Opini

Dari Sabah, Menggali Misteri Khat Diwani Jali

Sel, 12 Januari 2021 | 07:00 WIB

Dari Sabah, Menggali Misteri Khat Diwani Jali

Diwani sendiri diciptakan akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 oleh Ibrahim Munif dari Turki Usmani hasil olahan dari kaligrafi  Cina yang menyebar di Negeri Belakang Sungai (بلاد ما وراء النهر) saat penaklukan Islam ke wilayah tersebut.

Alhamdulillah, saya dengan Isep Misbah dan Abdul Baqi Abu Bakar dari Malaysia mendapat  kehormatan tugas  penjurian secara virtual hasil Pertandingan Kaligrari Jawi (Khat) Borneo Sabah 2020. Seperti beberapa kali lomba sebelumnya, Lomba Borneo tahun ini pun mempertandingkan khat Diwani Jali plus Diwani Adi. Kenapa selalu ada Diwani Jalinya?


Inilah yang bikin saya penasaran. Tambah gregetan, melihat khat Diwani Jali ada di mana-mana. Baju2 T-shirt kaligrafi pun banyak berukir Diwani Jali. Hasil dari penyusuran TKPP (Tempat Kaligrafi Punya Perkara) dan setelah tanya sana-sini, akhirnya saya ketemu jawabannya, bahwa "orang-orang Malaysia, memang, sangat menyukai khat Diwani Jali.”


Wah, ini kok kebalikan dari saya, karena saya pernah "membenci" khat Diwani Jali. Nah, dari sini kisah itu dimulai.


Rasa kurang sreg pada khat Diwani Jali ciptaan Syahlan Pasha dari Turki Usmani karena gaya kaligrafi ini yataghalghalu (يتغلغل) alias kelewat over atau "keterlaluan" dengan rimbunan aksesoris titik-titik, harakat, dan alamat tazyin (تزيين/hiasan) yang dijejalkan memadati milieu aksara keseluruhan, selain bodi huruf yang terkesan dipaksa harus obesitas.


Semua gerak goresannya seperti yatashanna'u (يتصـــنع), dibikin-bikin. Saya menduga orang lain pun nggak suka atau malah ngrasa lebih sebel dari saya. Akibatnya, ketika ikut menyempurnakan jenis-jenis khat MKQ (مسابقة خط القرآن)  pada MTQ Nasional XV/1988 di Bandar Lampung, saya menambahkan khat Diwani atau Diwani Jali (dengan kata "atau" untuk menunjukkan pilihan).


Sembilan tahun kemudian, sikap saya itu benar-benar berubah. Saya pun memupus kata "atau" pada MTQNas XVIII/1997 di Kota Jambi, ketika sadar bahwa saya keliru, dan teringat bahwa "ciri-ciri menyebalkan" itu justru merupakan "ciri-ciri keistimewaan" khat Diwani Jali seperti diaplaus para ahli:


ويتميزالديوانى الجلى بقوة التناسب والمشاكلة، وبزيادة عرض القلم


Artinya, "Diwani Jali diunggulkan dengan kekuatan harmoni dan penerapan harakatnya, plus kelebihan kalamnya yang lebar."


Sekarang saya jadi tahu. Membenci, sebetulnya, nggak baik. Malah tidak dibenarkan. Nabi SAW juga menyarankan, supaya kita "tidak kelewat membenci dan tidak berlebihan mencintai" sebab suatu saat bisa berbalik arah.


Seumpama membuat pilihan "hanya suka kaligrafi klasik sambil membenci kaligrafi kontemporer" atau "maunya kaligrafi kontemporer saja karena lebih mengasyikkan, tapi ogah belajar kaligrafi klasik karena sulit." Jangan begitu. Semuanya harus dipelajari biar bisa dikuasai semuanya!


Seperti jenis-jenis kaligrafi yang lain, Diwani Jali lahir dari produk sejarah dan punya filosofi tersendiri. Diwani Jali lahir dari pengembangan khat Diwani atau Diwani Adi (Diwani Biasa). Diwani sendiri diciptakan akhir abad ke-10 dan awal abad ke-11 oleh Ibrahim Munif dari Turki Usmani hasil olahan dari kaligrafi Cina yang menyebar di Negeri Belakang Sungai (بلاد ما وراء النهر) saat penaklukan Islam ke wilayah tersebut.


Maestro Diwani yang paling kreatif adalah Syahlan Pasha yang, karena kejeniusannya, berhasil mengolah Diwani kepada bentuk eksklusif yang disebut Diwani Jali. "Jali" artinya "jelas" (واضح/wadhih), maksudnya "sangat jelas karena detail-detail syakal di dalamnya."


Diwani dan Diwani Jali sama-sama dijuluki Khat Humayuni (Raja-raja Humayun Turki) dan Khat Muqaddasi. Ia dinamakan Khat Muqaddasi (yang berarti "disucikan") karena dikhususkan sebagai tulisan kesultanan. Sedangkan sultan adalah bayangan tuhan di bumi.


Di sini para khattat membagi khat Diwani kepada dua bentuk: Diwani Khafi dan Diwani Jali. Diwani Khafi sering digunakan dengan mengabaikan syakal dan tanpa hiasan. Ibrahim Munif merancang titik (نقطة) Diwani sama dengan titik satu (seukuran ½ sampai dengan ⅔ segi empat), titik dua (diagonal persegi panjang), dan titik tiga (berbentuk angka 8 Arab) yang sudah dimiliki Riq'ah. Sedangkan Diwani Jali diberi syakal sepenuhnya.


Adapun Syahlan Pasha membuat titik satu, titik dua, dan titik tiganya sama-sama berbentuk segi empat total (seperti titik Naskhi) ditambah hiasan dengan titik-titik gerimis yang detail padat. Di sini para khattat memenuhi ruangan khat, syakal, dan titik dengan menempati posisi tulisan dalam ukuran panjang dan lebarnya secara penuh.


Bila huruf “ha” awal (هـ) Diwani mengambil bentuk “ha” Riq'ah yang dilenturkan pucuknya, “ha” awal Diwani Jali mengadopsi “ha” awal Farisi sepenuhnya. Tarwisy Diwani yang semula menjulur vertikal, oleh Syahlan Pasha dimodifikasi menjadi lengkung keriting zulf-i-arusy yang terpisah dari induk hurufnya. Analis kaligrafi Ma'ruf Zureiq menegaskan:


ولايمكن أن يظهرجمال هذاالنوع من الديوانى بغيرهذاالترتيب.وتتطلب كتابته وقتاطويلا


Artinya, "Keindahan Diwani Jali justru tidak tampak tanpa susunan geometris komponen-komponen yang padat tersebut. Karena itu pula Diwani Jali ditulis makan waktu yang agak lama." 


Semua ini merupakan dynamic performance khat Diwani dan Diwani Jali yang digambarkan oleh Al-Shouli dengan ungkapan:


يخيل إليك كأنه يتحرك وهوساكن


Artinya, "Mengusik fantasimu seolah dia bergerak-gerak padahal diam."


Sedangkan keindahannya yang menakjubkan dicatat oleh Al-Mutanabbi:


تبدى سكون الحسن فى حركاتها


Artinya, "Mengekspresikan kalemnya keindahan dalam gerak-geraknya."


"Indah dan gagah" adalah ciri dari dua tipe kaligrafi sekandungan Diwani dan Diwani Jali yang dijuluki khat mutaraqish (متراقص/menari-nari), sama seperti cirri-ciri kaligrafi Cina yang dikomentari Wang Hsichih, "Indah bagaikan awan yang sedang berarakan dan gagah bagaikan naga yang sedang marah."


"Maka, keindahan Diwani dan Diwani Jali mana lagi yang hendak engkau dustakan?" Jelas, tidak ada.


Diwani Jali yang semula banyak digunakan untuk menulis naskah, sertifikat, dan korespondensi antarnegara oleh para sultan Turki Usman, berkembang dan semakin halus menjadi tulisan hias pada abad ke-19 dan ke-20 terutama di tangan para kaligrafer moderen seperti Syekh Muhammad Abdul Aziz Al-Rifa'i di Mesir, Syekh Nasib Makarim di Libanon, dan Hasyim Muhammad Al-Baghdadi di Irak.


Keindahan gaya khat ini tambah sempurna di tangan para master kaligrafi mutakhir seperti Sayid Ibrahim (Mesir), Muhammad Sa'ad Haddad dan Mus'ad Musthafa Khudir Al-Bursa'id (Mesir), Muhammad Shadiq Al-Hayyat (Suriah), Jawad Sabti Al-Najvi, Muhammad Izzat Kirkukli, Jasim Al-Najvi, Walid Al-Azhami (Irak), dan lain-lain.


Khat Al-Marsum atau kaligrafi lukis Diwani Jali yang estetis sangat menggoda para khattat dan pelukis kaligrafi untuk mencipta beragam jenis dan pola komposisinya. Namun, secara khusus, khat  Diwani Jali terbagi atas tiga bentuk pokok, yaitu:


1) Diwani Jali Mahbuk. "Mahbuk" artinya terstruktur atau tersusun rapi yang diukur menurut حسن التوزيع (keindahan pembagian) dan إحكام الترتيب (aturan komposisi) seperti pada khat Tsuluts Mahbuk.


2) Diwani Jali Humayuni, yaitu kaligrafi yang secara spesifik digunakan untuk menulis dokumen atau catatan kesultanan, dan sertifikat kerajaan Humayun Turki.


3) Diwani Jali Zauraqi yang dipengaruhi seni lukis di mana para kaligrafer punya tradisi mengolah gaya tersebut dalam bentuk zauraq atau perahu.


Keragaman bentuk Diwani Jali yang pernah "dibenci" ini hanya mengukuhkan sosoknya dan menyejajarkannya dengan gaya-gaya kaligrafi estetis yang lain dalam peta sejarah kaligrafi Islam. Misalnya sejajar dengan Naskhi yang berkembang kepada Naskhi Qadim dan Naskhi Suhufi.


Dengan Tsuluts yang beragam kepada Thumar, Muhaqqaq, Rayhani, Tawqi, Riqa atau Ruqa, Tsulutsain, Tsuluts Musalsal, Tsuluts Adi, Tsuluts Jali, Tsuluts Mahbuk, Tsuluts Muta'asir bil Rasm, Tsuluts Handasi, dan Tsuluts Mutanazhir.


Dengan Farisi yang melahirkan bentuk-bentuk Ta'liq, Nasta'liq, Syikasteh, Mutanazir, Mukhtazal, dan Mir'at.


Dengan Kufi yang berkembang menjadi Kufi Basith, Musattar atau Murabba atau Handasi Tarbi'i, Mutalasiq, Muwarraq, Muzakhraf atau Muzahhar, Muzayyin Nafsah, Madfur atau Ma'qud atau Mutarabit, Muta'asir bil Rasm, Andalusi, Fatimi, Ayyubi, dan Mamluki.


"Maka, keindahan Diwani dan Diwani Jali mana lagi yang hendak engkau dustakan?" Duuuh...tidak. Tidak adaaa.


Didin Dirodjuddin, dosen pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah.