Badannya tegap, dengan tinggi proporsional dan air muka yang dipenuhi senyuman. Ia menghadap, dan saya persilakan duduk. Beberapa pertanyaan terkait ke-NU-an, siap menghadangnya, juga puluhan peserta lainnya.
Ia kini tengah menghadapi juri untuk mengikuti salah satu tahap untuk menjadi Duta Pelajar NU Jawa Tengah, salah satu program live show yang digelar panitia Konferwil PW IPNU-IPPNU Jawa Tengah 2013-2016, sebagai antitesis dari Miss Indonesia dan sejenisnya, yang lebih terkesan mengeksploitasi tubuh daripada pengetahuan.
Sebelum ke pertanyaan inti, sedikit saya tanya profil dirinya. Setelah saya tanya siapa namanya, hobinya, dari utusan mana, saya tanya aktivitas kesehariannya.
"Aktivitas: masih sekolah, kuliah atau kerja?"
"Kuliah, Mas. Nyambi jadi penyiar radio juga,"
"Oh, saya juga dulu penyiar radio. Coba praktekkan!"
Sejenak ia melafalkan kata demi kata dengan smart dan ceria. "Sudah cukup professional dalam membawakannya," pikir saya.
"Oke, Mbak, di sini adalah pos ke-NU-an. Langsung saja ke pertanyaan pertama: menurut Rekanita, mengapa NU harus ada di Indonesia?" tanya saya.
Dan ia menjawab tak sebagaimana peserta lainnya. Kebanyakan, peserta menjawab terkait sejarah NU yang rata-rata sudah mendingan. Misalnya: respon atas munculnya puritanisme Islam Wahabi di Makkah, kemudian adanya Nahdlatul Wathan, Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar sampai ke Komite Hijaz; respon perlawanan kaum santri terhadap penjajah di Indonesia berikut runtutan tahunnya, dan juga, NU merupakan bentuk lanjutan dari Islamnya Walisongo, yang masih terkait dengan Turki Utsmani waktu itu, juga Konsili Vatikan.
Ada juga yang menggunakan dalil: khairul umuuri ausaatuha, sebaik-baik sesuatu itu yang tengah-tengah. Menurutnya, NU sebagai kekuatan penyeimbang dari ekstrim kiri dan ekstrim kanan. "Kalau condong atau dominan salah satunya, bisa njomplang ini dunia," ujarnya, dengan penuh semangat.
Dan ia - wanita muda itu - tidak menjawab pada umumnya, melainkan menyajikan fakta empirik mengenai dirinya, mengapa bergabung di IPPNU.
"Dulu, saya sekolah di lembaga pendidikan milik agama lain (bukan Islam). Di waktu-waktu itu, saya merasa kering dan gersang hatinya. Saya sangat dahaga dengan hal-hal spiritual," ungkapnya, membuka.
Saya menyimak dengan seksama, jawaban yang menarik karena tak seperti jawaban peserta-peserta lainnya.
"Kemudian, setelah saya masuk kuliah, saya mencari pelampiasannya: bergabung di lembaga dakwah. Namun, setelah berhari-hari, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun mengikutinya, spiritual saya tetap kering. Warna islamnya, enggak banget dengan warna saya. Sampai akhirnya, di desa saya ada pengajian rutinan IPPNU yang diisi oleh seorang kiai. Saya mengikutinya. Nah, semenjak itu, saya begitu nyaman: inilah warna Islam yang selama ini saya cari; sesuai banget dengan warna Islam saya, warna Islam Indonesia," paparnya.
Semenjak itu, kemudian ia aktif di IPPNU, sampai mengikuti pemilihan Duta Pelajar NU di Konferwil IPPNU Jateng 11-13 Desember 2016 ini.
Selain penyiar radio itu, ada juga gagasan-gagasan menarik dari para peserta, baik cowok maupun cewek, ketika saya tanya, apa kelemahan dan kekurangan NU hari ini?
Rata-rata, mereka menjawab masalah kemandirian ekonomi dan peningkatan kualitas mutu pendidikan. NU k edepan harus mampu mandiri wargannya, agar menjadi organisasi yang kuat dan tidak mudah diombang-ambingkan kekuatan lain, kata mereka. Juga, jika pendidikannya maju, akan menjadi tokoh di bidangnya masing-masing. Dengan begitu, NU menguasai leading sektor.
Ada juga, yang menyoroti masalah manageman. NU secara jamaah banyak namun secara manageman organisasi masih butuh banyak penataan.
Seorang cowok, bahkan secara tegas ingin merubah sistem. "Saya ingin jadi politisi, Mas. Karena dengan kekuasaan itulah, saya kelak bisa melakukan perubahan-berubahan besar dan berdampak pada orang banyak," katanya.
"Terus, apa yang kamu inginkan: bupati, menteri atau presiden?" tanya saya.
"Bukan berarti mengecilkan cita-cita, tapi saya melakukan apa yg di depan dulu. Terdekat, saya ingin jadi perangkat desa," ujarnya, yang mengaku masih menjadi mahasiswa teknik.
Gagasan menarik juga dari seorang peserta cewek muda, yang sehari-hari menjadi assisten dosen bahasa Inggris di salah satu kampus ternama di Jawa Tengah. Menurutnya, NU perlu di poles tampilannya agar lebih segar, relevan dan tak lekang oleh jaman.
"Kita harus mampu menguasai teknologi informasi, media dan lebih jauh dari itu, go internasional," ungkapnya, dengan penuh semangat dan taburan pesona. "Kelemahan kita terlalu sibuk mengurus hal yang remeh temeh," imbuhnya.
Saya sangat setuju sekali dengan cewek muda ini. Oleh karena, selain gagasan, pembuktiannya sebagai assisten dosen merupakan prestasi yang cukup lumayan di usianya.
Untuk menutupi kelemahan, sebelum bertanya kepada calon dosen di depan saya, merendah adalah cara terbaik agar tidak diserang balik. "Sorry Mrs, my english is very bad," ungkap saya, sebelum dibalas senyumnya.
Seorang cowok, juga ada yang memuji saya. "Saya bangga dengan Mas, tidak hanya memikirkan internal, tetapi juga eksternal. Masih jarang kader IPNU yang memikirkan masalah sosial, keummatan dan problematika sosial yang ada. Saya suka tulisan mas tentang aksi 4/11 beberapa waktu lalu. Tapi maaf, ini bukan untuk menjilat lho ya, ini memang pendapat saya," ujarnya.
Mengenai ini, saya tak komentar atau mengelak. Karena kata orang bijak, menolak pujian berarti ingin pujian yang kedua. Meski begitu, saya tidak membenarkan seutuhnya. Kader-kader IPNU-IPPNU banyak juga yang memikirkan masalah sosial dan lingkungannya, meski dengan berbeda cara, dan tentunya dengan yang mereka bisa. Bahkan mereka lebih baik, berguna, betmanfaat dan lebih konkrit daripada saya.
Pos kategori ke-NU-an ini, saya beri beberapa pertanyaan tentang pengetahuan dan amaliah. Diantaranya: mengapa harus ada NU di Indonesia dan bahkan dunia? Jelaskan apa yang dimaksud Mabadi Khaira Ummah di NU? sebutkan (minimal 9) tokoh NU? Apa kelemahan NU hari ini? Jika kelak memiliki kewenangan, apa yang ingin dirubah dari NU hari ini?
Selain itu, ada juga praktik amaliah NU. Saya minta mereka melafalkan Doa Qunut, Tawassul dan melantunkan Shalawat Badar.
Hal yang menarik, yang saya dapat dari penjurian ini adalah, bahwa kader IPNU-IPPNU yang mengikuti acara ini terdiri dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi. Ada dari jurusan teknik, bahasa, matematika, ekonomi Islam, sampai banyak yang masih di SMK: seperti sosial dan broadcasting. Ada juga yang sudah bekerja sebagai pengajar, pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN), meski rata-rata masih sekolah, nyantri dan kuliah di berbagai jurisan. Sebuah potensi yang besar jika bisa disatukan untuk membangun masa depan.
Diantara peserta yang memungkinkan menampilkan skillnya, saya minta mempraktekkan, seperti bershalawat, membaca tartil Quran, sampai menjadi reporter televisi dengan meliput acara Konferwil IPNU-IPPNU Jateng ini.
Saya bangga dengan peserta-peserta itu, yang dalam banyak hal tentu lebih baik dari saya. Juga, dalam hal ini, saya hanya diminta panitia sebagai salah satu juri pengganti dadakan, karena sang juri asli tidak datang. Selain di pos ke-NU-an yang saya pegang, ada juga beberapa pos penilaian lain sebelum masuk di final.
Ajang kontes seperti ini, bagi saya merupakan langkah maju dari IPNU-IPPNU, bentuk konkrit dari counter culture, perlawanan budaya dari ajang miss Indonesia dan sejenisnya. Karena, melawan budaya harus juga dengan budaya, tidak dengan mengutuk dengan kata-kata. (Ahmad Naufa Khoirul Faizun, juri lomba Duta Pelajar NU, SC Konferwil PW IPNU Jateng 2016)
Terpopuler
1
Saat Jamaah Haji Mengambil Inisiatif Berjalan Kaki dari Muzdalifah ke Mina
2
Belasan Tahun Jadi Petugas Pemotongan Hewan Kurban, Riyadi Bagikan Tips Hadapi Sapi Galak
3
Meski Indonesia Tak Bisa Lolos Langsung, Peluang Piala Dunia Belum Pernah Sedekat Ini
4
Cerpen: Tirakat yang Gagal
5
Jamaah Haji Indonesia Diimbau Tak Buru-buru Thawaf Ifadhah, Kecuali Jamaah Kloter Awal
6
Jamaah Haji Indonesia Bersyukur Tuntaskan Fase Armuzna
Terkini
Lihat Semua