Daerah

PMII Jatim: Penutupan Dolly Harus Disertai Perubahan Mindset Pelakunya

NU Online  ·  Rabu, 30 April 2014 | 13:30 WIB

Surabaya, NU Online
Pemerintah Provinsi Jawa Timur getol memerangi kemaksiatan, salah satunya adalah dengan program penutupan lokalisasi di wilyah provinsi yang memiliki banyak pondok pesantren ini.<>

Rencana ini diusung sejak 2011 silam oleh Gubernur Jawa Timur, Soekarwo. Melalui surat edaran Gubernur Jawa Timur 460/16474/031/2011, yang menginstruksikan seluruh bupati dan wali kota diminta mendukung penuh upaya penutupan lokalisasi di daerahnya masing-masing.

Sasaran penutupan lokalisasi tahun ini adalah Gang Dolly yang terletak di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Usia lokalisasi tersebut kini tinggal hitungan jari. Sebab, pemerintah member tenggat waktu hingga 19 Juni 2014, sebelum bulan puasa.

Pemerintah kota Surabaya, sejak dua tahun terakhir gencar melakukan sosialisasi perihal penutupan tersebut. Sebelumnya, Pemkot Surabaya telah menutup Lokalisasi Dupak Bangunsari dan Rasa Sayang yang terletak di wilayah Surabaya barat.

Menyikapi penutupan lokalisasi Dolly. Pengurus Koodinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Timur menginisiasi sebuah diskusi bertajuk, “Penutupan Dolly: Solusi atau Masalah Baru Warga Kota?” Rabu, (30/4) di Surabaya.

Diskusi yang dihadiri oleh sejumlah aktivis mahasiswa dari berbagai daerah dan jaringan LSM di Surabaya tersebut, ketua PMII Jatim, Muhammad Junaidi, melontarkan sejumlah kekhawatiran jika lokalisasi dolly ditutup kelak.

“Akan terjadi bahaya besar jika Dolly benar-benar ditutup, saya khawatir para pekerja seks yang selama ini menghuni wisma-wisma akan bertebaran di pinggir jalan lantaran lokalisasi ditutup, selain itu, bahaya HIV AIDs yang sulit dikontrol jika Pekerja seks tidak dilokalisir,” ungkap ketua PMII Jatim.

Usai acara diskusi, aktivis asal Kota Reog ini menambahkan,”Masalah Dolly bukan hanya pengalihan skill profesi semata melainkan, persoalan mindset, bagaimana seorang pekerja seks dalam semalam mereka bisa menghasilkan uang hingga ratusan ribu rupiah, sementara pemkot hanya membekali skill menjahit. Misalkan, para mantan ini menjadi tukang jahit, mencari uang satu juta dalam sebulan saja susah, pasti mereka akan kembali menjalani profesinya sebagai penjajah Seks,” tegas Junaidi.

Dalam kesempatan yang sama, akademisi fakultas kesehatan Masyarakat UNAIR, sekaligus Aktivis perempuan PMII, Nuri, sapaan akrabnya, ia berkomentar lain. Penutupan Dolly merupakan rencana yang kurang tepat untuk mengatasi kemaksiatan di kota Surabaya, justru akan ada masalah baru bagi warga kota,”  ungkapnya. (Iqbal/Anam)