Syariah

Wakaf Barang yang Masih dalam Angsuran Kredit

Ahad, 5 September 2021 | 00:00 WIB

Wakaf Barang yang Masih dalam Angsuran Kredit

hukum mewakafkan benda yang sedang dalam angsuran kredit berjalan adalah boleh, karena status kepemilikannya sudah berpindah secara sempurna kepada pembeli.

Wakaf adalah salah satu amal saleh yang memiliki nilai jariyah atau pahala mengalir, sehingga banyak orang berlomba-lomba melakukannya, seperti untuk pembangunan masjid, pondok pesantren, dan semisalnya. Keinginan untuk mendapatkan pahala melalui wakaf tidak hanya dilakukan oleh orang berpunya, bahkan orang yang secara ekonomi terbilang pas-pasan, juga banyak yang ingin mewakafkan hartanya. 

 


Kuatnya keinginan untuk berwakaf dilakukan dengan upaya beragam. Bahkan meski sebagian orang ada yang melakukannya dengan barang yang masih dalam kredit pembayaran. Dari sini pertanyaan muncul, apakah barang yang statusnya masih dalam kredit pembayaran sah untuk diwakafkan? 


Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu kita ketahui, di antara syarat barang boleh diwakafkan adalah milik pewakaf. Syekh Zainuddin al-Malibari menjelaskan:


(صَحَّ وَقْفُ عَيْنٍ) مُعَيَّنَةٍ (مَمْلُوكَةٍ) مِلْكًا يَقْبَلُ النَّقْلَ (تُفِيدُ) فَائِدَةً حَالًا أَوْ مَآلًا


 Artinya “Sah mewakafkan barang  (1) tertentu; (2) yang dimiliki dengan hak kepemilikan yang dapat dipindahtangankan; dan (3) yang bermanfaat baik seketika atau di waktu yang akan datang.” (Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratil ‘Ain, (Semarang, Toha Putra: 2002), halaman 87). 

 


Bila demikian, apakah benda yang dibeli dalam keadaan masih kredit pembayaran sudah dianggap menjadi hak milik debitur? 


Dalam hal ini kita perlu paham, kredit sejatinya adalah salah satu konsep jual beli yang dibolehkan dalam Islam. Dalam fiqih muamalah atau ekonomi syariah jual beli seperti itu lebih akrab disebut dengan nama bai’ut taqsîth (penjualan dengan bayaran berjenjang). (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Mu’amalâtil Mâliyyah al-Mu’âshirah; Buhûtsun wa Fatâwâ wa Hulûlun, [Damaskus, Dârul Fikr: 2002 M], halaman 351).


Sementara itu al-Khatib asy-Syirbini menjelaskan:


وَلَا يَصِحُّ (بَيْعُ مَا ابْتَاعَهُ) وَلَا الإِشْرَاكُ فِيهِ وَلَا التَّوْلِيَةُ (حَتَّى يَقْبِضَهُ)، سَوَاءٌ كَانَ مَنْقُولًا أَوْ عِقَارًا أَذِنَ الْبَائِعُ وَقَبَضَ الثَّمَنَ أَمْ لَا


Artinya “Tidak sah menjual sesuatu yang seseorang beli, tidak sah menjualnya secara isyrâk (menjual sebagian barang yang dimiliki bersama orang lain) maupun secara tauliyah (menjual barang dengan harga pertama), sehingga orang menerima barang tersebut, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, baik penjual mengizinkannya dan telah menerima pembayarannya atau tidak.” (Muhammad bin Ahmad asy-Syirbini, al-Iqnâ’-u fî Hilli Lafdzi Abî Syujâ’, (Jeddah, Dârul Kutubil ‘Âlamiyyah), juz II, halaman 301). 


Ungkapan asy-Syirbini menggambarkan bahwa pemberian uang (alat tukar) baik secara langsung atau tidak, tidak memiliki implikasi tertentu pada kewenangan pembeli dalam mengalokasikan hartanya, selama harta atau barang yang ditransaksikan telah diterimanya secara sempurna.

 

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hak milik atas barang telah berpindah secara sempurna dari penjual kepada pembeli. Dalam hal ini Syekh Wahbah az-Zuhaili menyatakan:

 

لِأَنَّ حُكْمَ الْمَبِيعِ ثُبُوتُ أَثَرِهِ وَهُوَ نَقْلُ الْمِلْكِيَّةِ بِمُجَرَّدِ الْإِيجَابِ وَالْقَبُولِ

 

Artinya, “Karena hukum barang yang dijual adalah tetapnya pengaruh penjualannya, yaitu berpindahnya kepemilikan hanya dengan adanya ijab qabul.” (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Mu’amalâtil Mâliyyah al-Mu’âshirah; Buhûtsun wa Fatâwâ wa Hulûlun, [Damaskus, Dârul Fikr: 2002 M], halaman 351).

 


Kekhawatiran yang terjadi mungkin akan muncul dengan mengandaikan adanya kredit macet yang menjadi penyebab adanya kemungkinan buruk terjadi, seperti penarikan barang atau sebagainya, berkaitan dengan hal ini Syekh Wahbah menjelaskan:


أَمَّا الْمَدِينُ الْمُفْلِسُ، فَيَجُوزُ لِلْبَائِعِ اسْتِرْدَادُ الْمَبِيعِ إِذَا كَانَ بَاقِيًا لَمْ يَتْلِفْ وَلَمْ يَكُنْ قَدِ اسْتَوْفَى مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا أَوْ تَلِفَ الْمَبِيعُ أَوْ تَعِيبُ كَانَ الْبَائِعِ كَبَقِيَّةِ الدَّائِنِينَ 


Artinya “Adapun debitur yang bangkrut (tidak dapat membayar cicilan) maka bagi kreditur dibolehkan untuk mengambil kembali barang yang dikredit jika masih ada, belum rusak, dan atau debitur belum sama sekali membayar cicilan kreditnya, atau benda kredit telah musnah atau rusak, maka status pemberi kredit sama seperti kreditur lainnya.” (Az-Zuhaili, Ahkâmul Mu’âmalatil Mâliyyah al-Mu’âshirah, halaman 356.) 


Kasus seperti ini menjelaskan bahwa ketidaklancaran dalam kredit pembayaran dapat diatasi melalui beberapa opsi, di antaranya menarik kembali benda yang dikredit jika masih ada (secara opsional). Ungkapan ini secara acontrario atau mafhûm mukhâlafah memberikan pemahaman, adanya hak kebebasan debitur untuk memanfaatkan benda kreditnya dengan cara apapun. 

 


Walhasil, menurut hemat penulis hukum mewakafkan benda yang sedang dalam kondisi kredit berjalan adalah boleh, karena status kepemilikannya sudah berpindah secara sempurna kepada pembeli. Hal ini terbukti dengan adanya kebebasannya untuk memanfaatkan barang yang dibelinya secara kredit dan telah adanya penerimaan barang tersebut secara sempurna, sedangkan cicilan yang menjadi tanggungan debitur adalah hutang yang harus dibayarnya terhadap kreditur. Wallâhu a’lam.    

 


Ning Shofiyatul Ummah, Pengajar Pondok Pesantren Nurud Dhalam Sumenep.