Praktisi Hukum Nilai Mendagri Langgar UU No. 23 / 59
NU Online · Kamis, 22 Juli 2004 | 18:08 WIB
Banda Aceh, NU Online
Paktisi hukum di Banda Aceh menilai Mendagri Hari Sabarno telah melanggar Undang-undang No.23 Prp/1959 tentang Negara Dalam Bahaya, karena telah memisahkan jabatan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD).
"Kebijakan yang dilakukan Mendagri yang memisahkan jabatan gubernur dengan PDSD itu jelas menyalahi aturan, karena dalam UU No.23 prp/1959 menegaskan kedua jabatan tersebut saling melekat dan tidak bisa dipisahkan," kata praktisi hukum, Darwis, SH kepada wartawan di Banda Aceh, Rabu (21/7).
<>Ia mengatakan hal itu sehubungan dengan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan Mendagri dengan pengalihan tugas PDSD di Provinsi NAD ke pusat, sedangkan tugas Gubernur NAD yang selama ini dipegang Abdullah Puteh, diserahkan sepenuhnya kepada Wagub Azwar Abubakar.
Menurut pengacara senior di Aceh itu, pengalihan tugas PSDS ke pusat jelas menyalahi UU, karena dalam UU No.23 telah diatur bahwa seorang gubernur sekaligus menjabat PDSD atau Pangdam manjabat Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD).
Kedua jabatan tersebut menurut UU itu tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa diwakilkan. Kalau begitu Mendagri saja yang langsung menjabat sebagai Gubernur NAD yang juga selaku PDSD," ujarnya lagi. Undang-undang nomor 23 tahun 1959 telah mengatus bagaimana posisi seorang gubernur maupun pangdam sebagai penguasa, dalam perundangan tersebut tidak ada pengecualian.
"Kalau kenyataannya demikian, lebih baik pemerintah pusat mencabut status darurat di Nanggroe Aceh Darussalam," ungkap Darwis. Dia menyebutkan, akibat kebijakan tersebut bisa saja seseorang praktisi yang mengerti tentang hukum dapat menggugat Mendagri ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab dalam Undang-Undang UU No.23/1959 sudah jelas menyebutkan tentang kondisi suatu daerah dalam status bahaya tingkat satu. Begitu juga kondisi Aceh yang dalam kedudukanya berstatus Darurat Sipil (DS).
Untuk mengatur itu UU No.23/1959 menjelaskan tentang kedudukan seseorang yang menjabat dua tampuk kepemimpinan, seperti kondisi Aceh yang berstatus DS, Gubernur sekaligus menjabat sebagai PDSD. Seharusnya, Mendagri Hari Sabarno sebelum menyatakan pengalihan tersebut seharusnya, sebut Darwis, ketika menetapkan wagub sebagai pelaksana tugas sehari-hari Gubernur, jabatan PDSD juga melekat kepadanya. Namun yang terjadi tidak seperti yang diinginkan Undang-undang Nomor 23 prptahun 1959, dimana Pemerintah pusat melalui Mendagri selaku badan pelaksana harian PDSP langsung mengendalikan PDSD. "Itu sangat menyalahi aturan.
Dalam UU Nomor 23 prp tahun 1959 tidak ada pengecualian," ujar Darwis. Disisi lain, Darwis juga mengkritisi praktisi hukum pusat yang seharusnya menanggapi persoalan itu secara positif. Bukan hanya mendiamkan saja, karena dalam pelaksanaan DS di NAD saat ini, tidak tahu siapa yang akan bertanggungjawab. (kontributor NAD/Muntadhar)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Jadilah Manusia yang Menebar Manfaat bagi Sesama
2
Khutbah Jumat Hari Anak: Didiklah Anak dengan Cinta dan Iman
3
Khutbah Jumat: Ketika Malu Hilang, Perbuatan Dosa Menjadi Biasa
4
Khutbah Jumat: Menjaga Keluarga dari Konten Negatif di Era Media Sosial
5
PBNU Soroti Bentrok PWI-LS dan FPI: Negara Harus Turun Tangan Jadi Penengah
6
Khutbah Jumat: Menjadi Muslim Produktif, Mengelola Waktu Sebagai Amanah
Terkini
Lihat Semua