Daerah

Refleksi Idul Adha: Belajar Menilai Isi Hati, Bukan Lahiriah

NU Online  ·  Ahad, 19 Agustus 2018 | 23:30 WIB

Pamekasan, NU Online
Manusia punya kecenderungan menilai orang lain lebih pada yang tampak oleh mata. Padahal, menilai terhadap isi hati bisa dilakukan oleh siapa pun. Refleksi momentum Idul Adha dapat jadi pembelajaran.

Demikian ditegaskan oleh KH Abdul Basid Mansur, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Bungbaruh, Kadur, Kabupaten Pamekasan. Hal itu diketengahkan saat dirinya menjadj penceramah dalam rangka peringatan HUT ke-73 RI dan menyambut hari raya Idul Adha di Desa Bulay, Galis, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, Ahad (19/8) malam.

"Menilai isi hati sepintas sepertinya mustahil. Sebab, hanya Allah lah yang dapat melakukannya. Kendati demikian, itu bisa kita lakukan. Ibrah peristiwa bersejarah Nabi Ibrahim adalah jawabannya," ungkap Kiai Basid.

Dia menegaskan, Idul Adha berarti Hari Raya Penyembelihan. Hal ini untuk memperingati ujian berat yang dialami Nabi Ibrahim dalam hidupnya, yaitu perintah untuk menyembelih putranya bernama Ismail yang masih usia tujuh tahun.

Tapi dengan kesabaran dan ketabahan dalam menjalani ujian itu, maka Nabi Ibrahim sukses dan dia mendapatkan gelar kehormatan dari Allah sebagai Khalilullah (Kekasih Allah).
 
Setelah Nabi Ibrahim menyandang Khalilullah, tambah Kiai Basid, para malaikat bertanya kepada Allah mengapa memberikan gelar kehormatan Khalilullah kepada Nabi Ibrahim. 

"Bukankan Ibrahim sibuk dengan Kekayaannya dan keluarganya? Tanya malaikat. Allah Menjawab: 'Wahai malaikat, jangan engkau menilai hambaku Ibrahim diukur dari lahiriyah, tapi tengoklah isi hatinya'," tegas Kiai Basid. 

Dari penjabaran tersebut, ujar Kiai Basid, sejatinya manusia bisa membaca isi hati orang lain. Namun, hanya orang-orang istimewa di sisi Allah yang bisa melakukannya.

"Makanya kita pernah mendengar istilah mata batin. Itu hanya dimiliki oleh Nabi dan waliyullah. Berhubung kita sulit melakukan itu, maka seyogyanya kita mending menilai isi hati kita sendiri. Ibda' binafsik," tukasnya. (Hairul Anam/Fathoni)