Rajawali itu Bernama NU, Ini Kekuatan Dua Sayapnya
NU Online · Rabu, 11 Januari 2017 | 23:00 WIB
Hal itu mereka lakukan tiap kali pemateri datang, termasuk materi kali ini, ke-NU-an, yang akan disampaikan oleh KH Achmad Chalwani Nawawi, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan.
Moderator pun kemudian mengenalkan curiculum vitae Wakil Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah ini. “Beliau pernah menjadi ketua IPNU Ranting PGA Ma’arif Berjan, Pengurus PMII Komisariat Tribakti Lirboyo, Bidang Pendidikan Kader PC GP Ansor Kediri, dan juga pernah melenggang di senayan menjadi DPD RI periode 2004 – 2009,” ungkapnya, mengenalkan.
“Sebagai kader Ansor, kita patut mencontoh beliau. Selain sebagai kiai yang pernah nyantri di berbagai pesantren seperti di Krapyak dan Lirboyo, beliau juga masih menempuh program S2,” imbuhnya.
Setelah disilakan, kemudian dengan nada rendah Kiai Chalwani menyampaikan materi secara perlahan. “NU adalah perkumpulan ulama dan pengikutnya. Maka namanya bukan Nahdlatul Ummat atau Nuhudlul Ulama,” ungkapnya.
“Kenapa tidak Nahdlatul Ummat? Dalam sebuah Hadits, Nabi bersabda: ‘lā tajtami’u ummati ‘alād dhalālah, umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan’. Menurut Dr. Imam Bashori Anwar, yang dimaksud umat dalam hadits tersebut: ay ulamāi ummati, kesepakatannya ulama umatnya nabi. Jadi, yang dijamin kebenarannya adalah konsensus (ijma’, kesepakatan) ulama Islam, bukan kesepakatan umat Islam,” jelasnya. Para peserta diam mendengarkan, beberapa mencatat keterangan.
Kemudian, beliau memaparkan signifikansi Gerakan Pemuda Ansor dan Banser bagi NU. “Dulu, KH. Idham Cholid, mantan Ketua Umum PBNU pernah tiga kali ke sini, - Pondok Pesantren An-Nawawi – dan menyampaikan pidato begini: ‘NU ini ibarat burung garuda yang akan terbang. Sayap kanan dan kirinya harus fit. Sayap kanannya yaitu tahlilan, manaqiban, mujahadah, kenduri, riyadlah, dan tradisi-kultural NU yang lain. Sedangkan di sayap kiri ada IPNU, PMII, GP Ansor, Banser, beserta segenap neven-nevennya yang struktural’. Jadi, kedua-duanya harus berjalan seiring-seirama. Jika hanya satunya, takkan bisa terbang,” jelasnya.
Beliau juga membeberkan kealiman KH Idham Cholid. “Beliau adalah orang yang alim. Konon, bahasa Arabnya lebih fasih dari orang Mesir. Dalam suatu kesempatan, beliau pidato di Mesir dan orang sana takjub. Itulah kemudian beliau diberi gelar doktor oleh salah satu universitas di Mesir.”
Usai menceritakan KH Idham Cholid, sang guru politisi NU itu, beliau menceritakan perintis dan penggerak NU: KH Wahab Chasbullah. “Ketika Indonesia belum merdeka, tahun 1926 Mbah Wahab sudah mengatakan dalam syair lagunya yang heroik: Yalal Wathan, Indonesia Biladi, Indonesia Tanah Airku. Beliau sudah menyatakan Indonesia negara kita yang harus dibela, siapa saja yang mengganggu harus dibinasakan. Pemikiran beliau sudah maju, jauh sebelum Indonesia merdeka. Adapun mengapa beliau memakai bahasa Arab, adalah agar penjajah Belanda tidak tahu artinya. Jika Belanda tidak tahu artinya, ini artinya aman dari mereka. Ini strategi politik ketika itu,” ungkapnya.
Mbah Wahab, kata Kiai Chalwani, juga pernah menyampaikan keinginannya dalam suatu forum khataman di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. “Saya ingin NU punya tokoh yang berjenjang,” ungkapnya, menirukan Mbah Wahab. “Sebisa mungkin, kader-kader Ansor dan Banser berjenjang, mulai dari tingkat bawah sampai atas, mulai dari pengkaderan dasar sampai nasional,” ungkapnya, menginginkan kader NU patuh terhadap pesan Mbah Wahab.
Kiai Chalwani kemudian juga menyampaikan cuplikan pidato mantan Rais Aam PBNU, KH Achmad Shiddiq di Muktamar Situbondo (1984), yang salah satu hasilnya waktu itu adalah penetapan Pancasila sebagai dasar negara. Dalam forum tersebut, kata Kiai Chalwani, beliau berkata: “NU tidak punya watak menghimpun satu kekuatan untuk dihadapkan pada kekuatan lain. Tetapi NU berwatak menghimpun berbagai kekuatan untuk mencapai Islam yang rahmatan lil ‘ālamin.”
Menurut Kiai Chalwani, NU – yang notabene meneruskan paham Ahlussunnah wal Jamaah – didirikan untuk mengawal agama dan bangsa, bukan hanya untuk suku, kelompok, ras, apalagi partai. “Di Indonesia ini, yang paling tangguh ya NU. Maka jika ingin merusak Indonesia, harus merusak NU terlebih dahulu.”
Di tengah suasana dewasa ini yang panas dengan berbagai isu fitnah dan sara, Kiai Chalwani menasehati kader-kader NU untuk menjaga toleransi. “Toleransi (tasamuh) itu bukan membenarkan yang lain, tetapi menghargai yang lain,” katanya, memberi batasan.
Beliau – mengutip KH Ali Maksum Krapyak – juga berpesan agar kader-kader Ansor mengenal NU (al-ma’rifatu bi nahdlatil ulama), percaya pada NU (ats-tsiqatu bi nahdlatil ulama), berjuang di NU (al-jihadu fi nahdlatil ulama) dan bersabar di NU (ash-shabru fi nahdlatil ulama).
“Asshabru kashibri, sabar itu pahit,” kata beliau, mengutip kalimat Syekh Nawawi Banten. Dengan bekal itu, harap Kiai Chalwani, para alumnus PKL dan Susbalan ini menjadi penggerak dan pengendali NU di masa depan.
Banyak hal yang beliau sampaikan, dalam paparan selama kurang lebih satu jam di malam itu. Tak semua tertulis disini, oleh karena beberapa materi pengkaderan di NU bersifat eksklusif, tertutup dan rahasia. Usai menyampaikan materi, peserta dan panitia bersalaman, dan mengajak beliau berfoto bersama, sebagai kenang-kenangan. (Ahmad Naufa Khoirul Faizun/Abdullah Alawi)
Ahmad Naufa Khoirul Faizun adalah Wakil Sekretaris PC GP Ansor Kabupten Purworejo. Features ini adalah reportase sebagian dari materi ke-NU-an yang disampaikan KH. Achmad Chalwani dalam forum Susbalan Banser dan PKL Ansor Cabang Purworejo, Jawa Tengah, 5-8 Januari 2017.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Amalan Penting di Permulaan Bulan Dzulhijjah, Mulai Perbanyak Dzikir hingga Puasa
4
Keistimewaan Bulan Dzulhijjah dan Hari Spesial di Dalamnya
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Kelola NU Laksana Pemerintahan, PBNU Luncurkan Aplikasi Digdaya Kepengurusan
Terkini
Lihat Semua