Daerah

Politik NU Kedepankan Moralitas

NU Online  ·  Sabtu, 27 April 2013 | 10:14 WIB

Makassar, NU Online
Diskusi atau tepatnya kongkowa yang diselenggarakan oleh IPNU dan IAPAN (Ikatan Alumni Ponpes Annahdlah UP) Sulawesi Selatan, Jum’at (26/4) ini mengambil tema yang cukup menarik, yaitu Politik Kaum Santri. 
<>
Hal ini menjadi langkah besar bagi pengurus IPNU Sulsel khususnya, karena selama ini IPNU Sulsel “tabu” membicarakan politik (dalam arti luas) yang selama ini giat melakukan kerja-kerja kaderisasi dan pengawalan ideologi Aswaja dikalangan pelajar.

Tampak hadir Ketua Umum PP IPNU Khairul Anam HS, Ketua Umum IAPAN Firdaus Muhammad, dan Ketua PW IPNU Sulsel Muh. Ramli. Hadir pula wartawan senior Tribun Timur As Kambie yang bertindak sebagai moderator.

Menurut Firdaus orang-orang pesantren/kaum santri yang selama ini dikenal sebagai kaum sarungan tidak harus alergi dengan kata politik, hal ini disebabkan dengan misi besar yakni misi keumatan melalui kerja-kerja politik kebangsaan. 

Orang pesantren mestinya senantiasa melakukan gerakan-gerakan perlawanan politik dengan caranya sendiri yakni melalui kacamata fiqhiyyah. Dan carut marutnya perpolitikan di Indonesia sekarang, mestinya kaum santri hadir membawa misi politik moral. 

“Bisa kita lihat parpol yang selama ini identik dengan identitas keislaman, sungguh jauh dari cita-cita misi keumatan,“ katanya.

Ketua Umum IPNU, Khairul Anam mengatakan politik bagi NU/IPNU itu bukan mencari kedudukan tapi lebih memperjuangkan visi/nilai keumatan, berangkat dari sejarah awal dari perlawanan kaum santri (berpolitik) yang dilakonkan oleh Kiai Maja yang mewakili komunitas santri dan Pangeran Diponogoro yang mewakili Islam priyayi melawan kedigdayaan Belanda pada masa penjajahan. 

Masih menurut Khairul Anam, salah satu keuntungan terbesar buat NU, dalam mengawal politik di Indonesia, khususnya di Sulsel NU memiliki kekuatan politik kultural yakni Kiai sebagai lokomotif perubahan bangsa dan pesantren sebagai lembaga pendidikan kaum sarungan yang dulunya mempunyai sejarah perlawan para Kiai berawal dari diskusi di pesantren.

Sedangkan menurut Ramli, NU jangan hanya menjadi objek dari karut-marutnya perpolitikan di Indonesia, tapi NU mesti jadi pelaku/aktor dari perubahan bangsa dengan cara-caranya sendiri. 

“Pelaku/aktor disini jangan dipahami hanya lewat anggota legislatif atau masuk parpol, itu salah satunya, tapi jauh lebih besar, NU mesti melakukan gerakan-gerakan kultural sebagaimana yang dilakukan oleh para sepuh,” ujarnya.

Para ulama berperan besar dalam perubahan masyarakat. Ia  menyebut peran KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah di Jawa Di Sulsel para ulama juga berperan besar dalam mendidik masyarakat seperti yang dilakukan oleh Anre Gurutta As’ad di Sengkang, Gurutta Abd. Ambo Dalle di Barru, Anre Gurutta Ahmad Bone di Bone, Anre Gurutta Puang Ramma, Anre Gurutta Mansyur Ramli dan masih banyak ulama-ulama lainnya.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Andi Muhammad Idris