Daerah

Kiai Zuhri Wafat, Ini Cerita Pelayan Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo

NU Online  ·  Rabu, 18 Mei 2016 | 20:00 WIB

Sumenep, NU Online
Wafatnya Wakil Rais PCNU Sumenep, KH. Zuhri Mughni, Selasa (17/5) kemarin, membuat kaget banyak pihak. Sebab, tiga hari sebelumnya, beliau masih hadir dalam Halaqah Kedaulatan Tanah di kantor PCNU Sumenep.

Di forum, dengan tegas beliau menyatakan pendapatnya soal tanah yang belakangan ini secara massif beralih penguasaan ke tangan investor di banyak tempat yang didukung penguasa. Salah satunya, di Kabupaten Sumenep.

Sebagaimana diungkapkan tokoh NU Sumenep K A Dardiri Zubairi, beliau berdawuh: "Jika kita mau mengikuti Aswaja, kita harus di posisi rakyat ketika berhadapan dengan kekuasaan".

Di samping itu, terdapat sebuah cerita menarik tentang beliau yang disampaikan salah seorang pelayan Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Zainul Walid.

Berikut cerita lengkapnya:

"Semasa sehatnya, beliau sering ke Ponpes Sukorejo Situbondo (tempat dulu nyantri pada Kiai Haji Raden As'ad Syamsul Arifin). Di Sukorejo, biasanya langsung menuju Perumahan Pesantren (Perumtren) No. 1 yang ditempati Ustaz H. Manshur Idris (santri senior yang menjabat sebagai Sekretaris Pesantren, dan berasal dari Pakamban Pragaan Sumenep, yang satu generasi dengan beliau semasa nyantri kepada Kiai As'ad). Di perumtren itulah beliau bermalam selama tabarukan ke pesantren gurunya. Dan, di perumtren itu pulalah saya sering berjumpa dan "sowan" kepada beliau, karena kebetulan saya pun dari Pakamban yang ngampung mandi di perumtren orang Pakamban.

Saya tahu persis sikap dan semangat beliau kepada pesantren dan NU. Serbannya yang hijau selalu melingkar di leher beliau sebagai lambang kecintaannya kepada NU.

Terakhir saya berjumpa beliau di halaman rumah saudara saya di kampung Geledak, Jaddung, Pragaan, Sumenep. Beliau mengajak saya ke dalam rumah, hanya berdua. Lalu meminta saya membacakan sebuah puisi, 

"Coba baca puisi. Saya ingin mendengarnya."

Saya tidak langsung membacakan. Saya malu. Saya tidak biasa membaca puisi di lingkungan keluarga saya, apalagi di hadapan guru seperti Kiai Zuhri. Saya sangat malu. Membaca puisi di hadapan seorang Kiai Zuhri jauh lebih kikuk daripada di hadapan ribuan mahasiswa.

"Ayo, baca satu saja. Saya ingin mendengar puisi yang menggetarkan hati. Ayo, baca, satu saja!"

Terpaksa, walau kikuk sekikuk-kikuknya, walau kehilangan ekspresi sehilang-hilangnya, walau suara ditahan setahan-tahannya, saya pun baca beberapa bait puisi yang saya ingat dari tulisan saya.

Sekian waktu, beliau diam, entah merasakan sesuatu entah kecewa lantaran tidak seperti yang diharapkan. Kemudian tersenyum. "Hah, seperti Zawawi Imron," ungkapnya.

Kini, saya tak mungkin lagi sowan kepada beliau, tidak mungkin lagi bertemu di perumtren, tidak mungkin lagi disuruh baca puisi. Kepada beliau, doa saya basah.

Allahumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.Semoga Allah menyambutmu dengan peluk rindu dan cinta. Amin. (Hairul Anam/Zunus)