Cerpen

Aku Kehilangan Dompet, Tapi Aku Tidak Kehilangan

Ahad, 12 Januari 2020 | 14:37 WIB

Aku Kehilangan Dompet, Tapi Aku Tidak Kehilangan

Ilustrasi dompet: Hipwee

Dompet 
Aku kehilangan dompet kulit berwarna hitam legam mengilat saking seringnya bergesekan dengan celanaku. Dompet tua memang. Sudah rusak pula. Jahitan di sisinya sudah mengelupas. Reslutingnya dol. Tepi aku yakin pihak manapun sepakat, bahwa dompet itu masih layak disebut dompet. 

Dompet itu berisi berisi uang yang cukup untuk makan dan mereokok beberapa hari. Makan orang sepertiku tidak mahal. Hanya cukup nasi, sayur asem ditambah sambel. Bukan tidak mau menu makanan lain yang enak, tapi aku harus menghitung, menimbang-nimbang dan berpikir seratus kali dengan uang yang ada. Bisa makan saja sudah beruntung dan mesti banyak bersyukur. 

Di dompet ada ada KTP yang sebentar lagi habis masa berlakunya, kartu nam pamanku, kartu nama seorang pemilki ruko kenalanku yang ketika aku bertandang ke rumahnya ternyata punya anak gadis yang kalau ngomong keluar bahasa Inggrisnya. Padahal aku tidak mengerti, tetapi aku manggut-manggut saja pura-pura mengerti. 

Juga surat yang tak sempat aku berikan kepada seseorang yang pernah mengusik hatiku, ketika di sekolahan dulu, mungkin hingga sekarang. Aku tidak tahu ini kebodohan dan ketololanku atau ketidakberdayaanku. 

Terakhir, di dompet itu berisi berisi potret keluarga yang sudah buram. Sudah usang. Di potret itu terlihat terlihat ayah sedang duduk di kursi rotan peninggalan kakek. Dia memangku adik perempuanku yang masih bayi yang kelihatan sedang menangis. Ayah mengenakan baju batik dan sarung yang sudah tidak dikenali warna salinya karena seringnya dicuci dan dijemur. Ayah memakai peci beludru berwarna hitam kemerah-merahan karena terlampau tuanya bertengger di kepala ayah yang selalu di pakai kemana saja. Ibu memakai bau baju kebaya berwarna biru dan sarung batik dan memakai kerudung berwarna hitam. Di smping ayah berdiri adikku. 

Merekalah orang-orang dekatku. Merekalah orang-orang mencntaiku dan aku mencintainya. Sedangkan aku berdiri memakai baju putih polos dan celana panjang hitam yang sudah kekecilan karena itulah satu-saunya celana panjang yang kupunya yang dibeli empat tahun sebelumnya. Aku berdiri di samping ibu semuanya menatap lurus ke depan, sedangkan aku tertunduk menatap ibu jari. Latar potret adalah bilik rumah dan lemari yang keropos yang terlihat sebagian. Itulah masa lalu yang tertegun kedinginan pada selembar kertas. Masa yang akan terus kukenang. Akan selelu hidup. Masa yang sering merasa yang aku sebut dengan: kebahagiaan.

Padahal aku tidak kehilangan dompet. Selama hidupku aku tidak pernah punya dompet. Aku tidak kehilangan uang yang cukup untuk makan beberapa hari karena aku tdak pernah puna uang. Aku sudah terbiasa tidak punya uang. Aku tidak kehilangan KTP karena aku tidak pernah dicatat dalam data kependudukan. Aku tidak tahu dimana tempat tinggal dan lahirku yang sering dicatat dalam KTP. Aku tidak tahu bahwa setiap orang harus punya KTP. Aku tidak kehilangan kartu nama pamanku, karena aku tidak tahu apakah aku punya paman dan aku tidak tahu bagaimana rupa dan bentuknya kartu nama. Aku tidak kehilangan sepucuk surat yang tak sempat aku berikan pada seseorang semasa sekolah karena aku tidak pernah sekolah. Aku tidak pernah kehilngan poteret masa lalu keluargaku yang mencintaiku dan aku mencintai mereka. Karena aku tidak pernah merasa punya keluarga, kasih sayang, belaian ibu, senyum ayah, dan canda tawa adik-adikku yang luc.u. apakah setiap orang dilahirkan dan dibesarkan dalam sebuah keluarga? Aku mengetahuiku sudah ada di gunungan sampah. Aku tidak pernah punya semua itu. Aku tidak kehilangan apa-apa. Aku tak punya apa-apa bukankah sesuatu yang hilanag adalah sesuatu yang pernah kita miliki?

Aku berjalan dari lorong ke lorong. Dari lorong ke lorong mengikuti keinginanku. Aku selalu pergi tanpa harus kembali karena aku tak pernah punya tempata untuk kembali. Semua tempat adalah kpergianku dan sekaligus tempatku kembali. Aku pergi kemana saja aku pergi. Aku melangkah kemana saja kakiku melangkah. Itulah mata pencaharianku. Itulah hidupku yang tiap hari aku denyutkan. Itulah ritualku. Aku tidk dapat lain selain melakukan itu.

Maaf, Bu, apakah ibu atau orang sekitar pernah ada yang menemukan sebuah dompet yang berwarna hitam legam, berisi uang tidak seberapa, KTP, kartu nama, dan sebuah potret?

Aku selalu bertanya kepada setiap oran yang kutemui tentang dompet itu. Mereka Cuma menggeleng kepala.
..................
Tapi sebelum saya memeberikan dompet kepada saudara, saudara akan saya tanya terlebih dahulu tentang cirir-ciri dompet itu dan isinya. Bukan berarti kami tidak percaya, tapi untuk membuktikan.

Iya, Pk?

Padahal aku tidak kehilangan dompet karena aku tidak pernah punya dompet.  Aku tidak kehilangan apa-apa krena aku memang tak punya apa-apa. Bukankah sesuatu yang hialanag adalaha sesuatu yanag pernaha kita milki?

Coba sebutkan ciri-ciri dompet milik saudara yang hilang!

Dompet yang berwarna hitam legam saking seringnya bergesekan dengan celana saya. Jahitan di sisinya sudah lepas. Reslutingnya sudah dol. Jawabku sekenanya.

Itu sudah benar.  Coba sebutkan isi dompet itu!

Uang yang cukup untuk makan beberapa hari kedepan bagi saya.

Berapa besarnya uang itu?

Sepuluh ribu lima ratus lima puluh rupiah.

Hmm…sudah betul. Apa lagi isinya?

Satu buah KTP yang masa berlakunya hampir habis

Itu sudah benar. Oh, iya, saya belum tahu nama saudara. Siapa nama saudara yang tertera di KTP itu dengan lengkap.

Jalu bin bapak Jali.

Itu sudah benar. Coba apalagi isnya dompet itu?

Sukabumi 2004
Â