Daerah

Teliti Pendidikan Muslim Tionghoa, Ketua Lakpesdam NU Sabet Gelar Doktor 

Jum, 14 Februari 2020 | 10:30 WIB

Teliti Pendidikan Muslim Tionghoa, Ketua Lakpesdam NU Sabet Gelar Doktor 

Winarto Eka Wahyudi.saat mempertahankan disertasinya di hadapan sejumlah penguji. (Foto: NU Online/istimewa)

Malang, NU Online
Hari yang menegangkan sekaligus membanggakan dijalani Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama atau Lakpesdam NU Lamongan, Jawa Timur, Winarto Eka Wahyudi. Hal tersebut terjadi dalam sidang promosi doktor Pendidikan Agama Islam Multikultural di Universitas Islam Malang atau Unisma, Jumat (14/2) sore.
 
Dalam sidang promosi yang digelar di ruang seminar Hasyim Asy’ari, gedung Utsman bin Affan, Lt. 7 Unisma, Eka -sapaan akrabnya- menyampaikan disertasi yang berjudul ‘Social Pedagogy Muslim Etnis Minoritas: Konstruksi Muslim Tionghoa dalam Praksis Pendidikan Islam di Surabaya’. 
 
Riset ini menurutnya, merupakan upaya dalam rangka menguak karakteristik atau ciri khas bagaimana etnis minoritas mentransmisikan ajaran agama mayoritas (Islam, red) di internal komunitasnya.
 
“Muslim Tionghoa dalam perspektif sosiologis sering diatribusikan sebagai entitas yang memiliki problem eksistensial, yang diistilah sebagai minoritas ganda atau double minority” terangnya dalam sidang promosi di hadapan tim penguji.
 
Dosen di Universitas Islam Lamongan (Unisla) tersebut menerangkan bahwa komunitas ini, minoritas dalam hal keislaman di etnisnya sendiri, dan tetap menjadi minoritas di tengah etnisitas lain di Indonesia. Realitas sosial inilah yang akhirnya memantik untuk diteliti lebih lanjut, tentang improvisasi dan desain pendidikan Islam yang dijalankan oleh Muslim Tionghoa. 
 
Dalam risetnya tersebut, Eka menemukan bahwa langgam pendidikan Islam Muslim Tionghoa berhasil memadukan tiga unsur yang saling menyempurnakan (takamuliyah). Yakni: pengajaran, kebudayaan dan kewahyuan. Ketiganya berjalan secara dialektis-integral, bukan hirarkis-piramidal. Melalui jalan ini, Muslim Tionghoa ingin terhindar dari paham keislaman yang justru memperparah eksistensi sosialnya sebagai kelompok minoritas.
 
Aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) ini menambahkan, bahwa corak pendidikan Islam bagi Muslim Tionghoa tidak bisa dipahami hanya sebatas pengajaran (teaching) atau pembelajaran semata. Menurutnya, pemahaman itu justru akan mereduksi hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan Islam Muslim Tionghoa adalah upaya transformasi kebudayaan, sehingga transmisi antara keilmuan dan nilai-nilai kebudayaan berjalan secara serentak dalam interaksi akademik.
 
Dengan model pedagogi sosial, pemeluk Islam pada komunitas ini tetap bisa mempertahankan background sosio-kulturalnya. Menjadi Muslim yang taat, tidak berposisi biner dengan menjadi Tionghoa sejati. 
 
“Keduanya bisa berjalan dengan seiring dan harmonis tanpa mereduksi satu sama lain. Hal ini bisa dilakukan karena pendidikan Islam diartikulasikan dengan pandangan hidup serta nilai-nilai kebudayaan yang berlaku pada etnis Tionghoa,” urai dia.
 
Menurutnya, melalui pemahaman demikian, bisa dipahami bahwa nalar pendidikan Islam sesungguhnya bukan entitas tertutup (isolated entity). Ia akan tetap mengalami intervensi dari konstelasi sosial dan kebudayaan dominanan dimana pendidikan Islam itu dijalankan. 
 
“Dari sinilah kosmopolitanisme Islam bertemu dengan ketionghoaan inklusif melalui interaksi akademik pendidikan Islam,” pungkasnya.
 
 
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Aryudi AR