Cerpen

Sarung Pulang

Ahad, 7 November 2021 | 05:00 WIB

Cerita Pendek Lia Rochmatul Alwiyah
Redup–redup mataku mulai terbuka, kudengar bunyi gemerciknya air, tanda para santri sedang mengantre mengambil wudu. Sekarang pukul 03.00 pagi, semua santri dibangunkan untuk memulai kegiatan dengan salat tahajud berjamaah.

 

"’Mbak Malikha, kamu diutus Umi menjadi imam salat tahajud sekarang," ucap Mbak Nasywa memberitahuku.

 

"Baik Mbak, sebentar lagi saya ke mushala," jawabku. "Terima kasih sudah memberitahuku, Mbak," kataku lagi.

 

"’Iya, sama-sama. Kebetulan tadi saya yang diutus Umi untuk memberitahu kamu," jawabnya lalu berlalu dari kamarku.
 

Sudah enam tahun aku nyantri di Pesantren Mansya’ul Huda, Lasem. Terletak di antara pemukiman orang-orang Tionghoa, tidak menjadikan pesantren ini berkurang kearifan lokalnya. Pesantrenku cukup unik, pada bangunannya terdapat banyak arsitektur bercorak China. Misalnya, ada sembilan puluh sembilan lampion merah bertuliskan Asmaul Husna yang tergantung di atap sekeliling pesantren, dengan jarak yang sedap dipandang mata. Bahkan mayoritas kamar para santri putra bercat warna merah dan kuning, yang warna tersebut termasuk ciri khas bangunan-bangunan China. Ada tulisan 'Assalamu’aikum' yang ditulis dengan huruf Kanji pada pintu-pintu kamarnya.
 

Lasem memang dijuluki sebagai kota toleransi. Masyarakat China dan Jawa di sini mampu bersatu dalam banyak perbedaan. Mereka lebih suka saling membantu daripada mengganggu, malahan banyak dari mereka yang mengadakan kerja sama, misalnya, dalam usaha pembuatan serta penjualan batik Lasem.  Bisnis itu sekarang melesat dan sudah berhasil  mengantarkan batik Lasem meluas penyebarannya hingga di berbagai negara.
 

Pada awalnya, aku ragu dengan kalimat julukan 'Lasem kota toleransi'. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak fakta yang menguatkan kebenarannya. Sesekali aku mencoba berkomunikasi dengan orang China Tionghoa, meski hanya dengan sapaan atau sekedar untuk transaksi jual beli, dan uniknya lagi mereka paham dengan bahasa Jawa serta mampu melafalkannya dengan cukup fasih.
 

Aku menyapa seorang wanita China yang sedang duduk di teras rumahnya. "Monggo, Bu." 

 

"’Nggeh, monggo," balas ibu itu kepadaku dengan senyuman yang merekah di bibirnya.

 

Ah, sudah cukup aku bercerita mengenai Kota Lasem, datanglah kemari jika kalian ingin tahu lebih banyak lagi. Lasem itu cantik, menarik, dan istimewa. Aku jamin kalian akan sangat tertarik dengan kota ini.
 

Lulus MA tiga minggu yang lalu, sekarang aku hanya fokus untuk mengabdi pada pesantren. Kelas satu MA, aku sudah diutus Ibu Nyai menjadi mbak ndalem.​​​​​​Tugasku adalah memasak, menyiapkan kebutuhan Abah dan Umi, dan terkadang juga menemani Ummi saat Abah sedang pergi untuk mengisi sebuah acara atau karena hal lain. Sering kali Umi juga memintaku menggantikannya untuk menjadi imam jamaah santri putri jika beliau sedang  berhalangan. Sedangkan Abah, beliau suka dengan masakanku, terlebih dengan sambal tomat buatanku. Sudah menjadi tugasku untuk membantu dan menaati Abah dan Ummi, bisa dekat dengan seorang kiai merupakan kebahagian tersendiri bagi seorang santri, termasuk aku.

 

"Panggilan kepada Malikhatul Masnu’ah, untuk segera menuju ruang sambangan."
 

Suara yang berasal dari pengeras suara pondok membuatku menghentikan aktivitasku yang sedang membaca kitab Al- Majmu’ karangan Imam Nawawi. Lalu aku bergegas menuju ruang sambangan dengan harapan Ayah dan Ibu memang datang menjengukku.

 

"Assalamu’alaikum," aku mengucapkan salam saat memasuki ruang  sambangan.

 

"Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
 

Aku mendapati ayah dan ibu yang menjawab salamku, disambut dengan senyuman mereka yang sudah sangat sering kurindukan itu.

 

"Ayah, Ibu, mengapa tidak memberi tahu Malikha dulu kalau mau ke sini?" tanyaku sambil bergantian menyalami tangan Ayah dan Ibu.

 

"Ibu kan ingin memberi kejutan buat kamu, Sayang," jawab ibu.

 

"Iya, nduk, ibumu ini katanya ingin sekali kesini, sudah rindu berat sama kamu," ayah menimpali.

 

"Alhamdulillah, Malikha senang sekali Ayah dan Ibu datang ke sini."
 

Bahagia sekali aku hari ini, kedatangan ayah dan ibu di sini adalah hadiah terbaik untukku. Meski mereka bilang kalau ke sini karena merindukanku, ternyata di balik itu, ada sesuatu yang membuat mereka terus memikirkanku. Ibu bercerita tentang mimpinya padaku, tiga hari berturut-turut beliau bermimpi buruk tentang aku. Cemas soal mimpi itu, akhirnya ibu mengajak Ayah menjengukku ke pesantren. Ayah sudah mengingatkan Ibu kalau mimpi itu hanya bunga tidur, tapi tetap saja, ibu ingin memastikan sendiri keadaanku.
 

Terharu dengan cerita ibu, aku menangis. Orang tua  mana yang tidak cemas dengan anaknya, terlebih dengan jarak yang berjauhan. Apalagi seorang ibu, batinnya begitu kuat pada anaknya.

 

"Ayah, Ibu, kalian tidak perlu cemas denganku, aku baik- baik saja, Percayalah bahwa Allah selalu menjagaku, Bu. Memang, aku tidak selalu ada bersama kalian, tapi aku tidak pernah melarikan diri dari hati kalian, aku selalu berada di hati Ayah dan Ibu, begitupun sebaliknya."’ Aku berkata sambil terisak kepada mereka.


"Ayah dan ibu percaya sayang, kamu memang anak yang baik. Sekarang ayah dan ibu lega mengetahui keadaanmu yang baik–baik saja," jawab ibu dengan suara serak menahan tangis.

 

"Kalau begitu kalian pulanglah, Ayah dan Ibu pasti masih banyak urusan di rumah,’" ucapku pada mereka, merasa seolah ini pertemuan terakhir kami. "Dan jangan lupa selalu mendoakan aku," sambungku.
 

Kupeluk ayah dan ibuku, aku tak kuasa menahan aliran deras air mata ini. Mereka berjalan berlalu meninggalkanku sendiri di ruang sambangan. Entah mengapa, aku merasa berat melepas kepergian mereka, seperti tidak akan ada lagi pertemuan selanjutnya. Tapi aku mengabaikan pemikiran yang seperti itu. Ah, mungkin ini hanya perasaanku. Aku bahagia, rindu yang selama ini ku simpan dalam-dalam, mampu kuungkapkan lewat pertemuan ini. Doaku tidak pernah terputus untuk mereka, terutama di sepertiga malam saat aku bermunajat pada Sang Pencipta. 
 

Setelah mengikuti kegiatan setelah salat subuh, ngaji kitab Tafsir Jalalain yang diajar oleh Abah. Aku melanjutkan kegiatan dengan piket halaman kamar mandi, hingga aku melihat seorang santri tergopoh-gopoh mendekatiku.

 

"’Mbak Malikha, kamu ditimbali Ummi," kata Mbak Hasna memberitahuku.

 

"Oh, iya Mbak. Terima kasih," jawabku.
 

Aku berjalan menuju ndalem, melihat Umi yang sedang duduk di ruang tamu. Aku menghampiri beliau, ternyata Umi memintaku ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk menjamu tamunya yang datang dari Yogyakarta.

 

"Mbak Malikha, kamu  belanja ke pasar ya, untuk jamuan tamu nanti sore," Umi mengutusku. "Daftar belanjaannya sudah dibawa Mbak Khulwa, kamu nanti ajak dia belanja sekalian," sambung Umi.

 

"Nggih, Umi," jawabku sambil berjalan ke belakang menggunakan lutut beranjak dari ndalem. 

 

Pasar sesak dengan kerumunan orang yang sedang berbelanja. Aku dan Mbak Khulwa berjalan dengan hati-hati agar tidak terjatuh ataupun menyenggol para pembeli lain. Hingga tas yang kami bawa sudah penuh dengan sayuran dan barang belanjaan lainnya, aku mengajak mbak Khulwa mampir sebentar ke toko aksesoris.

 

"Mbak Khulwa, ini ada tiga gelang yang senada bentuk dan warnanya. Cocok sekali untuk kamu, Mbak Alfiyah sama Mbak  Rania," ucapku sambil menunjukkan gelang itu pada Mbak Khulwa.

 

"Lho, kok cuma tiga? Buat sampean mana?" tanya Mbak Khulwa.

 

"Sudah, Mbak. Saya tidak usah. Lagi pula ini saya beli khusus untuk Mbak Ndlem buat kenang- kenangan."

 

"Walah, terima kasih, Mbak. Yang lain pasti juga suka dengan gelang ini, gelangnya cantik kaya orang yang membelikan."

 

"Kamu ini bisa saja, Mbak Khulwa," jawabku sedikit malu-malu.

 

Di pertengahan jalan, tepatnya di depan Pasar Rawe, aku merasa ujung sarungku tersangkut di jeruji ban motor, ternyata memang benar. Aku berusaha melepaskannya dengan menarik sarungku dengan sekuat tenanga, tapi tidak bisa. Akhirnya tubuhku terjatuh, terseret sepeda motor diatas jalanan beraspal, tidak ada orang yang sadar dengan kejadian ini. Ingin aku berteriak meminta tolong, tapi tubuhku lunglai, tidak kuasa menahan sakit ini. Wajahku tersayat- sayat aspal, darah keluar dari mana-mana, di sekujur tubuh. Aku hanya menangis diatas rasa sakit yang membuatku tak berdaya, aku menyerah. Mungkin ini waktuku untuk pulang.

***
 

Semua orang bersedih atas kepergiannya, bahkan awan pun ikut menangis karena kematiannya. Tidak ada yang menyangka bahwa kepulangannya akan senaas ini. Tapi Malikha adalah anak yang baik dan salihah, dia selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Orang- orang berdoa untuknya, mereka yakin bahwa Allah mengambil Malikha dengan rasa sakit karena akan dibalas dengan rasa bahagia yang luar biasa di Surga.


Orang tua Malikha terguncang mendengar kabar itu, mereka telah kehilangan putri kesayangannya. Suara rengekan manja yang biasa terdengar, sirna begitu saja. Tidak ada lagi putri kecilnya, yang pulang ke rumah dengan membawa kebanggaaan untuk mereka.
 

 

Hari ini, dua minggu setelah kepergian Malikha, adalah acara kelulusan MA Sunnatunnur, sekolah tempat Malikha dulu menimba ilmu. Seharusnya saat ini juga Malikha di wisuda, namun takdir telah berkata lain. Orang tua Malikha tidak ingin datang di acara ini, mereka tidak ingin menambah kesedihan karena sudah tidak ada lagi putrinya yang akan di wisuda. Namun atas perintah Abah dan Ummi pengasuh Pesantren Mansya’ul Huda Lasem, mereka akhirnya datang. 

 

"Malikha pasti akan sangat senang, Bu. Orang tuanya hadir di acara kelulusannya, meskipun dia sendiri tidak ada disana, tapi saya yakin Malikha bisa melihat kalian dari surga," tutur Umi kepada orang tua Malikha. "Kalian yang sabar, Malikha itu anak yang salihah, santri yang baik. Allah pasti sudah merindukannya, untuk itulah Malikha dipulangkan."
 

Acara kelulusan berlangsung meriah, banyak santri yang kagum atas kedatangan orang tua Malikha. Sesekali mereka mencoba mengajak bicara agar sepasang kekasih itu tidak larut dalam kesedihan.

 

‘"Wisudawati terbaik tahun ajaran 2020/2021, diraih oleh Ananda Malikhatul Masnu’ah," Suara dari pewara mengejutkan semua orang, lalu disambut dengan tepuk tangan meriah dari para santri dan seluruh tamu undangan, "Kepada orang tua Ananda Malikhatul Masnu’ah diharap mewakili ananda untuk memberi sambutan," sambung pewara.
 

Mendapat penghargaan semacam itu sudah biasa didapatkan Malikha, waktu MTs dulu, dia wisudawati terbaik pada masanya. Semua orang tidak terkejut dengan pengumuman itu, tapi mereka gelisah, orang tua Malikha mungkin tidak akan mau memberi sambutan. Namun alangkah baiknya, Ayah Malikha ternyata sedang berjalan menuju podium, sedangkan Sang Ibu tidak mau memberi sambutan karena takut tidak mampu menahan air matanya, bahkan saat mendengar pengumuman tadi, Sang Ibu sudah dibanjiri air mata. Bahagia karena putrinya yang dibanggakan itu mendapat prestasi yang luar biasa, dan kecewa karena tidak ada lagi putrinya yang akan naik ke atas panggung lalu memamerkan piala besar kepada dirinya. Ah, betapa ia sangat merindukan putri kecilnya itu.

 

"Ayah dan Ibu bangga dengan kamu, Nak," terdengar suara ayah Malikha dari atas panggung.

 

"Kami semua yakin sekarang kamu di sini, bahkan menemani ayah diatas panggung ini. Kamu juga mendengar bagaimana kami semua di sini bangga dengan prestasimu, dan kamu pasti merasakan, betapa rindunya kami kepadamu, terutama ayah dan ibumu ini Malikha sayang," sambungnya dengan suara serak menahan isak tangis.

 

"Saya sebagai orang tua Malikha, saya meminta maaf atas nama anak saya, jika semasa kalian bertemu dengan dia, dia banyak merepotkan kalian semua. Malikha pernah bercerita kepada saya, dia tidak pernah menyesal mengenal siapa pun yang dikenalnya, justru dia takut kalau ada seseorang yang menyesal setelah bertemu dengan dia. Bagi saya, Malikha adalah anak yang baik, meski terkadang dia manja kepada ibunya, tapi dia membuat kami bangga. Nak, tenanglah di sana, berbahagialah, jangan risaukan kami, kami sudah ikhlas memulangkanmu. Ayah, ibu, dan kita semua di sini menyayangimu," ayah Malikha berbicara seoalah Malikha memang berada di sana.
 

Semua orang ikut terhanyut dalam sambutan Ayah Malikha. Suara tangis terdengar sahut-menyahut, semua orang bertepuk tangan untuk Malikha dan ayahnya.

 

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Kauman Lasem, Rembang, Jawa Tengah.