Daerah

Merawat Hubungan Sosial dengan ‘Penganan’ Lokal

Ahad, 14 Januari 2018 | 03:01 WIB

Merawat Hubungan Sosial dengan ‘Penganan’ Lokal

Kue poci (image.com)

Jakarta, NU Online
Daun pisang berbentuk persegi dengan isi tepung beras ketan yang sudah berisi pisang hampir selalu memenuhi piring yang disediakan di depan masyarakat yang hadir di setiap selametan. Masyarakat Cirebon menyebutnya pipis.
 
Pipis biasanya diduetkan dengan poci. Seperti pipis, poci juga dibungkus daun pisang dengan bahan utama tepung beras ketan yang diisi kacang hijau dan dibentuk limas. Itu di antara ‘penganan’ (makanan) lokal khas daerah.

Masyarakat yang hadir di tahlilan, maulidan, ataupun selametan akan sangat menikmati dua penganan itu jika ditemani dengan segelas teh panas. Sembari menunggu tetangga dan kerabat kumpul, mereka menyeruput wedang teh sambil sesekali melahap salah satu dari dua 'penganan' tadi.

Nasib pipis dan poci masih lumayan beruntung. Keduanya hampir tak pernah absen di perhelatan masyarakat dalam rangka tasyakkur ataupun memperingati kematian. Meskipun saat ini perannya sudah mulai tergeser dengan kue hasil olah industri besar. Setidaknya, generasi Z masih mengenalnya dan terkadang menikmatinya jika dapat berkat dari orangtuanya.

Berbeda dengan klepon, sebuah penganan berbentuk bulat hijau berisi gula merah di dalamnya, yang kini sudah amat jarang bisa kita jumpai. Padahal, cita rasa khasnya sangat terasa manakala kita menggigitnya.

Pun dengan penganan lainnya yang sudah mulai hilang dari peredaran seperti awug-awug yang terbuat dari ampas kelapa dan jongkong yang terbuat dari tepung beras ketan yang berisi kelapa dengan bentuk segitiga sama sisi pipih. Lama kelamaan, kosakata klepon, awug-awug dan jongkong akan hilang ditelan masa sebab kealpaannya.

Melihat fenomena ini, Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Makyun Subuki menjelaskan bahwa sebetulnya bahasa itu tidak hanya menjaga dirinya, tetapi juga menjaga hubungan bermasyarakat.

“Bahasa itu berfungsi selain merawat bahasanya sendiri, juga merawat relasi-relasi sosial,” katanya saat ditemui di kediamannya di Pamulang, Tangerang Selatan, Kamis (11/1).

Pipis dan poci mewarnai tradisi Islam Nusantara. Mereka melahirkan kerekatan sosial dengan berkumpulnya masyarakat pada satu tempat tertentu dengan tujuan yang sama, yakni menghadiri tahlilan, maulidan, ataupun slametan.

Sebelumnya, ada proses pembuatan yang tentu ada interaksi sosial di dalamnya. Pembuat pipis dan poci membeli bahan-bahan bakunya lebih dahulu. Di situ ada transaksi jual beli sebagai wujud hubungan kemasyarakatan.
 
Lalu dalam pembuatan, pembuat kue tersebut mungkin akan bekerja sama. Seorang bagian menggiling, orang lain mendapat bagian memasaknya sampai penganan itu disajikan oleh peladen sembari berucap, “silakan dinikmati.”

“Kalau aktifitasnya bertahan maka kosakatanya bertahan,” kata Makyun.

Alumnus Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jakarta itu menegaskan bahwa pendidikan bahasa dapat melestarikan kosakata lokal. “Sebetulnya pembelajaran bahasa itu harusnya diarahkan kepada bagaimana melestarikan kosakata-kosakata lokal,” ujarnya.

Jika kosakata itu hilang, warisan budaya kita sudah tak bisa dihargai dengan apapun.“Padahal itu gak ternilai harganya. Kalau udah hilang gak bisa dihargakan lagi,” pungkasnya. (Syakir NF/Fathoni)