Daerah

Kebahagiaan Dunia Tak Bisa Diukur dari Kekayaan

Ahad, 23 Februari 2020 | 09:15 WIB

Kebahagiaan Dunia Tak Bisa Diukur dari Kekayaan

Rais Syuriyah PCNU Pringsewu, KH Sujadi, saat mengaji Jihad Pagi di Komplek Bendungan Way Sekampung, Pringsewu, Ahad (23/2). (Foto: NU Online/Faizin)

Pringsewu, NU Online
Di era modern saat ini, terjadi pergeseran pola pandang manusia ke arah sikap hedonis. Sebuah sikap yang menilai bahwa materi menjadi bagian penting bagi manusia untuk meraih kebahagiaan dan kesenangan dunia. Sehingga sebagian melihat kekayaan dan kebahagiaan akan dapat berjalan beriringan.

“Jika mau melihat fakta dan merenunginya, hakikat kebahagiaan dunia tidak bisa diukur dari kekayaan. Sebab, banyak orang yang tidak kaya namun hidup bahagia. Sebaliknya, banyak yang kaya tapi hidup sengsara,” kata Rais Syuriyah PCNU Pringsewu, KH Sujadi, saat mengaji di depan Jamaah Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di Komplek Bendungan Way Sekampung, Pagelaran, Pringsewu, Ahad (23/2).

Kiai Sujadi mengatakan, lebih baik tidak punya apa-apa, tapi bisa makan apa-apa, dari pada punya apa-apa tapi tak bisa makan apa-apa. Bagi dia, itulah kalimat yang menggambarkan betapa saat ini banyak orang yang punya kekayaan melimpah namun tidak bisa menikmatinya karena berbagai penyakit yang diderita.

“Selain hedonisme yang sudah merasuki pola pikir manusia modern, saat ini juga semakin marak bermunculah fenomena fitnah, ujaran kebencian, adu domba, pembunuhan karakter dan sejenisnya. Hal ini disebabkan oleh masifnya perkembangan teknologi informasi khususnya media sosial,” terangnya.
 

Di berbagai platform medsos, lanjut Kiai Sujadi, dengan mudah ditemukan berbagai macam hoaks yang disebarkan oleh seseorang maupun kelompok yang sering memutar balikkan fakta. Yang benar dituduh salah, yang salah dianggap benar. "Padahal tegas disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa fitnah lebih kejam dari pada pembunuhan," tegas pria yang juga menjabat Bupati Pringsewu ini.

Ia pun mengingatkan kepada umat Islam untuk bermuamalah yang baik sesuai tuntunan agama dan tidak mudah terpengaruh informasi yang berkembang di medsos. Tabayun (klarifikasi) merupakan salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menghindari tindakan negatif dalam bermedsos.

" Jika ini tidak dilakukan, maka seseorang walau terlihat kuat agamanya, bisa gampang terpengaruh. Akhirnya, pola pikir pun bisa di luar kendali norma-norma agama. Siapa yang membunuh Ali? Dialah Ibnu Mulzam, orang yang hafal Qur’an, rajin berpuasa, dan shalat malam. Jadi berhati-hatilah. Jangan sampai memiliki sifat seperti Ibnu Mulzam," tegasnya.

Menyikapi fenomena hedonisme dan efek negatif teknologi informasi, lanjut Kiai Sujadi, keimanan menjadi hal yang penting untuk diperkuat. Dengan keimanan dan ketakwaan pada Allah, maka surga pun akan menjadi balasannya.

Hal ini tertulis di dinding lauhul mahfudz:
لا إله إلا الله وحده ، دينه الإسلام ، ومحمد عبده ورسوله ، فمن آمن بالله وصدق بوعده واتبع رسله أدخله الجنة
"Satu-satunya Tuhan dan Tuhan satu-satunya adalah Allah. Agamanya Islam. Muhammad hamba dan utusan-Nya. Barang siapa beriman dan membenarkan janji Allah dan mengikuti utusan-Nya, maka masuk surga," pungkasnya.

Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Musthofa Asrori