Daerah

Geliat Muslim Bali Dibedah di IAIN Pontianak

Rab, 9 Oktober 2019 | 01:00 WIB

Geliat Muslim Bali Dibedah di IAIN Pontianak

Seminar Islam Kultural kerja sama Program Studi Agama-agama IAIN Pontianak dengan PW LTNNU Bali. (Foto: NU Online/Febri Utami)

Pontianak, NU Online
Program Studi Agama-agama Insitut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak, Kalimantan Barat bekerja sama dengan Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Provinsi Bali menggelar Seminar Islam Kultural yang diisi dengan bedah buku. 
 
Buku yang dibedah adalah Fikih Muslim Bali: Geliat Umat Mayoritas sebagai Komunitas Minoritas yang ditulis Ustadz Muhammad Taufiq Maulana. 
 
Acara dihadiri dua narasumber yaitu Ustadz Muhammad Taufiq Maulana selaku penulis dan Patmawati, dosen Studi Agama-agama. Tampak pula Ketua dan Sekretaris Prodi Studi Agama-agama, sejumlah dosen dan mahasiswa Prodi Studi Agama-agama di IAIN Pontianak.
 
Kegiatan dibuka Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Pontianak, Ismail Ruslan. 
 
Dirinya mendukung dan mengapresiasi dilaksanakannya kegiatan ini. “Mahasiswa studi agama-agama kita memang kecil dan sedikit jumlahnya, tapi kita harus bisa lebih berkualitas dari pada yang lain,” katanya, Selasa (8/10). 
 
Selain itu, Ismail Ruslan mengungkapkan bahwa saat ini Prodi Studi Agama-agama masih dalam upaya untuk berbenah dan mengembangkan sehingga tidak hanya dikenal di IAIN, melainkan juga di penjuru dunia.
 
Dalam pandangannya, kegiatan sangat penting bagi mahasiswa. 
 
“Selama ini Kalimantan Barat memiliki dua belas catatan konflik yang terjadi antar golongan dan kita harus bisa mempelajarinya dari Bali,” terangnya. 
 
Karena Bali, lanjutnya kini dinobatkan sebagai kiblat toleransi untuk melihat kerukunan beragama pada masyarakat. 
 
Ustadz Muhammad Taufiq Maulana mengemukakan bahwa kerukunan umat Muslim dan Hindu di Bali berakar dari sejarah. Sebab ditemukannya sebuah bendera yang pernah dibawa oleh Sultan Abdullah Al-Qadrie saat sedang bersama dengan orang Bali bertarung melawan penjajah. 
 
“Dan ternyata, kebersamaan itu masih terjalin sampai saat ini sehingga umat Muslim dan Hindu di Bali bisa tetap hidup romantis,” ujarnya. 
 
Ia juga menjelaskan bahwa kunci hubungan itu tetap terjanga hingga saat ini adalah karena adanya toleransi yang dalam ilmu fiqih disebut dengan tasamuh. 
 
“Makna toleransi adalah mengikuti tapi tidak mengimani,” tegasnya. 
 
Dalam pandangannya, hubungan Muslim dan non-Muslim diatur dalam fiqih bukan akidah. 
 
“Karena kalau menggunakan akidah tidak akan pernah bisa bersatu,” tegasnya.
 
Patmawati selaku narasumber yang mengkaji dalam pendekatan sejarah mengatakan bahwa buku ini membantu untuk membuka wawasan tentang ukhuwah islamiah, insaniah, wathaniah dan ukhuwah kemakhlukan. 
 
“Islam yang masuk di wilayah kita pertama kali adalalah Islam yang tasamuh, walau tidak menutup kemungkinan juga bersamaan dengan politik,” tuturnya.
 
Oleh sebab itu tugas semua kalangan terus menjaga toleransi tersebut. Dirinya berpendapat agar tidak kaku dalam beragama.
 
“Jangan terlalu kaku dalam menghadapi hidup karena Tuhan saja Maha Mudah,” ungkapnya. Hal tersebut dalam dilihat kehidupan toleransi dalam beragama yang terjadi pada masyarakat sekarang, lanjutnya. 
 
Kegiatan ini juga mendapat tanggapan positif dosen. 
 
“Biasanya membicarakan dialog agama itu menggunakan tasawuf, tapi saat ini kita membicarakannya dalam fiqih. Dan ini sangat menarik yang apabila dikembangkan bagi memajukan program studi,” tutur Zainudin. 
 
Dalam pandangannya, buku ini sangat layak dibaca sebagai titik bersinggungan antara budaya dan agama.
 
“Karena inilah konsep yang harus dibangun oleh program studi agama-agama,” tandasnya. 
 
 
Kontributor: Febri Utami
Editor: Ibnu Nawawi