Daerah

Warga Internet Kagumi Foto Salaman Dua Kiai di Probolinggo

Rab, 15 Mei 2019 | 03:30 WIB

Warga Internet Kagumi Foto Salaman Dua Kiai di Probolinggo

KH Zuhri Zaini (kanan) dan KH M Hasan Mutawakkil Alallah.

Probolinggo, NU Online
Ada pemandangan yang demikian menyejukkan Selasa (14/5) malam. Dalam sebuah peringatan haul almarhumah Nyai Hj Himami Hafshawaty di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, terpantau dua kiai kenamaan saling bersalaman. Tidak semata berjabat tangan, namun juga diiringi dengan membungkukkan badan pertanda saling menjaga takdzim.

Keduanya adalah KH Zuhri Zaini dan KH Mohammad Hasan Mutawakkil Alallah. Kiai pertama adalah Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid, Karanganyar, Paiton. Sedangkan yang kedua sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong di kabupaten yang sama, Probolinggo.

Siapa sangka foto hasil jepretan Alfin Fikri, fotografer Biro Komunikasi dan Informasi (Kominfo) Pondok Pesantren Zainul Hasan (PPZH) Genggong, beberapa saat yang lalu, kini menjadi viral di media sosial.

Dalam foto tersebut, tampak Kiai Mutawakkil, dan Kiai Zuhri berebut untuk mencium tangan. Kedua kiai yang memiliki puluhan ribu santri tersebut saling takdzim satu sama lain.

Foto ketakdziman kedua kiai panutan ini menjadi perhatian masyarakat, khususnya pengguna media sosial (Medsos). Setelah pertama kali diposting di akun Pesantren Zainul Hasan Genggong oleh biro Kominfo, tidak jarang warga internet sebagai pengguna sosial media mengunggah ulang foto tersebut di akun facebook pribadinya dan bahkan dishare ke grup-grup Medsos seperti WA, instagram, twitter dan lainnya. Ribuan like dan beragam komentar kekaguman atas takdzim kedua kiai ini diluapkan warganet. 

Gus dokter Mohammad Haris Damanhury dari keluarga besar PPZH menuturkan bahwa tradisi untuk saling mendahului mencium tangan antarkiai merupakan cerminan akhlak mulia. “Tradisi saling cium tangan adalah teladan bagi umat, di tengah suasana Indonesia yang tergerus akhlak kebangsaan,” katanya. 

Gus Haris, sapaan akrabnya menilai para kiai menganggap guru antara satu dengan yang lain. “Yakni saling ingin berharap berkah, dan tentu saja diiringi dengan saling menghormati,” jelasnya.

Menurutnya, gerak badan dengan saling membungkuk dan berebut mendahului untuk mencium tangan sebagai akhlak mulia para tokoh pesantren dan layak diikuti tokoh lain di negeri ini. “Itulah akhlak kiai dan ulama kita. Saling berebut untuk menjadi kalangan yang mengalah dan tiidak ingin menonjolkan diri,” ungkapnya.

Tradisi ini menurutnya sangat penting diketahui khalayak. “Bahwa jabatan dan pengaruh besar, jangan dijadikan alasan berbangga diri apalagi menganggap kalangan lain kecil,” sergahnya.

Dengan ribuan santri dan jutaan alumni yang dimiliki kedua kiai pesantren tersebut, bisa saja dijadikan media untuk mengkalim sebagai pihak yang berpengaruh.  “Tapi keduanya justru berebut menjadi kalangan yang merasa tidak memiliki kekuatan apa-apa. Dan hal itu dengan kasat mata dapat dilihat dari cara keduanya bersalaman,” urainya.

Akhlak inilah yang harus terus digelorakan kepada umat. “Terpenting sikap ini menunjukkan bahwa beliau-beliau tidak merasa paling benar dan paling pintar,” tutup Gus Haris. (Ibnu Nawawi)