Daerah

Masjid Kokoh 109 Tahun ini Jadi Saksi Perjuangan Mbah Shiddiq

Sab, 12 September 2020 | 08:27 WIB

Masjid Kokoh 109 Tahun ini Jadi Saksi Perjuangan Mbah Shiddiq

Masjid Nurul Ulum, Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. (Foto: Istimewa)

Jember, NU Online
Peta perjuangan KH Muhammad Shiddiq (Mbah Shiddiq) dalam mendakwahkan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) ternyata cukup luas. Ayahanda KH Ahmad Shiddiq, Rais ‘Aam PBNU masa khidmah 1984-1991 ini, tidak hanya berdakwah di sekitar Kota Jember saja. Daerah dan tempat terpencil yang jauh dari kota juga didatanginya untuk pengembangan Islam.


Di antara tempat berdakwah Mbah Shiddiq adalah di Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di desa ini, khususnya  Dusun Sokmailang, Mbah Shiddiq menjadi inisiator pembangunan sebuah masjid yang bernama Nurul Ulum. Masjid yang tertelak di pinggir jalan dan berada di lingkungan Pondok Pesantren Nurul Ulum itu sampai saat ini masih kokoh bangunannya. Masjid yang sudah berumur 109 tahun ini sudah tiga kali direnovasi dan saat ini tengah digarap sebuah menara yang cukup tinggi dan besar.


Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ulum, KH Jauhari mengisahkan bahwa saat itu Mbah Shiddiq tidak hanya sekadar meletakkan batu pertama pembangunan masjid. Beliau juga yang langsung mengukur luas masjid tersebut. Masjid tersebut dibangun ketika ayahnya yang bernama Kiai Syamsuddin masih ada, tahun 1911.


Luasnya bangunan pertama masjid itu hanya sekitar 6 x 6 M persegi. Namun seiring berjalannya waktu, masjid tersebut diperluas. Meskipun sudah tiga kali mengalami renovasi, namun bangunan aslinya masih asri dengan empat tiang kayu di bagian dalam masjid yang juga masih utuh. Kayu jati segi empat tersebut tampak masih kokoh menyangga atap masjid. Dikatakan Kiai Jauhari, kayu jati itu diambil dari alas yang terletak di seberang jalan depan masjid.


“Masyarakat ambil kayu itu langsung di hutan, dipotong dan dipikul bersama-sama ke masjid,” tuturnya.


Dulu, Desa Pace dan sekitarnya masih berupa hutan belantara. Namun jalan di depan masjid ini sudah ada. Dibangun oleh Belanda terutama untuk kepentingan mengangkut kayu dan hasil kopi  dari Desa Mulyorejo yang terletak di barat daya Desa Pace. Hingga saat ini perkebunan kopi di pucuk gunung yang berada di Dusun Baban Silosanen itu masih asri, terpelihara dengan baik.


Masjid bersejarah ini menjadi saksi yang cukup penting bagi pengembangan Aswaja hingga saat ini.  Sebab,  selain digunakan untuk shalat berjamaah, masjid ini juga berfungsi sebagai tempat mengaji kitab kuning para santri.


“Itu masjid bersejarah, dan sampai sekarang masih difungsikan dengan baik,” tutur Kiai Jauhari, Jumat (9/8)..


Ia mengaku bangga dengan masjid tersebut karena diinisiasi oleh Mbah Shiddiq yang tak lain merupakan perintis penyebaran Islam di Jember dan sekitarnya.  KH Jauhari mengibaratkan Mbah Shiddiq sebagai paku Islam di bumi Jember dan sekitarnya, yang hingga kini paku itu masih menancap di hati masyarakat secara turun-temurun.


“Kita ingin memperoleh barakah Mbah Shiddiq dengan melestarikan Aswaja,” pungkasnya di kediamannya saat menyambut kedatangan KH Muhammad Firjaun Barlaman (Gus Firjaun) yang merupakan putra KH Achmad Shiddiq sekaligus  cucu Mbah Shiddiq.


Pewarta:  Aryudi A Razaq
Editor: Muhammad Faizin