Daerah

Kisah Pak Poleng, Santri Kinasih Mbah Siraj Payaman Magelang

Ahad, 30 Mei 2021 | 00:00 WIB

Kisah Pak Poleng, Santri Kinasih Mbah Siraj Payaman Magelang

KH M Sholihun, Pengasuh Pesantren Nurul Hasan Girirejo, Tegalrejo, Magelang. (Foto: NU Online/Yusuf Anas)

Bantul, NU Online
Dalam rangka Syawalan 1442 H pada Jumat (28/5) malam, masyarakat Dusun Gupakwarak, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Bantul Yogyakarta menggelar Halal bihalal Jamaah Masjid Fadhulloh dan Haul Alim Ulama.


Meskipun tamu undangan dibatasi hanya untuk warga dusun saja, panitia tetap mempersiapkan acara dengan baik dan sesuai protokol kesehatan. Dalam kesempatan ini, panitia mengundang KH Muhammad Sholihun (Pengasuh Pesantren Nurul Hasan Girirejo, Tegalrejo, Magelang) untuk menyampaikan pengajian.


Ada sebuah kisah menarik yang disampaikan Kiai Sholihun saat menjabarkan sebuah hadits Nabi Muhammad SAW, yang kurang lebih maknanya bahwa 'Seseorang akan dikumpulkan dengan siapa yang ia cintai.'


Kiai Sholihun mengisahkan, ia teringat antara tahun 1955-1956 dirinya pernah diajak sang kakek mendengarkan pengajian di Payaman, di zaman KH Siraj Payaman Magelang masih hidup.


“Kakek saya bilang, ‘Cung, ayo ikut ke Payaman.’ Saya bertanya, ‘Memangnya ada apa, Mbah?’ Kakek saya menjawab, ‘Kita akan dengarkan nasehat Rama Agung Kiai Siraj’,” ujarnya menirukan sang kakek. (asal muasal Kiai Siraj disapa Rama Agung bisa dibaca di sini)


Di masa itu, lanjut Kiai Sholihun, istilah pengajian belum selazim sekarang. Istilah yang dipakai masyarakat waktu itu adalah mendengarkan nasehat kiai. Di majelis itulah, Kiai Sholihun mengetahui bahwa ada salah satu santri kinasih Mbah Siraj yang lama jadi tangan kanan beliau. Santri tersebut telah berusia lanjut. Bahkan, seorang mantan Lurah.


Kiai Sholihun juga menjelaskan, Mbah Siraj memanggil tokoh tersebut bukan dengan sebutan ‘Pak Lurah’ atau sesuai namanya, melainkan ‘Pak Poleng’. Panggilan ini ternyata dinisbatkan pada kegemaran tokoh tersebut mengenakan baju poleng-poleng (berwarna belang-belang).


Dengan ciri khasnya menyampaikan pengajian dalam gestur ceria, Kiai Sholihun menambahkan, sejarah membuktikan bahwa Pak Poleng ini sungguh-sungguh merupakan murid yang sangat berbakti pada Kiai Siraj, zhahiran wa bathinan.


“Suatu ketika, Mbah Siraj bertanya pada tokoh istimewa ini, ‘Pak Poleng… kamu sungguh mau ikut dengan saya?’ Dijawab, ‘Ya, mau, Pak Kiai.’ Mbah Siraj menambahkan sebuah syarat, ‘Tapi, harus dunia-akhirat, lho?’ Kembali dijawab, ‘Ya, mau, Pak Kiai.’ Uelok tenan! Ada jamaah di sini yang siap bersikap seperti ini?” timpal Kiai Sholihun.


“Terus, Mbah Siroj bertanya lagi, ‘Kalau saya masuk neraka, bagaimana?’ Jawab Pak Poleng, ‘Saya ikut!’ Tegas sekali! ‘Kalau masuk surga?’ Dijawab lagi, ‘Saya tetap ikut! Pokoknya njenengan di mana pun, saya ikut!’ Bagaimana jamaah? Siap seperti ini?” lanjut Kiai Sholihun diikuti tatapan kagum para jamaah.


“Tapi, itu belum seberapa Bapak-Ibu,” lanjut Kiai Sholihun. “Sampai pada pertanyaan ‘Kalau saya mati, masih mau ikut?’ Pak Poleng tetap menjawab, ‘Ya, saya tetap ikut!’” 


Kiai Sholihun melanjutkan kisah tersebut. “Dan ini betul-betul terbukti. Saya mengikuti sejarahnya. Diriwayatkan bahwa saat istri Pak Poleng mendengar kabar bahwa Simbah Kiai Siraj wafat, Pak Poleng sedang pergi ke sawah. Sang istri pun segera menyusul dan disampaikanlah kabar tersebut.


‘Bapak, Romo Agung sedo.’ Pak Poleng balik bertanya, ‘Romo Agung siapa?’ Istrinya menjawab, ‘Simbah Kiai Siraj.’ Pak Poleng kaget dan berucap, ‘Masya Allah. Saya sudah janjian mau ikut.’ Pak Poleng pun bergegas pulang.


“Sesampainya di rumah, Pak Poleng mengambil air wudlu, lalu sholat Dhuha. Tepat saat sujud di penghujung rakaat pertama, Pak Poleng menghembuskan nafas terakhir,” pungkas Kiai Sholihun. 


Kontributor: M Yusuf Anas
Editor: Musthofa Asrori