Daerah

Logika Hisab dan Rukyat menurut Ahli Falakiyah NU Pringsewu

Sel, 6 April 2021 | 07:45 WIB

Logika Hisab dan Rukyat menurut Ahli Falakiyah NU Pringsewu

Ahli Falakiyah NU Pringsewu, Lampung, Ustadz Fathul Arifin. (Foto: NU Online/ Faizin)

Pringsewu, NU Online
Dalam menentukan awal bulan hijriyah khususnya bulan Ramadhan, syariat Islam telah menentukan untuk mengacu pada Hilal atau Istikmal. Nabi telah menegaskan hal ini dalam haditsnya yakni Shumu li ru’yatihi wa afthiru liru’yatihi fain ghumma alaihi fa istakmiluhu tsalatsina yauman (berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat tanggal, bila kamu tertutup oleh mendung maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari).


Hilal sendiri adalah bulan sabit yang ‘tampak’ setelah ghurub matahari paska terjadinya ijtimak. Tidak disebut Hilal, sebelum ada cahaya yang bisa dilihat dari bumi. Dasar dari kualifikasi ‘tampak’ tersebut adalah Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 189 yang mengisyaratkan bahwa Hilal adalah fenomena yang tampak. Sementara perintah rukyat dari Nabi tidak relevan jika berkenaan dengan sesuatu yang tidak tampak.


“Penampakan Hilal bisa diperkirakan dengan Hisab, karena bulan beredar dengan eksak (pasti). Dasarnya adalah firman Allah: al-syamsu wa al-qamaru bi husban  (al-Rahman:5) dan Waqaddarahu manazila... (Yunus:5) dan karena ilmu Hisab lahir dari pengalaman rukyat selama berabad-abad,” kata Ahli Falakiyah NU Pringsewu, Lampung, Ustadz Fathul Arifin saat kajian Falakiyah di Gedung NU Peduli Kemanusiaan, Selasa (6/4).


Ia menjelaskan bahwa yang melahirkan ilmu Hisab adalah Rukyat yang akurat. Dalam bahasa astronomi, Rukyat akurat adalah observasi ruang angkasa yang dilakukan dengan cermat, terukur, tercatat, terdokumentasi, bersifat melengkapi / mengoreksi temuan rukyat sebelumnya.


Ilmu hisab yang mengakomodasi temuan baru rukyat yang akurat, hasilnya cenderung lebih akurat. Adanya perkembangan akurasi tercermin dalam variasi hitungan dari berbagai metode hisab.


“Karena berpijak pada hasil Rukyat yang akurat, maka tidak logis kalau Hisab akurat dikoreksi oleh Rukyat non-akurat. Sebaliknya Rukyat non-akurat membutuhkan kontrol dari Hisab akurat,” jelasnya.


Oleh karenanya Nahdlatul Ulama mengontrol Rukyat non-kuratnya dengan Hisab akurat. NU Menganulir hasil Rukyat non-akurat yang menyalahi Hisab akurat dengan kriteria Imkanur Rukyat.

 

Menurutnya, NU menggunakan ketinggian 2 derajat sebagai kriteria Imkan Rukyat ini. Sementara kriteria Imkanur Rukyat Takwin Standard di 4 negara ASEAN meliputi ketinggian minimal 2 derajat dan umur bulan minimal 8 jam.


Paparan ini disampaikannya dalam Kajian Falakiyah yang diikuti oleh para pengurus Lembaga Falakiyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu dan beberapa utusan Majelis Wakil Cabang NU Se-Kabupaten Pringsewu.


Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan