Daerah

Susur Pondok Kajen Sambangi Makam Ulama dan Pesantren Tua

NU Online  ·  Ahad, 27 Mei 2018 | 20:30 WIB

Semarang, NU Online
Panas terik matahari tak memadamkan semangat puluhan siswa-siswi Sekolah Menengan Atas/sederajat Kabupaten Pati berkumpul di Balai Desa Kajen Margoyoso. Mereka mendengarkan cerita sejarah dari komunitas Sumohadiwijayan. Mereka yang tergabung dalam Bimbingan Pascaujian Nasional (BPUN) duduk berjejer rapi di atas kursi.

Kegiatan ini difasilitasi oleh mahasiswaUniversitas Diponegoro Semarang yang tergabung dalam tim Pengabdian Masyarakat. Tim ini diketuai oleh Mohammad Nur Faiz (jurusan Sejarah), Ilham (jurusan Fisika), Novita (jurusan Fisika), Kencana (jurusan Biologi). Susur Pondok Kajen ini merupakan implementasi dari Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) sebagai bagian dari lomba karya tulis nasional.

Sumohadiwijayan sendiri merupakan komunitas asli Kajen yang nguri-uri (merawat) sejarah dan sadar akan pentingnya benda pusaka serta kebudayaan Kajen. Bermodal pengetahuan akan sejarah benda pusaka dan tempat-tempat peninggalan leluhurnya, komunitas Sumohadiwijayan memberikan pengetahuan akan sejarah KH Ahmad Mutamakkin, makam Kanjengan, bangunan masjid kuno Kajen dan keliling di pondok pesantren tertua yang ada. 

'Santri BPUN' ini berangkat dari Desa Kadilangu yang berjarak 10 kilometer menuju Kajen menggunakan kendaraan bak terbuka. Kegiatan yang berlangsung awal Mei ini memberikan kesan baik bagi mereka. Mereka khusyuk mendengarkan sejarah yang selama ini belum mereka ketahui tentang Kajen. Terbukti dengan banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh santri BPUN setelah komunitas Sumohadiwijayan menjelaskan sejarah suatu tempat yang dikunjungi. 

Kunjungan pertama, berziarah ke  makam Kanjengan yang letaknya berada di sebelah barat balai desa. Konon, menurut cerita dari leluhur Kajen, bahwa makam Kanjengan merupakan makam dari Bupati pertama Juwana zaman penjajahan. Setelah itu bergeser ke makam KH. Ahmad Mutamakkin. KH. Ahmad Mutamakkin merupakan penyebar agama Islam pertama di tanah Kajen.

Selesai berziarah, komunitas Sumohadiwijayan bersama mahasiswa Undip mengajak siswa-siswi ke sebuah masjid kuno yang merupakan masjid bersejarah di Kajen, yaitu Masjid Jami Kajen. Masjid tersebut merupakan masjid pertama di Kajen yang sampai sekarang sudah mengalami perluasan dan renovasi dengan gaya khas perpaduan kuno-modern. Gaya khas kunonya terdapat dalam pusat bagian dalam masjid dan gaya modernnya untuk teras dan halaman parkir masjid. Monumen keran melayang sebagai ciri khas kota Pati terdapat juga di halaman depan masjid Kajen. 

“Di dalam Masjid Kajen ini banyak peninggalan Mbah Mutamakkin yang sampai sekarang masih terawat dan masih digunakan, salah satu yang ikonik adalah mimbar untuk khutbah Jumat. Di mimbar tersebut terdapat lambang naga, gajah, dan kuntul (bangau) nucuk bulan," ungkap Zuli Rizal, ketua Komunitas Sumohadiwijayan.
 
Ketiga lambang tersebut memiliki makna dan arti tersendiri yang merupakan cerminan dari masyarakat Kajen untuk selalu berbuat dan bekerja secara baik dan memiliki mimpi yang setinggi-tingginya. Konon siapa saja yang berdoa dan sholat didekat mimbar tersebut akan cepat dikabulkan keinginannya oleh Allah. Selain mimbar khutbah, ada juga benda peninggalan mbah Mutamakkin yang sampai sekarang masih diabadikan yaitu tulisan kaligrafi berbentuk lingkaran yang berada dilangit-langit atap  masjid.

"Masyarakat Kajen masih yakin bahwa siapa saja yang berdoa dan ber-tawasul kepada Mbah Mutamakkin didekat mimbar tersebut, doanya akan cepat terkabul," tambah Zuli Rizal. 

Setelah seharian keliling tempat-tempat bersejarah di Kajen, Santri BPUN diajak berkeliling di salah satu pondok tertua di Kajen, yang disebut juga dengan Pondok Tengahan. Di Kajen sendiri ada banyak pondok pesantren, beberapa ada yang dibagi menurut wilayahnya yaitu, Pondok Kulon Banon (bangunan makam), Pondok Tengahan, dan Pondok Wetan Banon.

Pondok Wetan Banon ini sekarang lebih dikenal sebagai Pesantren Salafiyah, didirikan pada tanggal 12 Mei 1902 oleh KH Siroj. Ia masih merupakan keturunan dari Syekh Ahmad Mutamakkin. Menurut sumber yang ada, Pondok Wetan Banon (Salafiyah) ini sekarang memiliki lebih dari 50.000 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia. Sayangnya, saat itu rombongan belum bisa menyambangi Pondok Wetan Banon karena sedang ada acara perpisahan, sehingga belum bisa dikunjungi pihak luar. 

“Kak, kenapa kita transitnya di pondok tengahan?” tanya Vyan, salah satu peserta Susur Pondok. 

“Iya Dek, karena pondok tengahan ini letaknya paling dekat dengan masjid jami. Kan tadi kita habis shalat dari sana, jadi kita langsung menuju pondok tengahan,” jawab Junna, salah seorang pendamping susur pondok.

“Kak Pondok Tengahan ini memiliki nama sendiri seperti Pondok Wetan Banon tidak? Kenapa terkenalnya dengan nama Pondok Tengahan?” Vyan kembali bertanya. 

“Pondok Tengahan ini memiliki nama Pesantren Raudlatul Ulum (PRU), kenapa disebut dengan istilah Pondok Tengahan? Karena letak geografis dari pondok PRU ini tepat berada di tengah-tengah antara Pondok Wetan Banon dan Pondok Kulon Banon dan berdekatan dengan makam Mbah Mutamakkin,” Junna menjelaskan sambil memegang sebuah pengeras suara di tangan kirinya. 

Pondok Tengaha nini didirikan oleh KH Ahmad Fayumi Munji (almarhum) dan sekarang diasuh oleh anak beliau yang bernama Mohammad Ismail Fayumi, atau terkenalnya Gus Mail. Sementara Pondok Kulon Banon sendiri bersebelahan dengan Madrasah Mathali’ul Falah. Pondok ini terletak di sebelah barat makam Kanjengan (makam-makam para ningrat), dan juga sebelah barat Sarean (makam Mbah Mutamakkin).

Pondok Kulon Banon didirikan sekitar tahun 1900 M oleh KH Nawawi, putra KH Abdullah yang merupakan keturunan dari KH Ahmad Mutamakkin juga. Kebanyakan dari santri di Pondok Kulon Banon bersekolah di Mathali’ul Falah. Selain dekat, madrasah ini juga merupakan yayasan yang memilki sekolah tinggi sendiri dengan nama Institut Perguruan Mathaliul Falah (IPMAFA). Perlu dicatat bahwa madrasah ini masih asli menerapkan sistem salafnya dalam kurikulum madrasah.

Perjalanan Susur Pondok ini memiliki keunggulan. karena para peziarah yang datang ke Kajen mungkin hanya tahu makam Mbah Mutamakkin. Tim ingin memberikan edukasi berbasis religi dan pengenalan kepada pengunjung/peziarah bahwa di Kajen mempunyai cerita sejarah yang menarik. Selain itu, ada beberapa pondok pesantren yang bisa dijadikan pembelajaran baru khususnya untuk para peziarah dari luar daerah.

Mohammad Nur Faiz; Mahasiswa Sejarah UNDIP angkatan 2014, aktif sebagai kader IPNU PCNU Pati. Tergabung dalam Majelis Alumni IPNU PAC Wedarijaksa.