Daerah

Pupuk Bersubsidi Dibatasi, Petani Tuntut Harga Gabah Naik

Sab, 23 Januari 2021 | 13:00 WIB

Pupuk Bersubsidi Dibatasi, Petani Tuntut Harga Gabah Naik

Petani menanam padi (Foto: Antara)

Jember, NU Online
Kelangkaan pupuk urea bersubsidi masih menjadi persoalan yang tak kunjung terpecahkan. Setiap awal musim tanam, petani selalu dihantui kegalauan. Pasalnya, kuota pupuk bersubsidi untuk setiap petani dibatasi, jauh berkurang, bahkan lebih separuh dari biasanya. Selebihnya petani dianjurkan untuk menggunakan pupuk non-subsidi.


“Tapi persoalannya, harga gabah tidak naik, padahal salah satu komponen produksi (pupuk) sangat mahal,” ucap salah seorang petani Desa Antirogo, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Suryadi kepada NU Online di Jember, Sabtu (23/1).


Saat ini harga pupuk urea bersubdisi di tingkat kios adalah Rp250.000/kwintal. Sedangkan harga pupuk urea non-subsidi Rp600.000/kwintal. Menurut Suryadi, dengan perbedaan harga yang sangat jomplang itu, tentu petani akan memilih pupuk urea bersubdisi. Tapi persoalannya, pupuk urea bersubsidi sudah dikurangi volume produksinya oleh pemerintah, sehingga juga berimbas kepada jatah pupuk petani.


“Inilah yang kadang yang bikin gaduh antara petani dan pemilik kios,” tambahnya.


Sedangkan jika petani terpaksa memilih pupuk urea non-subsidi, harganya tak terjangkau, terutama oleh petani yang lahannya tidak seberapa, bahkan bisa rugi. Sebab, harga jual gabah tak kunjung naik, tetap berkisar antara Rp350.000 hingga Rp400.000/kwintal. Kata Suryadi, jangankan menggunakan pupuk non-subsidi, memakai pupuk bersubsidi saja, petani masih dihantui kerugian karena saat ini komponen produksi seperti ongkos pekerja, pengolahan tanah, pengairan, harga racun tanaman, dan sebagainya, juga naik sejak lama.


“Harga produksi terus naik, tapi harga gabah tidak naik-naik. Terus apa yang bisa kita harapkan dari kondisi seperti. Bisa jadi lama-lama sawah petani dijual semua, dijadikan perumahan,” jelasnya.


Sementara itu, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jember, Jumantoro menegaskan, tujuan pemerintah mengurangi kuota pupuk urea bersubsidi di antaranya adalah agar petani bisa beralih ke pupuk organik yang ramah lingkungan, atau beralih ke pupuk non-subsidi. Cuma sayangnya, kebijakan tersebut tidak dibarengi solusi yang meringankan beban petani.


“Kalau cuma mengurangi  kuota pupuk, dan memaksa petani menggunakan pupuk bersubsidi, saya kira itu bukan jalan keluar dari ruwetnya pertanian saat ini,” ulasnya.


Terkait hal ini, Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Jember, Ovi Faisol Arief juga mengungkapkan bahwa pihaknya memahami kegalauan petani, karena pupuk urea bersubsidi selama ini menjadi andalan dalam meningkatkan produksi pertanian. Tapi kenyataannya, ketersediaan pupuk bersubsidi terbatas, sedangkan untuk membeli pupuk non-subsidi tidak mampu. Akhirnya, tidak sedikit tanaman padi yang kerdil, agak menguning karena kurang pupuk dan ujung-ujungnya bisa gagal panen.


“Petani yang lahannya tidak begitu luas, yang itu kebanyakan dimiliki petani, banyak yang pasrah, artinya mau jadi apa saja tanamannya gak peduli,” urainya.


Menurut Ovi, seharusnya pemerintah memberi subsidi pembelian jika produksi pupuk bersubsidi dikurangi, atau bahkan meniadakan sama sekali. Artinya, pakai pupuk yang non-subsidi atau yang bagaimanapun, petani tetap untung karena harga gabah mahal setelah disubsidi.


“Lebih enak subsidi di pembelian dibanding subsidi di produksi,” jelasnya.


Sedangkan anggota Komisi B DPRD Jember, Nyoman Aribowo menegaskan, kelangkaan pupuk bersubsidi seharusnya dijadikan momentum oleh petani untuk beralih ke pupuk alternatif, misalnya pupuk organik.


“Alternatifnya seperti itu (pupuk organik). Pemerintah Kabupaten Jember mungkin belum bisa berbuat apa-apa karena saat ini masih masa peralihan,” jelasnya.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin