Daerah

Berdayakan Petani Kopi, Alumni Sukorejo Situbondo Rintis Kopi BIKLA

Ahad, 7 Juni 2020 | 03:30 WIB

Berdayakan Petani Kopi, Alumni Sukorejo Situbondo Rintis Kopi BIKLA

Suasana peletakan batu pertama pembangunan gedung produksi Kopi BIKLA di Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Bangsalsari, Jember. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

 

Jember, NU Online
Jember, selain populer sebagai  kota tembakau,  juga dikenal sebagai daerah penghasil kopi. Sejak zaman Belanda, bumi Jember menghasilkan kopi dengan kwalitas terbaik di dunia. Itulah sebabnya mengapa pemerintah mendirikan Kantor Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao) di Jember, satu-satunya di Indonesia.


Petani kopi di Jember cukup banyak, baik yang berafiliasi ke perusahaan maupun yang mandiri, dalam arti tanaman kopinya dikelola secara perorangan. Namun harga kopi tidak selalu menyenangkan hati petani. Hampir setiap panen raya, harga biji kopi turun drastis. Bahkan tahun 2019, harga biji kopi betul-betul anjlok.


Menurut petani kopi sekaligus pengasuh pesantren Ihya’us Sunnah, Dusun Sumbercanting, Desa Tugusari, Kecamatan Bangsalsari, Jember, Jawa Timur, Ustadz Imam Bukhari, saat itu (2019) harga biji kopi betul-betul melorot, bahkan tak bisa melewati limit  ongkos produksi.


“Di rumah saya, harga di tingkat petani malah  di bawah Rp20 ribu per kilogram,” ucapnya kepada NU Online di kediamannya, Ahad (7/6).


Kondisi tersebut membuat Ustadz Bukhari semakin mantap untuk mendirikan usaha kopi bubuk. Maka pada bulan Agustus 2019, didirikanlah usaha itu. Bahan bakunya didatangkan dari petani kopi di daerah sekitar tempat tinggalnya, yaitu Desa Tugusari yang terletak di lereng gunung Argopuro.


“Kami beli kopi dari petani dengan harga yang wajar, hitung-hitung  juga untuk memberdayakan mereka,” jelasnya.


Ustadz Bukhari mengaku mendapat dukungan penuh dari gurunya, yaitu pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Bahkan saat pertama kali kopi tersebut diproduksi, orang yang pertama kali membeli adalah putri KH As’ad Syamsul Arifin, yaitu Nyai Hj. Isa’iyah As’ad.


“Itu kehormtan bagi saya. Nama produksinya juga kita beri nama Koffe BIKLA,” urainya.


Ustadz Bukhari menegaskan bahwa BIKLA merupakan akronim dari Barokah Ibrahimy Kopi Lereng Argopuro. Sebuah nama yang mengisyaratkan keterkaitan dengan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo. Ibrahim adalah nama leluhur dari pendiri dan pengasuh pesantren yang terkenal itu.


“Pesantren Sukorejo (sebutan untuk pesantren tersebut) adalah tempat mondok saya. Dengan nama itu (BIKLA), saya ingin barokah pesantren, dan kelak agar bisa memberi manfaat bagi masyarakat,” ungkapnya.


Ustadz Bukhari menyadari bahwa persaingan kopi bubuk tidak remeh. Buktinya, iklan kopi dengan beragam variannya, cukup masif di media cetak maupun televisi. Karena itu, ia menggandeng Baznas Kabupaten Jember untuk memperkuat SDM dan manajemen pemasarannya.


“Sejak awal saya memang menggandeng Baznas, Ketuanya kebetulan juga alumnus Sukorejo. Dan alhamdulilah, saat ini Kopi BIKLA sudah masuk kemana-mana (pemasarannya). Sehari bisa memproduksi 3 sampa 4 kwintal bubuk kopi,” jelsnya.


Di tempat terpisah, Ketua Baznas Kabupaten Jember, KH Misbahus Salam menegaskan kopi BIKLA merupakan terobosan ekonomi yang cukup cerdas. Usaha tersebut tidak hanya memberdayakan petani kopi di lereng gunug Argopuro yang semuanya warga NU, tapi juga menunjukkan ikhtiar yang bagus untuk kemandirian alumni pesantren.


“Santri harus menjadi pioner pergerakan ekonomi sehingga bisa memberikan manfaat tidak di bidang agama, tapi juga di bidang ekonomi,” pungkasnya.


Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi