Daerah

Aswaja NU Center: Jauhi Kelompok yang Berlebihan dalam Beragama

Kam, 30 Agustus 2018 | 03:30 WIB

Jombang, NU Online
Cerminan pribadi seseorang yang memeluk agama Islam adalah dapat bersikap moderat, tidak keras, atau bersikap ekstrem.

Sikap ekstrem ini digambarkan Rasulullah SAW dengan sebutan seseorang atau suatu kelompok yang berlebih-lebihan (ghuluwwa) dalam beragama. Dampaknya cukup serius terhadap beragam lini kehidupan, baik dalam beragama itu sendiri, bersosial, dan seterusnya.

Demikian dikatakan salah seorang Dewan Pakar Aswaja NU Center PCNU Jombang Ustadz Yusuf Suharto. Dalam pandangannya, kelompok yang ia urai di atas seperti khawarij di masanya.

"Cara berpikir khawarij ini adalah bagian dari ekstremitas pemikiran yang dilarang oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda, Iyyakum wal Ghuluwwa fid Din (jauhilah oleh kalian berlebih-lebihan dalam beragama)," ucapnya, Kamis (30/8).

Sementara Khawarij itu sendiri berasal dari kata Kharijah yang artinya adalah yang menyempal. "Jadi, khawarij ini adalah golongan yang menyempal dari barisan kaum muslimin yang sudah mempunyai pimpinan yang sah," imbuhnya.

Kaum Khawarij tepatnya ada pada masa sahabat setelah puluhan tahun wafatnya Rasulullah, namun mereka bukan terdiri dari sahabat, dan juga tidak pernah bertemu dengan Rasulullah. "Mereka ini tidak pernah bertemu Rasulullah tapi bertemu dengan generasi sahabat di masa akhir zaman sahabat," ucapnya.

Salah satu Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur ini lebih jauh menyatakan, cara pandang seperti halnya kelompok Khawarij hingga kini berkembang, seperti Al-Qaeda dan ISIS atau siapa saja dan kelompok mana saja yang menyimpang dan mudah mengkafirkan orang lain tanpa kaidah yang benar. 

"Bentuk pemikiran seperti Khawarij itu masih sangat mungkin ada, dan itu diidap oleh sedikit sekali umat Islam, yakni mudah mengkafirkan," jelasnya.

Dengan demikian sambungnya, memerangi atau menjawab ekstremitas inilah menjadi tugas para pemimpin sah dan para ulama agar masyarakat tidak terpengaruh dengan pola pikir yang menyimpang ini.

"Saat ini kita merindukan sosok seperti Ibnu Abbas, sosok Sayyidina Hasan, yakni para ulama yang mencontohkan bersikap moderat, dan bersikap rekonsiliatif," ungkapnya.

Ia menyebut, ekstremitas merupakan gejala minoritas umat beragama, dan keberadaannya tidak hanya pada agama Islam, tapi juga ada pada umat beragama lainnya. "Maka tidak tepat dan salah besar jika melabelkan radikalisme itu untuk umat muslim," jelasnya.

Seperti hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa sebelum umat Islam berpecah, ada umat Yahudi dan umat Nasrani yang juga berpecah. "Sempalan inilah yang menjadi perkara internal di masing-masing agama," katanya.

Pada hakikatnya ketika Islam turun, maka otomatis syariatnya Islam adalah syariat agama terakhir yang menggenapi umat agama sebelumnya.

"Sebetulnya agama semua para nabi adalah agama tauhid atau agama Islam. Namun ada penyimpangan-penyimpangan sehingga perlu turun Islam," tuturnya. (Syamsul Arifin/Muiz)