Daerah

Berkah Haji, Selamat dari Sirosis Hati

NU Online  ·  Kamis, 9 Maret 2017 | 01:03 WIB

Semarang, NU Online

Menurut ulama, orang yang beribadah dengan ikhlas dan pasrah, akan mendapat berkah dan anugerah. Niat yang tulus disertai penyerahan diri total kepada Gusti Allah, akan menjadi kunci segala solusi. Terlebih jika pasrahnya sampai  siap mati. Hal itu seperti yang dialami seorang tokoh NU di Kota Semarang ini. 


Masud Ibrahim adalah guru IPS di SMP Hasanudin 6 Tugurejo Kota Semarang. Kala masih perjaka, pada 1983 ia merintis sekolah berlabel umum di kampungnya. Bersama rekan-rekannya ia mendirikan SMP Hasanudin dan meminta dinaungi LP Maarif NU. Alumnus Diploma Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang ini sengaja mendirikan SMP, karena sudah banyak madrasah dan pesantren di kecamatan Tugu, domisilinya. 


Di tahun 1993 dia didaulat menjadi kepala sekolah yang diberi nomor 6 dari jajaran SMP Hasanudin itu. Dan ia tetap mengajar karena jiwanya adalah guru. Di tengah giat-giatnya mengabdi pada ilmu, pada 1996 Masud mendapat cobaan berat. Hatinya terkena penyakit yang disebut Hepatitis. Sioris Hati alias sakit liver. Dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa organ vitalnya itu telah rusak. Tujuh puluh persennya telah terjangkiti virus penyebab penyakit kuning itu.


Usianya masih muda, 36 tahun saat hidupnya divonis tinggal menunggu waktu. Tiga puluh persen sisa livernya, kata dokter, akan segera terjangkiti dan si dokter pun angkat tangan tanda menyerah. 


Satu tawaran disampaikan, ada obat suntik yang harga sekali injeksi Rp 1,6 juta. Setiap seminggu harus disuntik obat itu, namun tidak menjamin kesembuhan. Hanya membantu menahan bagian hati yang masih sehat agar tidak terlalu cepat terpapar virus Hepatitis. Ibarat mengulur waktu dari titik stadium empat yang dia alami saat itu. 


Uang Rp 1,6 juta setiap minggu alias Rp 6,4 juta sebulan, jelas sangat besar baginya. Namun  ia merasa mampu membayarnya karena saat itu punya tabungan Rp 7 juta. Tetapi uang itu hanya cukup untuk satu bulan. Padahal tabungan itu sudah ia niatkan untuk mendaftar haji. 


Maka ia meminta pertimbangan istrinya yang baru tiga tahun ia nikahi. Masud juga meminta pendapat keluarga dan kerabatnya. Hasilnya, Masud memilih pasrah saja atas hidup dan matinya, dan kepasrahan itu hendak ia "sampaikan langsung kepda Gusti Allah" di Masjidil Haram dan di dekat pusara nabi di Masjid Nabawi. Maka dengan mantab dia mendaftar haji. Saat itu tidak ada daftar antrian, sehinggga mendaftar tahun 1996 berangkat tahun 1997. 


Bagaimana dia lolos dari pemeriksaan kesehatan sehingga bisa berangkat haji? 


Sosok penuh semangat ini mengisahkan, kala diperiksa dokter urusan haji, tensi darahnya rendah dan beberapa indikator menunjukkan dia kurang sehat. Masud pun berkelit; "Dok, saya sehat kok. Tensi rendah itu karena kemarin terlalu bersemangat mengikuti manasik haji sehingga saya kelelahan," alasan lucu yang ternyata diterima si dokter. 


Maka berangkatlah ia sesuai waktu yang dijadwalkan. Di tahun 1997 itu adalah pertama kali penggunaan Asrama Haji Donohuan Solo sebagai tempat transit jamaah calon haji dari Jawa Tengah dan DIY. Dan di Donohudan itu Masud merasa sudah diberi anugerah yang luar biasa. Dia yang kala berangkat dari Semarang tampak lemas ternyata segar kuat ketika bersiap naik pesawat menuju Jeddah. Perjalanan sebelas jam dengna pesawat pun dia lalui dengan enak. Ia merasa Gusti Allah telah memberi kekuatan pada tubuhnya begitu luar biasa.


"Subhanallah. Saya berangkat dengan niat pasrah untuk mati, malah diberi kesehatan," tuturnya mengenang peristiwa dua puluh tahun silam. 


Sampai di Madinah, ia panjatkan doa dan memohon agar bisa diakui sebagai umatnya Kanjeng Nabi Muhammad. Bapak tiga anak ini pun pasrah, andai dicabut nyawanya saat haji, dia pasrahkan seluruh nasib anak dan istrinya kepada Allah dan Rasulullah. 


Perjalanan darat dari Jeddah menuju Madinah, lalu menuju Mekah yang melelahkan itu, dia jalani dengan kondisi bugar. Orang-orang serombongannya kala hendak berangkat haji terlihat sehat, banyak yang sakit ketika berada di tanah suci. Sementara dirinya yang lemas seperti tiada daya saat hendak berangkat, justru sehat dan kuat di lokasi haji. Sehingga muadzin yang bersuara merdu kalau melantunkan puji pujian ini sering bisa menolong rekan-rekannya yang kesulitan atau mengalami keterbatasan badani. 


Rasa terima kasih dan rasa syukurnya tentu tak terhingga. Maka ia gunakan kesempatan haji itu untuk beribadah sebanyak banyaknya. Dia bertanya kepada kyai ketua rombongan, apa yang utama dilakukan mumpung di Masjidil Haram? Diperolah jawaban, lakukan apa yang tidak bisa dilakukan di kampung halaman. 


Itu berarti Thowaf Ya, Thowaf. Masud pun terus-menerus mengitari Kakbah sambil berdzikir. Sekuat badannya bergerak, ia terus Thowaf sepanjang waktu. 


Berkah Air Zamzam


Hal apa yang membuat Masud menjadi sehat dan seperti sembuh dari sakit beratnya? Penyuka Orkestra ini menyakini, air Zamzamlah faktor utamanya. Ia ingat hadis Nabi yang menyebut bahwa air Zamzam adalah sarana (washilah) untuk hajat apapun. 


"Saya banyak sekali minum air Zamzam. Sabda Rasulullah, air Zamzam itu berguna untuk apapun sesuai hajat pemakainya. Maka saya memohon kesehatan lantaran air Zamzam," ucapnya. 


Usai seluruh ritual haji dia lakoni, ia habiskan waktu di Masjidil Haram. Setiap ada kesempatan, ia keluar dari maktab/hotel menuju sumur Zamzam. Bahkan beberapa hari tidak kembali ke penginapan. Jadi ia hanya minum air Zamzam saja tanpa makan. Dan ia merasa perutnya kenyang, tiada terasa lapar. Diniati puasa, cukup pula air Zamzam sebagai menu pembuka puasa dan untuk bekal sahur. 


"Sungguh saya merasakan berkahnya air Zamzam. Saya berkali-kali mandi, saya basahi badan saya dengan air peninggalan Nabi Ismail itu," sambungnya. 


Dijelaskannya, waktu itu ada bilik-bilik di sekitar sumur Zamzam. Jadi orang bisa mandi secara bebas. 


Sepulang haji, tokoh NU yang biasa dipanggil Mas Ibra ini merasakan tiada keluhan dari sakit livernya lagi. Maka betapa bertambah rasa syukurnya dan makin tebal imannya sepulang haji. Sejak diberi kesempatan kedua dalam hidup itulah, Bapak tiga anak ini bertekad ingin mewakafkan sisa hidupnya untuk jihad fi sabilillah melalui organisasi NU. 


Sejak 1997, berarti telah dua puluh tahun dia dapatkan "bonus" umur hidup. Selama itu pula, ia khidmahkan jiwa raganya melalui NU. "Karirnya" dimulai dari pengurus Ranting NU di Kelurahan Tugurejo. Sembari terus ngopeni masjid dan menjadi muadzin, ia dedikasikan hidupnya untuk NU. Hingga pada 2010 lalu ia dipercaya menjadi ketua MWC NU Kecamatana Tugu, dan sejak 2016 kemarin dipasrahi memimpin Lakpesdam PCNU Kota Semarang.


Lakpesdam telah diberi tugas melaksanakan Pendidikan Kader Penggerak NU (PKPNU) untuk seluruh pengurus NU di semua tingkatan di Kota Semarang. Tahun ini target itu harus rampung dikerjakan. 

"Alhamdulillah akhir 2016 lalu sudah dua angkatan kita laksanakan PKPNU. Sekarang persiapan melaksanakan angkatan ketiga dan seterusnya. Targetnya semua pengurus NU dan badan otonomnya di Kota Semarang mengikuti PKPNU. Nantinya tidak ada lagi orang yang bukan kader menjadi pengurus NU," pungkasnya. (Ichwan/Abdullah Alawi)