Daerah

Masyarakat Pengikut Islam Aboge di Banyumas Raya Lebaran Jumat

Sen, 17 Mei 2021 | 06:00 WIB

Masyarakat Pengikut Islam Aboge di Banyumas Raya Lebaran Jumat

Halal bihalal masyarakat pengikut Islam aboge di banyumas Raya, Jateng (Foto: Istimewa)

Banyumas, NU Online 
Perayaan kelompok Islam kejawen berdasarkan kalender Alif Rabu Wage (Aboge) baru dihelat 1 hari setelah pemerintah mengumumkan lebaran Idul Fitri 1442 Hijriah pada Kamis (13/5) yakni pada Jumat (14/5). 

 

Perayaan Idul fitri ditandai dengan takbiran bersama anggota kasepuhan dan jamaah, pada Kamis malam. Nada gema takbir dikumandangkan menggunakan cengkok Jawa langgam Banyumasan. Meski dibatasi dalam suasana pagebluk, masyarakat adat tetap menggelar tradisi Lebaran dengan prokes yang ada.  Adat dimulai dengan takbiran lalu dilanjutkan halal bihalal yang berisi sungkeman, kepungan, dan doa bersama.

 

Gema takbir yang diiringi dipersaksikan keris dan tombak pusaka. Setelah itu halal bihalal, sungkeman, lalu selamatan memohon kepada Allah SWT untuk keselamatan semua di masa pagebluk dunia dan berdoa untuk para leluhur hingga Adam alaihissalam.

 

Kelompok Islam kejawen di Banyumas Raya seperti Kalitanjung maupun trah Banakeling Desa Pekuncen, Jatilawang, Banyumas, Desa Kalikudi, Desa Adiraja, dan desa lainnya di Cilacap maupun Banyumas, Jawa Tengah.

 

Perhitungan kalender Aboge, badhan Idul fitri yang jatuh pada Jumat Kliwon. Berbeda dengan perhitungan pemerintah, komunitas Islam kejawen di seluruh Banyumas Raya menggunakan kalender Aboge dalam menentukan waktu pelaksanaan tradisi Lebaran atau badhan.

 

"Hitungannya itu menghindari hari Rabu Manis. Karena ada pantangan atau pamali. Dalam perhitungan tahun hijriah yang menggunakan patokan Selasa Manis, suatu saat akan ditemukan hari Lebaran yang jatuh pada Rabu Manis. Sedangkan dengan perhitungan Rabu Wage, maka tidak akan ditemukan hari raya yang jatuh pada Rabu Manis," tutur Kiai Ageng Trah Banakeling Pekuncen Ki Sumitro.

 

Dijelaskan, dalam kalender Aboge tahun 2021 ini merupakan tahun Jemakhir atau Jim Akhir. Maka perhitungan kalender Aboge dalam menentukan riyaya badha/lebaran/idulfitri sudah pasti karena merupakan siklus satu windu atau delapan tahun sekali. Maka dalam rumus metode penghitungan Aboge, tidak perlu lagi melihat hilal (bulan).

 

"Jadi 1 Syawal atau lebaran Idul Fitri tahun ini ditentukan dengan rumus Waljiro atau Syawal siji loro, yang artinya 1 Syawal Aboge tiba pada hari kesatu pasaran kedua, setelah jatuhnya hari 1 Syura," tambahnya.

 

Tradisi Sungkeman dan Halal Bihalal

Tradisi sungkeman masyarakat adat Islam aboge dalam istilah NU disebut halal bihalal. Yakni laku lampah saling memohon dan memaafkan atas segala salah khilaf yang dilakukan secara bergiliran dengan saling berkunjung dan bersilaturahim dimulai dari kiai paling muda kepada kiai tua.

 

Ketua adat kasepuhan kalitanjung, Rawalo, Banyumas, Muharto menjelaskan, tradisi sungkeman tak hanya dilakukan sesama anggota kasepuhan. Tokoh masyarakat, kepala desa, beserta semua warga lainnya juga ikut serta. Acara dilanjutkan pencucian pusaka di rumah adat. Khusus untuk pencucian pusaka ini, hanya petugas penjamas serta Kiai Kunci yang boleh memasuki ruang penyimpanan pusaka.

 

"Tombak pusaka Kalitanjung merupalan peninggalan masa Kerajaan Mataram sekitar tahun 1476 Masehi. Di mana di saat itu Jawa terjadi pergolakan. Raja Mataram sedang diburu oleh Belanda dan menitipkan pusakanya di Kalitanjung Tambaknegara yang kala itu disebut Kadipaten Bonjok," terangnya.

 

Halal bi Halal adalah istilah khusus bagi acara silaturahim usai Ramadhan yang digagasn oleh KH Wahab Hasbullah sebagaimana diceritakan dalam sejarah munculnya istilah halal bihalal yang berawal dari diskusi antara Sukarno Sang Presiden dan KH Wahab Hasbullah dari NU pada tahun 1948. 

 

Wakil Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Cilacap Insan Indah Pribadi kepada NU Online, Senin (17/5) mengatakan, tradisi masyarakat Islam Aboge di Banyumas Raya sudah berlangsung lama di samping menjaga ajaran leluhur, mereka mengetengahkan adat istiadat sebagai diplomasi budaya dalam tantangan global. 

 

"Tidak hanya terkait nilai spiritual kepercayaan, tapi juga kekayaan dan ke dalaman seni, kebudayaan tradisionalnya. Laku lampah masyarakat adat di Banyumas Raya ini pertanda sejarah adiluhung Jawa masa kuna. Uniknya tak mudah untuk menjadi kiai, atau nyai atau eyang guru bahkan bedogol," terangnya. 

 

Menurutnya, mereka harus benar-benar teruji secara keilmuan maupun peribadatannya.  Keunikan lainnya, di masa pandemi segalanya dibatasi, pun saat Lebaran atau badha, melalui virtual, badha mereka rayakan, tidak hanya gema takbir, sungkeman, halal bihalal, jamasan pusaka.

 

"Tapi ada nilai budaya adiluhung yang mereka maksudkan yakni bermunajat kepada Allah SWT, di samping mengumpulkan balung pisah yang mambrah di antara anak putu mereka," pungkasnya.

 

Kontributor: Imam Hamidi Antassalam
Editor: Abdul Muiz