Malang, NU Online
Keberadaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) di Kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah cukup menarik untuk diketahui. PMII yang dikenal sebagai sayap mahasiswa Nahdliyin ini, justru memiliki magnet bagi mahasiswa (sebagian) di kampus Muhammadiyah.
Lantas bagaimana organisasi kemahasiswaan yang lahir dari NU tersebut bisa eksis di rumah orang lain? Untuk mengetahui hal tersebut, Ketua Komisariat PMII Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) periode 2018-2019 Muhammad Muhlisin, kepada NU Online mengisahkan pengalamannya.
Dari Muhlisin diketahui, sampai dengan tahun ini, PMII sudah berada di 12 kampus Muhammadiyah se Indonesia. Para Ketua dari 12 Komisariat tersebut sering menjalin komunikasi meski baru melalui Grup WA. "jadi kami berkomunikasi melalui grup khusus, meski kami belum pernah ketemu," jelasnya.
Menurut Muhlisin, di antara kampus Muhammadiyah yang lain, di UMM Malang paling lama berdiri. PMII di UMM berdiri pada tahun 1992, sementara di kampus Muhammadiyah yang lain PMII berdiri pascareformasi, setelah tahun 1998.
"Dengan keberadaan PMII di UMM yang sudah melewati 27 tahun tersebut, karena empat faktor utama bagaimana PMII bisa diterima di tengah kultur kampus yang berbeda secara ideologis," ujarnya.
Pertama, fakta bahwa mahasiswa di kampus Muhammadiyah seperti di UMM, tidak semua berlatar dari keluarga atau kader Muhammadiyah. Banyak Mahasiswa dari keluarga NU, bahkan tak sedikit mereka yang alumni pesantren-pesantren NU, memilih kuliah di kampus Muhammadiyah.
Dijelaskan, saat menghadapi atau bertemu dengan mahasiswa dengan latar belakang NU ini, pengurus PMII melakukan pendekatan dengan pendekatan sejarah bahwa PMII lahir dan berkegiatan dengan kultur khas NU. Diajaklah mereka untuk ikut acara kegiatan PMII di bidang keagamaan, seperti Kajian dan pembacaan Berzanji.
"Paling tidak, PMII menjadi obat kangenan ritual keagamaan Ala NU, yang ia sama sekali tidak ditemukan di kampus," papar mahasiswa asal Kabupaten Pati ini.
Kedua, lanjutnya, tidak sedikit dari mahasiswa baru yang dengan sendiri datang mencari PMII. Rata-rata mereka mendapat pesan khusus, atau amanah dari Kiai/Pengurus di Pondoknya untuk aktif di PMII. "Model seperti ini cendrung militan, sebagai ketakdziman seorang santri kepada Kiai-nya. Ada juga yang karena saudaranya alumni PMII, yang kemudian mengarahkan untuk aktif di PMII," paparnya.
Ketiga, PMII bisa eksis dan diminati juga karena pilihan Kajian dan hubungan emosional yang kental antar anggota. Paradigma "moderat" di PMII ini menjadi ketertarikan khusus bagi pengayaan wacana baru bagi mahasiswa di kampus Muhammadiyah yang kelewat "disiplin".
"PMII bisa menyesuaikan kapan menjadi 'kiri', kapan 'tengah' dan kapan 'kanan'. Ini ditambah dengan berbagai pelatihan-pelatihan Soft Skill, seperti kepenulisan dan lain sebagaianya," tuturnya.
Di waktu yang bersamaan, persahabatan yang dibangun antar anggota di PMII cukup kuat. PMII mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi anggota. Sehingga, anggota di PMII cukup beragam, bukan hanya dari kalangan Nahdliyin, tak sedikit mahasiswa yang berlatar belakang Muhammadiyah pun aktif dan turut membesarkan PMII.
Muhlisin menyebutkan beberapa alumni PMII UMM yang sukses bergerak di masyarakat dan pemerintahan. Salah satunya adalah Badrut Tamam yang kini menjadi Bupati Pamekasan.
"Dan keempat, meski anggota PMII di kampus Muhammadiyah tidak banyak, dengan ini justru mereka survive di tengah menjadi kelompok minoritas. Usaha untuk mempertahakan identitas sekaligus ingin mematahkan anggapan NU yang dianggap kolot dan terbelakang. Dengan demikian, kualitas dan militansi kader tumbuh dengan sendirinya," pungkasnya. (Abraham Eboy/Muiz)