terjadinya perusakan akal dalam bentuk penyiksaan, penggunaan ekstasi, minuman keras dan lain-lain.


• Hifdhun nasl merupakan jaminan atas kehidupan privasi setiap individu, perlindungan atas profesi (pekerjaan), jaminan masa depan keturunan dan generasi penerus yang lebih baik dan berkualitas. Free sex, zinah menurut syara’, homoseksual, adalah perbuatan yang dilarang karena bertentangan dengan hifdh al-nasl.


Hifdhul mâl dimaksudkan sebagai jaminan atas pemilikan harta benda, properti dan lain-lain. Dan larangan adanya tindakan mengambil hak dari harta orang lain, seperti mencuri, korupsi, monopoli, oligopoli, monopsoni dan lain-lain. (https://islam.nu.or.id/post/read/83369/lima-hak-asasi-manusia-dalam-islam)


Kelima hak dasar di ataslah yang kemudian Santri dan Ulama berusaha untuk lindungi ketika Resolusi Jihad. Kembali ke pertanyaan di awal, apakah Resolusi Jihad telah selesai? secara normatif, dengan berhasilnya memukul mundur pasukan sekutu yang berniat menjajah kembali Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya, mungkin bisa dibilang Resolusi Jihad telah selesai. Namun tentu tidak sesederhana itu, mengutip kalimat legendaris dari Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri".


Pada akhirnya Resolusi Jihad bukanlah melawan Negara, namun melawan segala bentuk ketidakadilan, penjajahan, keserakahan, kezoliman, dan segala bentuk kemungkaran yang ada. khoirunnas anfa'uhum linnas, sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain. Itulah yang menjadi semangat generasi Santri dan ulama yang kemudian melahirkan satu kredo yang sangat nasionalis “DARI SANTRI UNTUK NEGERI”.

 

Layaknya ulama terdahulu, seharusnya generasi muda muda muslim, khususnya generasi muda NU meneruskan perjuangan untuk turut aktif dan dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan berpatisipatif dalam kehidupan bangsa dan bernegara.


Peran aktif dan partisipatif generasi muda NU inilah yang menurut penulis masih menjadi PR kita bersama. Karena sulit di pungkiri, paling tidak melalui pengamatan penulis yang kebetulan masih duduk dibangku perkuliahan melihat demikian. Begitu banyak dari generasi muda NU yang seakan acuh tak acuh terhadap dinamika bangsa yang setiap hari seakan terus bertambah. Bahkan tidak sedikit yang mengambil sikap berbodoh amat dengan realita yang ada. Segala yang berkaitan dengan politik dianggap sebagai suatu hal yang busuk maka dari itu harus dijauhi.


Tentu pendapat demikian dapat dimaklumi, mengingat NU memiliki pengalaman kelam yang berkaitan dengan politik dimasa lampau hingga akhirnya memutuskan untuk kembali khittah. Meskipun demikian, bukan berarti segala sikap anti pati terhadap persoalan kebangsaan dapat dibenarkan. Generasi muda NU seharusnya paham bahwa dalam menjalankan prisnip-prinsip islam kebangsaan menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr wal harakah yaitu memandang aswaja sebagai sebuah metode berfikir dan bertindak dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial kemasyarakatan. (Sumber: NDP PMII 1988)


Bahkan ada segenlintir dari generasi muda NU (salah satunya kawan penulis) yang menelan mentah-mentah suatu ayat “wahai orang-orang beriman, taatilah allah dan rasul, dan ulil amri diantara kamu. (QS An-Nisa’:59)” hingga berada pada kesimpulan tidak menaati perintah pemimpin adalah suatu larangan dan pada akhirnya menutup setiap ruang untuk menginterupsi kebijakan pemerintah dengan menganggapnya sebagai suatu kebenaran yang tidak boleh ditentang. Tentu ini adalah suatu keadaan yang sangat miris. Lantas apakah benar demikian? bagaimana jika pemerintah adalah pemerintah yang zolim? bagaimana jika kebijakan yang terapkan menyengsarakan dan merenggut 5 hak dasar orang banyak.


Dalam hal ini penulis sedikit berbeda pandangan dengan M. Saifudin Hakim yang mengatakan ditulisannya dalam menghadapi pemimpin yang dzalim sekalipun, kita tetap harus mentaati segala kebijakannya meskipun kebijakan tersebut menyengsarakan dan merenggut apa yang sudah semestinya milik umat (M. Saifudin Hakim, petunjuk nabi menghadapi pemimpin yang dzolim) dengan mengutip hadits berikut:


Sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,


دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ


“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)


Oleh sebab itu beliau juga mengatakan sebagai seorang muslim, jika menghadapi pemimpin yang seperti diatas, kita harus tetap taat dan cukup memohon kepada allah atas apa yang tidak kita peroleh dari pemerintah dzolim tersebut dengan mengutip hadist berikut:


 سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا


“Sesungguhnya akan terjadi sepeninggalku adanya (penguasa) yang lebih mementingkan pribadinya (dengan menelantarkan hak rakyat, pen.) dan berbagai kemunkaran (yang dilakukan oleh penguasa, pen.) yang kalian ingkari (karena hal itu adalah maksiat dan kemunkaran, pen).”


Para sahabat radhiyallahu ‘anhum mengatakan, “Bagaimanakah yang Engkau perintahkan kepada siapa saja di antara kami yang menjumpai masa-masa itu?”


Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ


“Tunaikanlah kewajiban kalian (berkaitan dengan hak penguasa, pen.), dan mintalah hak kalian kepada Allah Ta’ala (yang tidak diberikan oleh penguasa, pen.).” (HR. Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843. Lafadz hadits ini milik Muslim)


Menanggapi hal diatas penulis agak tidak sependapat dengan Saifudin Hakim karena bagaimanapun konteks hadis diatas tidak relevan jika dihadapkan dengan Indonesia menggunakan system pemerintahan Negara hukum dan Demokrasi. Penggunaan hadist diatas kurang lebih sama dengan menggunakan hadist larangan menggunakan pakaian yang panjangnya lebih dari mata kaki karena hal tersebut menunjukkan kesombongan.


Pertanyaannya apakah hal ini masih relevan? tentu saja tidak. Pemerintahan demokrasi memposisikan pemerintah (pemimpin) dan rakyat dengan kedudukan yang sama, berangkat dari “setiap manusia bisa tidak luput dari salah”, demokrasi mempunyai ruang untuk mengintrupsi setiap kebijakan dari pemimpin karena pengertian demokrasi, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.


Dan hal ini tentunya ini sangat berbeda dengan system Negara monarki (kerajaan) yang memandang hubungan antara pemerintah (pemimpin) dan rakyat bukanlah suatu relasi timbal balik dan menuntut pepatuhan penuh. Hal ini dapat dibuktikan dari hal yang sangat sederhana, di system khilafah, kesultanan, atau kerajaan, yang dibaiat adalah umat (rakyat) sedangkan di system demokrasi yang dibaiat adalah pemimpin.


Penggunaan hadits di atas tidak pada tempatnya tentu akan sangat berbahaya jika salah dimaknai oleh generasi muda NU karena Penafsiran keliru sebagaimana di atas tak ubahnya seperti suatu tembok besar yang akan menghambat peran aktif generasi muda muslim dalam menerapkan islam kebangsaan yang selama ini dianut. Pada prinsipnya, berbicara tentang menanggapi kebijakan yang dibuat oleh penguasa dalam hal ini pemerintah, Negara demokrasi memberikan ruang seluas-luasnya untuk partisipasi publik atas kebijakan-kebijakan yang ada.


Mengkritik dan mengoreksi kebijakan pemimpin adalah suatu keniscayaan bagi pemerintahan demokratis yang memang pada mulanya terlahir sebagai revisi atas konsep pemerintahan kerajaan yang memposisikan raja di atas segalanya dan menganggap kehendak raja (penguasa) adalah kehendak tuhan dan menggantinya dengan suara rakyat adalah suara tuhan.


Masih menanggapi tentang tulisan M. Saifudin Hakim yang mengatakan adapun sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kebijakan pemimpin yang dzolim, yaitu dengan memberikan nasihat didepan raja secara empat mata dengan mengutip hadist riwayat ibnu majah yang berbunyi:


أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ


Jihad yang paling utama adalah mengungkapkan kalimat adil (kebenaran) disisi (didepan) pemimpin yang dzolim

 

Atas dasar penafsiran tersebut, beliau tidak membenarkan sikap mengkoreksi pemerintah didepan umum/terang-terangan (demontrasi) dan segala bentuk koreksi kebijakan baik itu tulisan, opini, dimedsos dan lain lain. Tentu pendapat demikian sangat tekstual dan tidak sesuai dengan konteks Negara kita saat ini. 


Dalam konteks hari ini, seharusnya generasi muda NU lebih berani bersikap atas setiap kebijakan-kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Sikap berpangku tangan dan sekedar berharap tidak dapat dibenarkan. Bukankah tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri berusaha merubahnya? (QS. Ar-Ra'd:11)


Sebagai refleksi sejarah, terdapat begitu banyak contoh sikap mengoreksi kebijakan pemerintah sebutlah pemimpin. Sebagai contoh, kita tentu masih ingat dalam menjalankan islam kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kerap kali mengkritik bahkan tak ragu untuk mengambil sikap oposisi terhadap sektarianisme ala Orde Baru dan eksploitasi sentimen agama kala itu. 

 

Sikap tidak setuju dengan pemerintah juga pernah dilakukan oleh KH. Bisyri Syansuri ketika itu Presiden Soekarno ingin membubarkan Konstituante dan DPR kemudian membentuk DPR Gotong Royong, Kiai Bisri menganggap langkah Bung Karno itu ghosob (penjarahan) terhadap hak rakyat. (Abdul Mun’im DZ, Fragmen Sejarah NU, 2017) Dan masih banyak lagi. 


Dewasa ini, bangsa kita mengalami berbagai macam tahap pendewasan mulai dari kemiskinan, ketimpangan social, pandemi tak berkesudahan, hingga UU Ciptaker yang mengancam kesejarahtraan bangsa. Dan untuk kesekian kalinya NU kembali menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan kepentingan umat lewat pernyataan sikap KH Said Aqil Siroj sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

 

Begitulah gambaran Islam kebangsaan yang tidak hanya sekedar hubungan hablumminallah, tapi juga memegang teguh prinsip-prinsip ukhuwah wathoniyah yang senantiasa berperan aktif dalam segala hal yang berkaitan dengan bangsa kita tercinta. Senantiasa mengalkan amar ma’ruf nahi munkar.


عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُوْلُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.


"Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49]


Setelah 75 tahun sejak dikumandangkannya Resolusi Jihad, sudah seharusnya kita sebagai generasi muda muslim mengambil ibroh dan menjadikannya sebagai semangat untuk terus berkomitmen atas terwujudnya cita-cita kemerdekaan dan membulatkan tekat untuk melanjutkan perjuangan Ulama. Dari santri untuk negeri.

 


Penulis adalah alumnus MA Al-Mahrusiyah Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri