Daerah HAUL GUS DUR

Perlu Kontemplasi dalam Meneladani Multi-Peran Gus Dur

Sen, 28 Desember 2020 | 09:30 WIB

Perlu Kontemplasi dalam Meneladani Multi-Peran Gus Dur

Gus Dur dalam sebuah lukisan. (Foto: Dok. NU Online)

Sukoharjo, NU Online
Menyikapi tradisi rutin haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), jangan sampai membuat kita terjebak dalam situasi dan euforia semata. Hendaknya kita juga melakukan upaya kontemplasi dalam meneladani multi peran Gus Dur di berbagai sektor kehidupan.


Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Abdurrahman Wahid, Aditya Putra Darmawan, saat memberi sambutan pada forum Diskusi Bulan Gus Dur bertema ‘Menekuni Prinsip dan Meneladani Perilaku Gus Dur’ yang diinisiasi oleh PMII Rayon Abdurrahman Wahid berkolaborasi dengan Gusdurian dan Hungryngan Kunil, Ahad (27/12).


Kegiatan yang dilakukan secara tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan ini juga disiarkan secara daring melalui akun Instagram @pmii_rayonabdurrahmanwahid. Beberapa narasumber hadir di antaranya Ketua MUI Sukoharjo KH Abdullah Faishol, Pendeta GKI Kartasura Pdt Ayub Sektiyanto, dan Farhan Azizan sebagai pemantik. 


Selaku pemantik diskusi, Farhan Azizan dengan menyampaikan pandangan pribadinya terhadap sosok Gus Dur yang menurutnya sangat tekun belajar hingga menjadi sosok intelek yang matang. 


“Bagi saya, pemikiran Gus Dur akan selalu relevan untuk diterapkan di mana pun dan kapan pun,” tambah Farhan. 


Mengawali materi, Ketua MUI Sukoharjo KH Abdullah Faishol mengisahkan mengenai kenangan-kenangan lamanya tentang sosok Gus Dur muda. Baginya, Gus Dur muda sangat kritis dan aktif dalam forum-forum. 


“Bahkan semasa masih nyantri kepada KH Ali Maksum di Krapyak, Gus Dur sudah habis melahap buku-buku karya Karl Marx, seperti Das Capital dan lainnya,” jelas Kiai Faishol.


Tokoh intelektual
Menurut Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Sukoharjo tersebut, Gus Dur bukan lagi hanya tokoh agama dan perdamaian saja. Gus Dur lebih dari pantas untuk disebut juga sebagai tokoh intelektual. 


Hal tersebut juga dibenarkan oleh Pdt Ayub Sektiyanto. Ia mengungkapkan kekagumannya pada sosok Gus Dur yang begitu kaya dan maju dalam pemikiran-pemikirannya. Ia bahkan menyejajarkan Gus Dur dengan Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, dan juga tokoh-tokoh dunia lainnya. 


“Ternyata, penyebab kekayaan dan kemajuan pemikiran tersebut adalah dari kebiasaan Gus Dur yang rajin membaca buku dari berbagai sumber, maupun berbagai jenis kajian,” tambah Pendeta GKI Kartasura tersebut. 


Baginya, intelektual yang matang tersebutlah yang menjadikan Gus Dur sebagai sosok yang berpikiran terbuka dan senantiasa kritis menanggapi segala hal.


“Maka, sifat keteladanan Gus Dur yang penting untuk dijaga dan dilestarikan adalah ketekunannya membangun nalar kritis dengan banyak membaca berbagai literatur,” jelasnya lagi menutup sesi.


Di akhir forum, Farhan Azizan sebagai pemantik kembali menambahi pandangannya terhadap kekritisan Gus Dur. “Gus Dur sangat tawazun. Dulu sepulang dari Baghdad, Gus Dur tidak ragu untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan Orde Baru,” pungkasnya.


Kontributor: Nila Zuhriah
Editor: Musthofa Asrori