Syariah

Menyoal Underlying Aset Rupiah Berjamin Emas via Aplikasi Dinaran

Rab, 1 September 2021 | 08:30 WIB

Menyoal Underlying Aset Rupiah Berjamin Emas via Aplikasi Dinaran

Kampanye underlying aset rupiah merupakan kebohongan atau merupakan tindakan yang tidak jujur dalam promosi bisnis.

Tulisan ini bermula dari promosi aplikasi “Dinaran” yang mengampanyekan ‘membikin rupiah sebagai berjamin underlying aset emas’. Kampanye ini begitu gencar disebarkan lewat media sosial, sehingga memantik banyak pihak meresponnya. Pertanyaannya, mungkinkah hal itu dilakukan? Inilah fokus utama bahasan kita pada kesempatan tulisan kali ini.


Untuk menjawab permasalahan tersebut, ada baiknya kita mengingat sabda Baginda Nabi Muhammad saw yang makna substansialnya adalah, bahwa emas bisa ditukar dengan emas, perak dengan perak, dengan syarat matsalan bi matslin (sepadan) dan yadan bi yadin (saling serah terima). Jika pertukaran itu dilakukan dengan barang yang berbeda jenis, maka beliau bolehnya melakukan pertukaran keduanya dengan ketentuan yadan bi yadin saja. 


Para fuqaha selanjutnya melabeli akad tersebut sebagai ‘aqdu sharf. Secara istilah, akad ini kemudian didefinisikan sebagai:


بيع كل واحد من عوضيه من جنس الأثمان، أو: هو بيع النقد بالنقد


Artinya, “Tukar-menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain sesama kelompok barang berharga, atau jual beli nuqud (dinar dan dirham) dengan nuqud (dinar dan dirham).” (Al-Fiqhul Manhaji ‘alâ Madzhabil Imâmisy Syâfi’i, juz VI, halaman 94).


Perkembangan dari akad ini kemudian mengarah ke pertukaran antara emas dengan barang lain yang tidak berbahan dasar emas dan perak. Akad yang berlaku berubah dari akad sharf menjadi akad jual beli. 

 

إن الناس في حاجة إلى كثير من السلع، ولا يستطيع كلّ منهم أن ينتج جميع ما يحتاج إليه منها، فكان لا بدّ من أن يبادل بعضهم بعضًا بهذه السلع، وهذا التبادل لا يحصل إذا لم يكن هناك تراضٍ عليه، وهذا التراضي هو عقد البيع


Artinya, "Sesungguhnya masyarakat membutuhkan banyak sekali barang-barang. Tidak semua orang bisa memproduksi sendiri segala hal yang dibutuhkannya itu. Oleh karenanya, mereka butuh untuk saling bertukar barang satu sama lain. Pertukaran ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur saling ridla. Itu sebabnya akad saling ridla ini merupakan inti dari akad jual beli.” (Al-Fiqhul Manhaji, juz VI, halaman 11).


Seiring kedua entitas dinar dan dirham berbahan baku logam, maka timbul inisiatif kemudahan untuk membawanya. Lalu terbitlah surat berharga yang berjamin emas, yang dalam perkembangannya surat itu berubah statusnya menjadi mata uang kertas berjamin emas (ber-underlying aset emas). Secara fikih, mata uang ini kemudian dikenal sebagai mâl duyûn (harta utang). 


الدين كونه وصفًا في الذمة فهذا من حيث تعلقه، فهو إما أن يتعلق بالذمة، وهو الدين أو يتعلق بشيء معين، وهو العين


Artinya, “Utang merupakan sebuah gambaran dari karakteristik (baca: kertas) suatu aset yang dijamin (baca: emas), khususnya bila dilihat dari sisi sifat itu dikorelasikan. Korelasi karakteristik ini (baca: kertas)  (1) adakalanya dengan jaminan itu sendiri, yakni utang; dan (2) adakalanya berkorelasi dengan aset tertentu, yakni barang (ain, baca: emas).” (Al-Mu’âmalatul Mâliyyah Ashâlah wa Mu’âshirah, juz I, halaman 155).


Dari mâl duyûn kemudian pada perkembangan berikutnya, sifat jaminan berupa materi emas itu dihilangkan, sehingga hanya tersisa sebagai surat berharga saja dengan bahan dasar yang terbuat dari kertas namun mendapatkan legitimasi atau pengesahan dari otoritas yang berwenang (baca: berhak) menerbitkan secara umum, yaitu negara. Hak umum memberikan legitimasi ini selanjutnya disebut sebagai hak materiil (al-haqq al-aini). Di kesempatan lain, hak ini juga disebut sebagai haqqul ma’nawi


Pengertian dari hak materiil adalah:


الحق العيني: سلطة مباشرة يقررها الشرع لشخص ما على عين مالية معينة يملك صاحبها أن يباشر حق التصرف بهذه العين بيعًا واستعمالًا واستغلالًا واستهلاكًا واحتباسًا دون وساطة أحد، ولذا لا يرى في الحق العيني سوى عنصرين بارزين هما: صاحب الحق، ومحل الحق. وأهم الحقوق العينية هو حق الملكية


Artinya, “Hak materiil merupakan suatu otoritas langsung yang ditetapkan oleh syara’ kepada seseorang atas suatu aset hartawi secara ditentukan. Pemilik otoritas berhak menggunakan secara langsung hak pengelolaan terhadap aset tersebut melalui jual beli, menggunakan, memanfaatkan, menghabiskan, menahan, tanpa perlu adanya perantara pihak lain. Karenanya, tidak pernah dijumpai dalam hak materiil ini adanya unsur lain selain dari dua unsur pokok, yaitu: pemilik otoritas, dan tempat atau cara menjalankan otoritas. Yang paling penting dari hak materiil adalah hak kepemilikan (wewenang).” (Az-Zarqa, al-Madkhal ilâ Nadhâriyyatil Iltiazâmil ‘Âmmah, halaman 27).


Adapun yang dimaksud sebagai haq ma’nawi, menurut Syeikh Ali Khafif, adalah:


سلطة على شيء غير مادي، هو ثمرة فكر صاحب الحق أو خياله أو نشاطه، كحق المؤلف فيما ابتدعه من أفكار علمية


Artinya, “Otoritas atas sesuatu yang bersifat bukan materi, yaitu buah dari pemikiran pemilik hak atau daya imajinasinya, atau tugas pokok dan fungsinya. Misalnya hak penulis terhadap hasil pemikiran ilmiahnya.” (Ali Khafif, al-Milkiyyah, halaman 8).


Berdasarkan penjelasan di atas, maka status mata uang yang memiliki underlying aset berupa legitimasi atau pengesahan dari pihak yang berwenang, di satu sisi bisa masuk kategori sebagai native money (uang murni/ ainul mâl) karena yang dinilai adalah materiil bahannya yang terdiri atas kertas berharga. Namun, jika dilihat dari sisi keterbatasan pihak yang berwenang menerbitkan adalah harus negara, sehingga uang kertas itu harus mendapatkan pengesahan darinya, maka uang kertas tersebut bisa dipandang juga sebagai mâl ma’nawi (aset berjamin haq ma’nawi).


Apikasi Dinaran Assetkan Rupiah dengan Emas?
Keberadaan uang selaku native money atau uang dipandang sebagai mâl ma’nawi adalah sama-sama menempati harta berjamin (mâ fidzdzimmah) dengan jaminan terdiri atas hak. Jenis jaminan semacam ini hukumnya adalah sah secara fiqih, sehingga fungsinya juga bisa dijadikan alat tukar. 


Saat uang tersebut dibelikan emas lewat aplikasi online “Dinaran”, maka akad yang berlaku adalah akad pertukaran yang terdiri atas harga (tsaman) dan barang yang dihargai (mutsman). Karenanya, relasi itu tidak bisa dipandang sebagai relasi antara surat kosong dengan penjaminnya. 


Alhasil, transaksi yang dilakukan di aplikasi "Dinaran" dengan dalih mengunderlyingassetkan uang kertas, pada dasarnya tidak bisa dibenarkan secara syara’. Sebab, uang sudah berharga sedari diterbitkan karenah sah menjadi alat tukar. Jika uang yang beredar itu dianggap tidak punya underlying asset, maka itu sama saja dengan mengatakan bahwa uang yang beredar di luar aplikasi "Dinaran" adalah dianggap sebagai harta ma’dûm (aset fiktif). 


Ada beberapa kemungkinan, promosi semacam ini dilakukan, antara lain:


1. sengaja hendak mengambil keuntungan lewat pengelabuan (taghrîr dan tadlîs) melalui kampanye mengunderlyingassetkan rupiah tersebut;
2. sengaja melakukan kebohongan dalam promosi untuk merugikan (idlrâr) perusahaan lain yang memiliki pola bisnis yang sama dengan dirinya, misalnya Tabunganku oleh Pegadaian, E-Mas, atau beberapa marketplace besar di Indonesia.

 


Alhasil, hemat penulis kampanye mengunderlyingassetkan rupiah merupakan kebohongan atau merupakan tindakan yang tidak jujur dalam promosi bisnis. kampanye mengunderlyingassetkan rupiah merupakan kebohongan atau merupakan tindakan yang tidak jujur dalam promosi bisnis. Wallâhu a’lam.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur