Syariah

Pengumpulan Dana Sosial dan Potensi Penyalahgunaannya

Kam, 20 Mei 2021 | 15:30 WIB

Pengumpulan Dana Sosial dan Potensi Penyalahgunaannya

Bagaimana jika aksi crowdfunding dilakukan lewat media semacam internet? Termasuk wilayah pengumpulan jenis mana dari bunyi UU tentang ini?

Crowdfunding berasal dari dua akar kata yang dikumpulkan menjadi satu, crowd dan funding. Crowd artinya mengumpulkan. Funding artinya pendanaan. Jadi, crowdfunding merupakan istilah dari aktivitas menggalang dana masyarakat dengan niat akan dipergunakan untuk melakukan pendanaan tertentu atau aktivitas tertentu (funding).

 

Dewasa ini, lembaga crowdfunding semakin menjamur seiring perkembangan teknologi. Dulu, masyarakat kalau hendak melakukan penggalangan dana, maka mereka mengedarkan kotak semacam kotak infak. Saat ini, langkah pengumpulan itu sudah bersifat lintas batas dengan memanfaatkan peran teknologi informasi. Cirinya, kotak amal diganti dengan nomor rekening tertentu. Masyarakat yang berniat untuk urun rembuk dalam aksi pendanaan itu, diminta untuk mentransfer sejumlah dana ke lembaga dengan nomor rekening bank yang telah disertakan.

 

Ada ragam tujuan dari aksi crowdfunding, di antaranya kepentingan sosial, seperti bantuan terhadap korban bencana, aksi tanggap darurat, membangun rumah sederhana untuk kalangan duafa, dan sejenisnya. Ada juga dalam rangka solidaritas kemanusiaan di luar negeri, seperti Palestina. Untuk itu, biasanya para lembaga donasi semacam ini turut menyertakan pola kampanye dengan basis teknologi pula guna menarik masyarakat mampu.

 

Selain itu, aksi crowdfunding juga kadang dimaksudkan untuk murni bisnis. Misalnya adalah equity crowdfunding dan securities crowdfunding, yaitu lembaga pendanaan berbasis equitas (saham), surat utang (obligasi), dan sukuk.

 

Apakah tidak ada bahayanya? Sudah pasti ada banyak sekali. Titik tekan bahaya itu ada pada sifat keterjaminannya penyaluran.

 

Dalam social solidarity crowdfunding (lembaga donasi berbasis solidaritas sosial), beberapa waktu yang lalu sempat terlontar isu mengenai pendanaan teroris, juga dengan basis penggalangan dana melalui aplikasi crowdfunding. Untuk itu, masyarakat diminta agar berhati-hati dalam menyalurkan dananya. Maksud baik untuk membantu saudara, ternyata justru dapat disalahgunakan oleh lembaga tersebut.

 

Untuk itu, diharapkan masyarakat tidak mudah percaya dengan sihir-sihir informasi yang disebarkan lewat publikasi yang dibesar-besarkan oleh lembaga penyandang dana! Tetaplah fokus pada kredibilitas lembaga dan informasi audit yang disampaikan oleh lembaga yang berwenang agar donasi menjadi tidak salah pakai, atau justru habis dipergunakan untuk operasional lembaga donasi, sementara realitas di lapangan, para korban hanya mendapatkan kucuran dalam jumlah yang kecil!

 

Intinya, lembaga crowdfunding merupakan lembaga amanah. Keluar dari amanah yang dipercayakan donatur merupakan tindakan khianat. Sebagaimana hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

آية المنافق ثلاث ، إذا حدث كذب ، وإذا وعد أخلف ، وإذا اؤتمن خان

 

Artinya: “Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga, yaitu: ketika berbicara - dusta, ketika berjanji – mengingkarinya, dan ketika dipercaya – khianat” (HR al-Bukhari dan Muslim dengan jalur sanad Abdullah ibn Umar).

 

Bagaimana dengan perlindungan pemerintah dalam melindungi aksi solidaritas para donatur? Dalam bisnis, segala aktivitas yang dilakukan oleh lembaga dengan melibatkan aksi pengumpulan keuangan masyarakat adalah wajib taat terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pemerintah, sebagaimana dirilis oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) telah menyiapkan beberapa perangkat hukum perundangan mengenai lembaga crowdfunding berbasis IT, antara lain sebagai berikut:

 

Pertama, untuk equity crowdfunding (aksi penggalangan dana berbasis equitas/saham), telah terbit Peraturan OJK Nomor 37/POJK.04/2018 pada 31 Desember 2018 dan sekarang telah berganti menjadi securities crowdfunding lewat POJK Nomor 57/POJK.04/2020. Aturan ini memang diharapkan dapat memberikan ruang bagi perusahaan perintis atau start up company (perusahaan start up) untuk memperoleh akses pendanaan di pasar modal. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan inklusi keuangan di Tanah Air. Jadi, bagi Anda pengusaha baru, yang kesulitan dana, bisa memanfaatkannya dalam rangka penggalangan modal usaha. Sudah pasti harus memenuhi kriteria yang diatur dan ditetapkan oleh OJK ini.

 

Kedua, untuk crowdfunding berbasis aksi solidaritas sosial, maka payung hukum yang berlaku dan harus digunakan adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (UU Pengumpulan Barang). Di dalam Pasal 1 Undang-undang Pengumpulan Barang, dinyatakan bahwa “undang-undang ini mengatur setiap setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerokhanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan.”

 

Pasal 2 dan Pasal 3 dari Undang-Undang yang sama dinyatakan bahwa “kegiatan pengumpulan uang atau barang harus mendapat izin dari instansi yang berwenang, dalam hal ini adalah Menteri Kesejahteraan Sosial jika pengumpulan itu dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, Gubernur jika wilayah tersebut melibatkan daerah dalam propinsi, dan Bupati atau Walikota untuk aksi penggalangan dana yang berada di Daerah Tingkat II.”

 

Bagaimana jika aksi crowdfunding dilakukan lewat media semacam internet? Termasuk wilayah pengumpulan jenis mana dari bunyi pasal di atas?

 

Aksi crowdfunding melalui internet, umumnya dilakukan dengan jalan meminta calon donatur-nya untuk mendaftar terlebih dulu pada situs tersebut. Pendaftaran ini secara tidak langsung menjadikannya sebagai anggota dari perkumpulan yang membangun jaringan/situs. Dengan demikian, sistem keanggotaan crowdfunding yang dibangun lewat internet ini dapat dikelompokkan sebagai suatu aksi di lingkungan terbatas.

 

Repotnya, Indonesia ini banyak dihuni oleh masyarakat yang mukhlish (iklhas). Terkadang dalam pemberian dananya, masyarakat cenderung tidak mau menyebutkan nama. Mereka hanya mengatasnamakan Abdullah (hamba Allah). Padahal, sebenarnya pola semacam ini justru rawan penyalahgunaan karena dananya bersifat dana tabarru (suka rela), dan bisa dianggap sebagai dana yang tidak dimaksudkan untuk fokus tertentu dari suatu maksud penggalangan dana. Ia bisa dimanfaatkan untuk hal yang tidak menjurus pada aksi solidaritas. Dalam dunia administrasi, tindakan semacam ini rawan pada pelarian dan penggelapan dana.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah – Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur