Daerah

WCC Jombang Ungkap Penyebab Kerentanan Berlapis dalam Kasus Kekerasan Seksual

Rab, 23 November 2022 | 22:15 WIB

WCC Jombang Ungkap Penyebab Kerentanan Berlapis dalam Kasus Kekerasan Seksual

Suasana workshop Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan di Kantor PCNU Kota Malang, Rabu (23/11/2022). (Foto: NU Online/Syarif)

Malang, NU Online
Direktur Women’s Crisis Center (WCC), Anna Abdillah, menjelaskan tiga hal penyebab adanya reviktimisasi dan kerentanan berlapis dalam penanganan kasus kekerasan seksual di pendidikan berbasis agama.


Anna mengatakan, reviktimisasi dan kerentanan berlapis dalam kasus kekerasan seksual yang pertama terjadi karena proses pembuktian yang memberatkan korban.


“Terkadang korban diminta untuk membuktikan laporannya, harus visum berkali-kali, tes psikologis, dan mengingatkan kembali kejadian perkara secara detail,” jelasnya saat workshop Penanggulangan Kekerasan Seksual Terhadap Anak dan Perempuan di Kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Malang, Rabu (23/11/2022).


Dikatakan, kerentanan berlapis selanjutnya yaitu prosedur penyelesaian kasus yang tidak profesional. Oleh karenanya, korban harus melewati proses hukum yang panjang dan berbelit-belit.


Kegagalan aparat penegak hukum memahami konstitusi yang sudah disahkan oleh negara menjadi kendala penyelesaian kasus. Karena aparat tidak menguasai materi kasus yang dilaporkan. Terkadang bingung menerapkan pasal yang mana.


“Akhirnya kasus baru bisa selesai setelah viral dan disorot banyak pihak. Seakan tidak keadilan jika tidak viral,” tegas Anna.


Hal selanjutnya yang menyebabkan kerentanan berlapis yaitu gagapnya mekanisme penanganan kasus di instansi pendidikan. Padahal pemerintah sudah memiliki regulasi tentang sekolah ramah anak.


Tak jarang, orang yang ada di dalam instansi malah terkesan melindungi pelaku dengan meminta korban untuk tidak membuka mulut dan merahasiakan peristiwa kekerasan seksual yang diterima.


“Ada kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke istrinya pelaku, tapi korban diminta diam. Ada juga lembaga secara resmi membela pelaku, harusnya buat regulasi melindungi korban,” ungkapnya.


Tak harus ke polisi
Ketua Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Fachrizal Afandi, mengatakan bahwa laporan kekerasan seksual tidak harus langsung dilaporkan ke polisi.


“Bisa dilaporkan ke lembaga penyedia layanan terlebih dahulu seperti Women Crisis Center, LBH Kontras, LBHNU, LBH Apik. Bisa juga ke organisasi profesi, organisasi sosial agama, dinas sosial, lembaga perlindungan saksi dan korban,” tuturnya.


Oleh karena itu, lembaga pendidikan perlu memiliki satuan tugas khusus penanggulangan kekerasan seksual di lembaga pendidikan. Khusus pendidikan berasrama, potensi kekerasan seksual cukup tinggi.


“Kekerasan seksual belum tentu karena pakaian minim. Karena memang ada niat pelaku. Menikahkan pelaku pemerkosaan ke korban bukan solusi terbaik,” tandasnya.


Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Musthofa Asrori