Daerah

Petani Pundenrejo Pati Melawan Intimidasi, Minta Bupati Kembalikan Lahan kepada Rakyat

NU Online  ·  Jumat, 30 Mei 2025 | 19:30 WIB

Petani Pundenrejo Pati Melawan Intimidasi, Minta Bupati Kembalikan Lahan kepada Rakyat

Para petani Pundenrejo Pati, Jawa Tengah, saat berjalan menuju Kantor Bupati Pati, pada Rabu (28/5/2025). (Foto: dok. LBH Semarang)

Pati, NU Online

Para petani dari Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, kembali mendatangi Kantor Bupati Pati untuk melakukan audiensi pada Rabu (28/5/2025).


Mereka menuntut penyelesaian konflik agraria antara petani Pundenrejo dan PT Laju Perdana Indah (LPI) atau Pabrik Gula (PG) Pakis.


Perwakilan Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), Zainuddin, meminta Bupati Pati Sudewo agar segera menyelesaikan konflik ini dan mengembalikan tanah yang menjadi objek sengketa kepada rakyat atau petani.


Ia menegaskan bahwa tanah tersebut merupakan warisan leluhur yang dahulu dirampas oleh kolonial Belanda. Selama sekitar 20 tahun terakhir, lahan itu digarap petani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


“Petani Pundenrejo hanya ingin kembali menanam dan mendirikan rumah karena tidak mempunyai tempat tinggal,” ujarnya kepada NU Online, Kamis (29/5/2025).


Zainuddin juga menolak tawaran mediasi lanjutan dari Bupati Pati, karena dinilai masih melibatkan PT LPI yang menurutnya tidak lagi memiliki hak atas lahan tersebut.


Ia mendesak Bupati Pati Sudewo sebagai Ketua Tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) agar menggunakan kewenangannya untuk memasukkan tanah konflik di Pundenrejo ke dalam Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).


“Maka petani Pundenrejo meminta kepada Bupati Pati sebagai Ketua Tim Gugus Tugas Reforma Agraria untuk menggunakan kewenangannya memasukan tanah konflik ke dalam usulan TORA,” terang pria yang akrab disapa Udin ini.


“Hal ini merupakan jalan keluar yang adil untuk mencegah agar petani Pundenrejo tidak terus-terusan menjadi korban intimidasi dari PT Laju Perdana Indah yang acapkali menggunakan pendekatan kekerasan,” tambahnya.


Sementara itu, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Dhika, menegaskan bahwa saat ini PT LPI tidak lagi memiliki hak atas lahan yang disengketakan. Hal ini diperkuat dengan habisnya masa berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) PT LPI.


Ia merujuk pada surat dari Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN RI No.89/500.22.LR.03.01/III/2025 yang menyatakan bahwa permohonan Hak Pakai atas tanah garapan petani telah dikembalikan kepada PT LPI sebagai pemohon.

 

“Namun petani menyayangkan tindakan PT LPI yang cenderung menggunakan pendekatan kekerasan, padahal tidak mempunyai hak apapun di atas tanah garapan petani,” jelasnya.


Dhika menambahkan, sebelumnya pada Kamis (13/5/2025), ratusan orang yang diduga suruhan PT LPI merobohkan secara sepihak Joglo Juang atau Aup-Aupan milik petani. Lalu pada Rabu (7/5/2025), sekelompok orang bertopeng juga merobohkan dua rumah petani yang berada di atas lahan konflik.


“Atas tindakan tersebut, petani Pundenrejo meminta agar Bupati tidak mengabaikan hak atas rasa aman petani. Ke depannya, Bupati Pati harus membuka ruang yang adil dalam penyelesaian konflik,” ucapnya.


“Dalam pertemuan tersebut (audiensi), petani Pundenrejo juga menyayangkan kehadiran perwakilan PT LPI yang tiba-tiba hadir. Padahal mereka jelas tidak tercantum dalam lampiran surat undangan yang diterima Germapun,” tuturnya.


Sehari sebelumnya, Selasa (27/5/2025), para petani juga menggelar aksi demonstrasi di Kantor Bupati Pati, bertepatan dengan kunjungan Gubernur Jawa Tengah. Dalam aksi tersebut, petani menuntut agar lahan sengketa dijadikan objek reforma agraria.


Namun, aksi ini tidak membuahkan hasil karena para petani dihadang oleh aparat kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Mereka mencoba berdialog agar dapat bertemu langsung dengan Bupati dan Gubernur, tetapi tidak mendapatkan izin.