Daerah

Keunikan Prosesi Jumatan di Kawasan Ciroyong Bandung

NU Online  ·  Ahad, 28 April 2019 | 08:30 WIB

Keunikan Prosesi Jumatan di  Kawasan Ciroyong Bandung

Jumatan di Masjid Al-Musyawarah Jalan Arjuna Simpang, Ciroyom Kota Bandung.

Sidoarjo, NU Online
Kekayaan tradisi islami yang tersebar di bumi Nusantara sungguh luar biasa ragamnya.  Ruh Islam telah menjadi satu dengan jasad budaya lokal yang melahirkan wajah Islam yang ramah, moderat, dan menyenangkan. Salah satunya adalah terkait kegiatan shalat Jumat di di Ciroyom, Bandung, Jawa Barat.

Kejadian diceritakan Sugiarso usai mendampingi prosesi tasyakuran peserta Papuan Bridge Program (PBP) PT Freeport Indonesia yang sudah lulus dari program sarjana Fakultas Teknik Perminyakan dan Pertambangan ITB.
Saat itu, tepatnya Jumat (5/4), Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Mimika, Papua ini mencari baju Banser di kawasan Ciroyom. 

“Kala itu pukul 12 siang kurang dua puluhan menit, berarti menunjukkan waktu shalat Jumat. Karenanya saya bergegas menuju masjid terdekat,” katanya kepada media ini di kediamannya, kawasan Sidoarjo, Jawa Timur, Ahad (28/4).

Masjid terdekat bernama Masjid Al-Musyawarah berlokasi di Jalan Arjuna Simpang, Ciroyom Kota Bandung. “Saya bergegas mengambil air wudhu dan selanjutnya mengambil tempat duduk di dalam masjid,” jelasnya. Saat itu seorang sedang berdiri di podium sedang menyampaikan pesan kebaikan dengan menggunakan bahasa campuran, Sunda, Arab, dan Indonesia, lanjutnya. 

Dalam benaknya bahwa ini adalah khutbah Jumat telah dimulai. “Namun melihat di samping podium ada mimbar bertangga tiga, namun tidak dipakai serta khatib tangannya bergerak gerak seperti ceramah, saya bingung khutbah model ini. Saya tetap mengikuti prosesnya dengan penasaran,” kenangnya. 

Di penghujung penyampaiannya, khatib langsung menutup dengan salam tanpa ada duduk di antara dua khutbah, tanpa pesan takwa, tanpa shalawat, tanpa doa untuk kaum Muslimin sebagaimana rukun khutbah. 

Setelah khatib turun, jamaah membaca shalawat bersama dengan kalimat seperti ini, allahumma shalli 'ala Muhammad, allahumma shalli 'alaihi wa sallim. Allahumma shalli 'ala Muhammad, ya rabbi balighul wasilah sebanyak tiga kali.

“Setelah itu berdirilah seseorang mengumandangkan adzan disusul doa sesudah adzan dan ajakan kepada jamaah untuk shalat qabliyah Jumat. “Ternyata kegiatan yang saya sebut itu khutbah adalah ceramah sebelum Jumat. Ya saya menyebutnya demikian untuk membedakan dengan khutbah atau ceramah lainnya,” jelasnya.

Selesai melakukan shalat qabliyah Jumat, bilal berdiri dan membaca bacaan menaikkan khatib ke mimbar. “Ada perbedaan bacaan yang digunakan dengan bacaan bilal yang biasa saya jumpai di beberapa daerah seperti Ponorogo, Jombang, Sidoarjo, Surabaya, Malang, Tuban dan beberapa wilayah Jawa Timur lainnya. Saya kurang paham bacaannya karena tidak memakai pengeras suara, hanya samar samar,” urainya.

Khatib selanjutnya naik ke mimbar yang punya tiga anak tangga. Ini berbeda dengan podium yang dipakai untuk ceramah sebelum Jumat tadi. Uniknya, khatib berkhutbah menggunakan bahasa Arab semuanya dari awal hingga akhir dengan membaca suatu kitab. 

“Durasi khutbahnya ini juga singkat sekitar 5 hingga 10 menit saja. Tentu ketentuan rukun khutbah tetap terpenuhi oleh khutbah yang menggunakan bahasa Arab ini,” jelasnya. Uniknya, setelah khutbah selesai, dilakukan shalat Jumat dengan durasi pelaksanaan shalat terasa lebih panjang daripada khutbah yang telah ditunaikan, lanjutnya. 

Setelah selesai shalat Jumat dilanjut dengan wiridan yang umum dipakai di lingkungan Nahdlatul Ulama, yakni membaca al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Nas sebanyak tujuh kali dan ditutup dengan doa, allahumma ya ghaniyu ya mughni dan seterusnya hingga selesai. 

“Jumatan diakhiri dengan membaca syair Abu Nawas. Selanjutnya jamaah  sambil berdiri dan berjalan berjabat tangan membaca sholawat, shalallahu rabbuna hingga selesai,” jelasnya.

Dalam benaknya, Sugiarso mengemukakan bahwa pengalaman jumatan yang unik ini menjadi bukti kekayaan khazanah Islam Nusantara yang bisa menyatukan antara ajaran Islam dengan tradisi setempat. 

“Wajah Islam yang ramah, menyenangkan, asyik, membumi, dan memiliki daya tahan yang luar biasa merupakan kekuatan metode dakwah para sufi dan wali songo yang diteruskan oleh NU,” pungkasnya. (Ibnu Nawawi)