Daerah

PWNU Lampung Jalin Kerukunan Lintas Iman di NTT

NU Online  ·  Rabu, 11 Mei 2016 | 06:01 WIB

Sumba Timur, NU Online
Ketua Lajnah Ta'lif wan Nasyr (LTN) PWNU Lampung, Fadilasari, mengikuti lokakarya perempuan dan perdamaian lintas iman, di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Acara yang digelar 10-11 Mei 2016 itu dipusatkan di GKS Umamapu, Waingapu.

Fadilasari yang hadir sebagai perwakilan  PWNU Lampung, berangkat bersama Pendeta Theresia Tatangindatu dari Gereja Sinode GKSBS, Lampung. Menurut Fadilasari, acara tersebut sangat baik, karena menjadi ajang saling curhat dan berbagi pengalaman antarumat beragama. Para penanya bisa bertanya tentang ajaran agama lain maupun agama yang diyakininya pada para pembicara terkait dengan telorensi, keragaman, dan perdamaian.

"Peserta bisa saling mengetahui inti ajaran lintas iman terkait hal tersebut, sehingga bisa saling memahami dan mengerti, dan menghilangkan rasa-rasa curiga yang kerap timbul dalam kehidupan sehari-hari," katanya.

Selama dua hari peserta mendengarkan sejumlah materi di antaranya, Perdamaian dalam Perspektif Agama-Agama, Perempuan Konflik dan Perdamaian, dan Sharing Pengalaman Perempuan dan Konflik. Selain itu ada juga topik tentang Strategi Mengembangkan Perdamaian dalam Perspektif Islam.

Salah seorang pembicara, Pdt. Merry L.Y Kalimon, mengatakan, sejarah bangsa kita penuh dengan memori tentang upaya kerukunan lintas iman. Namun tak dapat disangkal bahwa kita juga mewarisi ingatan, bahkan mengalami kekerasan antar agama yang melukai tubuh dan jiwa  diri serta komunitas kita.

"Perempuan lintas agama harus menjadi pewaris tradisi saling mendukung antar umat lintas iman," katanya.

Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) itu mencontohkan, saat umat muslim membangun masjid di Alor, NTT, umat Kristen turut menjadi panitianya. Demikian pula saat umat Kristiani menyelenggarakan pesta paduan suara gerejawi, umat Muslim membantu pelaksaan kegiatan.

"Namun saat ini toleransi di rumah kita terancam serius karena kekerasan dan terorisme. Pemuka-pemuka agama harusnya jangan lagi meneriakkan NKRI harga mati, tapi harusnya NKRI harga hidup," tegar Merry.

Sementara itu pembicara lainnya, Hanifah Haris, mengatakan, dalam keberagaman hidup beragama, berlaku istilah tak kenal maka tak sayang. "Bila kita saling tidak mengenal maka akan ada saling curiga dan mengembangkan pemikiran sesuai persepsi masing-masing. Karena itu perempuan harus menjadi guru dalam perbedaan," katanya.

Pada sesi tanya jawab, salah seorang peserta yang menyatakan mengapa saat ada kegiatan bersama antar warga lintas iman, ada warga muslim yang enggan ikut makan dalam acara bersama tersebut. Mereka juga khawatir atas penggunaan piring dan tempat masak yang digunakan. Jadi seolah ada rasa saling tidak percaya.

Hanifah menerangkan, dalam Islam ada tiga jenis makanan yang dihindari, yaitu hewan yang memiliki gigi tajam dan bertaring (kecuali ikan), hidup di alam terbuka, dan cara penyembelihan yang tidak tepat. Sementara soal piring dan tempat masak, dikhawatirkan pernah digunakan untuk memasak babi dan anjing.

"Atas dasar itu akan menimbulkan keragu-raguan. Dalam Islam ada ajaran, tinggalkan yang kamu ragu dan ambil yang kamu yakini," kata Hanifah yang merupakan aktivis di The Asian Muslim Action Network (AMAN) tersebut. (Rafa/Mahbib)