Daerah

Kelebihan Kiai Melahirkan Santri dengan Banyak Profesi

Sen, 11 November 2019 | 01:30 WIB

Kelebihan Kiai Melahirkan Santri dengan Banyak Profesi

Peringatan haul ke-17 KH Badrus Sholeh Abd Syakur di Pondok Pesantren Bahrun Nidhomiyah, Panggih, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. (Foto: NU Online/panitia)

Mojokerto, NU Online
Sejumlah kalangan yang sekarang berkiprah di berbagai keahlian sebagian lahir dari didikan para kiai. Dengan sangat telaten, sosok kiai membimbing para santri sehingga kelak memiliki kiprah yang membanggakan.
 
Hal tersebut seperti yang telah dilakukan almaghfurlah KH Badrus Sholeh Abd Syakur yang haulnya diperingati Ahad (10/11) di Pondok Pesantren Bahrun Nidhomiyah, Panggih, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
 
“Ini merupakan peringatan tepat 17 tahun wafatnya KH Badrus Sholeh Abd Syakur,” kata Sholehuddin yang memberikan testimoni pada kegiatan tersebut 
 
Menurut alumnus Pesantren an-Nidhomiyah ini, kehadiran sejumlah alumni pada haul dalam rangka berkirim doa sekaligus mengingat jasa almarhum dalam berdakwah dan menyebarkan ilmu kepada para santri di pesantren dan masyarakat. 
 
“Murid-muridnya sudah menyebar di berbagai penjuru, berbagai profesi dari sipil hingga tentara. Ada juga guru, dokter, dosen, pengusaha, bahkan ada juga yang sudah mendirikan pesantren,” kata Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sidoarjo, Jawa Timur tersebut.
 
Yang berbeda dari sosok KH Badrus Sholeh Abd Syakur atau Kiai Badrus ketika nyantri di Pesantren an-Nidhomiyah yakni memiliki haliyah atau kebiasaan yang jarang dimiliki santri lain. 
 
“Beliau sosok guru yang kuat dalam pendirian dan cerdas tapi sangat rendah hati, santun dan lembut dalam pergaulan. Keteguhan dalam pendirian ditunjukkan ketika dikritik oleh beberapa kalangan karena mengadakan tahajud berjamaah bagi para santri, beliau dengan tegas berargumen bahwa ini untuk pendidikan,” kata Pengurus Wilayah Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Jatim ini. 
 
Dijelaskan Sholehuddin, dampaknya hingga kini para santri istikamah dalam qiyamullail. 
 
"Saya merasakam betul, betapa beliau istikamah mengawal kegiatan harian yang kala itu tidak banyak pesantren yang menggelar tahajjud bersama. Maka, ini menjadi ikon pesantren yang berada di kawasan Ngelom Taman tersebut," tutur Widyaiswara Bdk Surabaya ini. 
 
Hal lain yang juga layak dikenang bahwa meski terkadang pulang larut malam habis mengisi pengajian di luar, Kiai Badrus selalu mengontrol pondok, memastikan para petugas jaga (haris) siap siaga. 
 
Dan, tentu rezeki bagi yang belum tidur, karena bisa menikmati berkat yang dibawa. Hebatnya Kiai Badrus meski baru saja ke kediaman (ndalem), tidak lama sekitar pukul 3 dini hari sudah kembali ke pondok, ikut membangunkan santri. 
 
“Beliau memimpin sendiri jamaah tahajjud, lalu disambung baca wirid. Biasanya yang dibaca surat al-Waqiah dulu dan dilanjut Syawariqul Anwar,” kenangnya. 
 
Ada kejadian menarik ketika ada santri yang tidak tahan kantuk, beliau merintah dengan bahasa Arab yakni kata mushaf
 
“Berhubung tidak terdengar jelas, yang bersangkutan tidak ambil mengambil al-Qur’an, tapi malah push up. Rupanya santri ini mengira disuruh push up, padahal mushaf,” katanya disambut tawa hadirin.
 
Hal itulah yang melekat dari Kiai Badrus. Yakni sosok yang memiliki kelembutan meski tegas dalam prinsip. Dengan demikian sisi humanisme sangat kuat. 
 
Dalam pandangan alumnus program doktor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tersebut, bahwa Kiai Badrus adalah sosok yang sangat cerdas, bahkan dapat julukan Ibnu Aqil tatkala berstatus sebagai santri di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.
 
“Kendati demikian, Kiai Badrus adalah sosok yang tawadhu serta lembut dalam pergaulan. Beliau sangat menghargai orang dan mampu memendam amarah,”  ungkapnya. 
 
Pernah satu ketika ada jam kosong waktu taklim, salah seorang ustadz belum tampak hadir. Gus Badrus agak sedikit marah akan hal ini, untungnya tidak lama sang ustadz datang. Terhadap hal ini beliau berubah ekspresi seolah olah-olah tidak sedang marah. 
 
Selama hidup, Kiai Badrus lebih banyak dihabiskan untuk mengajar para santri dan  jamaah. Di sela-sela profesi sebagai guru yang diperbantukan Kemenag,  masih istikamah tidak mau terlibat dalam urusan politik. Tapi di akhir hayatnya, sempat didapuk sebagai dewan syura salah satu partai karena mengikuti perintah kiai sepuh di Sidoarjo. 
 
“Namun Allah lebih mencintainya dan tepat setelah dilantik di Alun-alun Sidoarjo jatuh sakit serta dirawat beberapa pekan di rumah sakit hingga dipanggil oleh Yang Maha Kuasa tepat Jumat Legi April 2001,” ungkapnya. Artinya, Kiai Badrus belum sempat merasakan hingar bingar perpolitikan  di Indonesia usai reformasi. Dan ini pula sebagai bentuk penyelamatan pada pribadinya sebagai orang mulia, lanjutnya. 
 
Sebagai penerus, Sholehuddin mengajak para alumni, santri dan pengikut Kiai Badrus melanjutkan cita-cita yang belum tercapai, salah satunya mengembangkan pendidikan pesantren di Mojokerto dan tentu juga di Ngelom Taman Sidoarjo. 
 
“Para alumni yang banyak terjun di segala lini, bisa diajak membangun sesuai kapasitasnya,” tegasnya. 
 
Ada beberapa pesan yang sempat direkam olehnya selama menjadi santri antara lain jangan tinggalkan mengajar kendati memiliki profesi apa saja. Ini mendorong para alumni yakni meski profesi bukan guru tetap mengajar, minimal guru al-Qur’an. 
 
Kedua, jangan memikirkan apa yang sudah diucapkan. Hal ini menghindari rasa khawatir bahwa orang yang mendengarkan tausiah bisa menerima atau tidak.
 
“Sebab, yang membuat menerima bukan ucapan kita, tapi Allah,” tandasnya.
 
 
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Aryudi AR