Daerah

Kisah Gus Dur Mengajar Tafsir di Pesantren Tebuireng

Ahad, 1 Januari 2023 | 17:03 WIB

Kisah Gus Dur Mengajar Tafsir di Pesantren Tebuireng

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. (Foto: dok. Pojok Gus Dur)

Sumenep, NU Online

Wakil Rais Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep, KH M Zainur Rahman Hammam Ali mengungkapkan kisah santri yang pernah mengaji tafsir kepada KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Pesantren Tebuireng.


"Ketua Pimpinan Anak Cabang Muslimat NU Pragaan, Ny Hj Najmah Hammam pernah mondok di Cukir Tebuireng, tepatnya di ndhalem KH Adlan Aly dan mengaji tafsir kepada Gus Dur. Setiap Gus Dur mengampu materi tafsir, ia bertanya pada santri tentang batas akhir pelajaran. Hal yang di luar nalar adalah beliau bisa menafsirkan sesuai dengan isi kitab yang dipegang oleh santri," ungkapnya di acara Haul ke-13 KH Abdurrahman Wahid di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Hadirur Rahman Aeng Panas, Pragaan, Sumenep.


Berhubung Gus Dur berlagak seperti Abu Nawas, lanjut Kiai Zainur Rahman, kealimannya tertutupi dengan kelucuannya. Padahal dibalik itu, beliau sangat 'alim. Selain itu, ia mengisahkan cerita santri Tebuireng pada jamaah yang didominasi oleh PAC GP Ansor dan Fatayat NU setempat, tentang kewalian Gus Dur.


"Setiap datang dari Jakarta, Gus Dur membawa kitab Al-Hikam. Anehnya, beliau membuka dan membaca kitab tersebut di maqbarah kakek dan ayahnya. Dimungkinkan, beliau ngaji kepada ahli kubur," tuturnya sembari melempar senyuman.


Mustasyar Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan itu menyatakan bahwa keistimewaan Gus Dur adalah tukang mencari batu nisan. Maksudnya, ketika ada maqbarah waliyullah yang mastur, lalu makamnya tidak diketahui orang, hanya beliaulah yang tahu dan memberitahukan pada khalayak. Uniknya lagi, beliau juga tahu spesialisasi yang dibidangi oleh waliyullah tersebut.


"Sebenarnya yang menemukan Astah Panaongan di Kecamatan Pasongsongan adalah Gus Dur. Singkat cerita, saat beliau menghadiri acara di Kecamatan Ambunten, ia memilih pulang lewat jalur Pantura. Tiba-tiba beliau meminta pada supir untuk menepikan mobil. Seketika Gus Dur berdoa di pinggir jalan. Saat kembali ke mobil, sang supir tanya, kenapa berdoa dipinggir jalan? Beliau menjawab ada asta para auliya," terang Kiai Zainur Rahman.


Dua atau tiga tahun setelah itu, sambungnya, pasir yang menutupi makam auliya, dihempas angin dan air besar. Sehingga puluhan batu nisan auliya terlihat. Sejak itulah makam itu digali dan dikenal oleh masyarakat. 


Tak sampai di situ, kewalian Gus Dur pernah dialami oleh Kiai Zainur. Diceritakan olehnya, di saat ziarah ke maqbarah Gus Dur bersama keluarga dan seseorang yang tidak disebut namanya. Ia berzikir dengan khusyuk di makam. Belum selesai zikir, tiba-tiba gerimis.


Dikatakan, berhubung orang yang tidak disebut namanya itu tidak beranjak dari tempat duduk, Kiai Zainur melanjutkan zikirnya hingga selesai. Karena orang itu tetap duduk seraya tidak ada hujan. Padahal jamaah yang lainnya berteduh dan berhamburan.


Lebih lanjut, usai berzikir, orang yang tak disebut namanya keluar dari maqbarah seraya tak ada hujan. Melihat hal itu, Kiai Zainur pun tidak terburu-buru pergi ke mobil. Uniknya, begitu sampai ke parkiran, kemudian menutup pintu mobil. Tiba-tiba hujan deras membasahi bumi Tebuireng.


"Di saat zikiran, saya membisikkan hati, jika memang Gus Dur waliyullah, hujan deras akan jatuh sebelum saya sampai ke mobil," ungkapnya.


Kontributor: Firdausi

Editor: Fathoni Ahmad