Cerpen

Optimisme Kang Kandar

Ahad, 21 Maret 2021 | 00:00 WIB

Optimisme Kang Kandar

Ilustrasi: 'Upick' Mutholib

Cerpen Supadilah Iskandar

Tidak ada seorang pun yang murah senyum dan begitu optimistis dalam menghadapi hidup selain Kang Kandar. Matanya buta sejak lahir, tetapi seraut wajahnya selalu menebarkan senyum yang memesona bagi warga Kampung Jombang. Baginya, hidup ini perlu dijalani apa adanya. Bagaikan air yang jernih mengalir dari hilir-hilir ke hulu sungai, hingga mencapai muaranya di tengah samudera luas.

 

Terkadang banyak orang sangsi pada kehidupan yang dijalaninya, terutama di zaman pandemi Covid-19 yang sudah berjalan selama satu tahun, serta menggoncangkan sendi-sendi persaudaraan, solidaritas, ekonomi hingga keimanan umat manusia di muka bumi ini.

 

"Hatinya melihat tapi matanya buta. Coba kalau matanya melihat, dia akan menyaksikan dengan jelas bagaimana air di seluruh dunia ini begitu keruh, kotor, dan kumuh berbusa di mana-mana," cetus seorang seniman senior di desa kami.

 

Kang Kandar justru terheran-heran mendengar komentar seniman kawakan itu. Apapun keadaan dan situasi yang menimpa manusia, baginya tetaplah bahwa hidup ini begitu indah, dan harus disyukuri. Justru dia bingung ketika mendengar seorang warga di kampung seberang yang konon mati bunuh diri karena rasa depresi dan frustasi. "Hidup manusia memang banyak masalah, tapi juga banyak jalan keluar yang ditawarkan Tuhan. Setiap kesulitan pasti ada kemudahan," kata Kang Kandar meyakinkan.

 

Orang-orang yang berkumpul di gardu ronda, yang matanya melek-melek, kerapkali membicarakan optimisme Kang Kandar di masa Covid-19 ini. Di antara mereka ada yang mencurahkan isi hatinya kepada Kang Kandar, lalu minta solusi bagaimana menghadapi hidup yang stres, pelik dan menggalaukan.

 

Jadi, ketika seseorang merasa cemas menghadapi kerasnya hidup karena kekurangan ekonomi, penyakit, atau salah seorang keluarganya meninggal karena Covid-19. Kang Kandar justru menyambangi orang yang terkena musibah itu. Tak peduli lelaki maupun perempuan, dewasa atau anak-anak, lalu mengelus-elus tubuh mereka sampai tertidur pulas.

       

Lama kelamaan, kemahiran Kang Kandar dalam soal mengelus-elus tubuh orang, mengantarkannya sebagai tukang pijat di Kampung Jombang. Memang belum bisa dikatakan profesional, tapi sebagai tukang pijat tunanetra yang dikenal murah senyum, namanya kian melambung tinggi. Sampai akhirnya ia memutuskan profesi itulah yang layak digelutinya hingga mampu menghidupi istri serta menyekolahkan kedua anaknya.

         

Suatu kali ia menyambangi keluarga Taufik yang berurusan dengan pihak Polres lantaran membobol toko sembako. Ia pun menyambangi keluarga Tohir, setelah pemuda itu mengalami baku-hantam dengan warga di Restoran Padang. Kang Kandar kadang berpikir, kalau bukan karena anugerah buta yang diberikan Tuhan, barangkali nasibnya tak begitu jauh dengan kawan-kawan sepantarannya di kampung. Terutama nasib Taufik yang dibesar-besarkan media sebagai 'penjahat kambuhan'. Padahal baru kali itu ia membobol toko sembako milik pengusaha China.

         

Syahdan, Pak Joko selaku Kapolres yang tinggal tak begitu jauh dari kampung kami, tiba-tiba memanggil Kang Kandar karena soal pijat memijat. Tugasnya sebagai kepala kepolisian di kabupaten kami cukup berat, terutama di masa-masa pandemi yang membutuhkan kesigapan mengurus rakyat selama 24 jam.

         

Sekali dua kali dipijat Kang Kandar, akhirnya Pak Kapolres berkesimpulan bahwa kemahiran seorang tunanetra dalam soal memijat tubuh, laiknya seorang komponis andal yang memencet tuts-tuts piano hingga memunculkan irama musik nan indah. Baginya, Kang Kandar hafal betul di mana bagian tubuh yang perlu ditekan, dan mana yang cukup disentuh agar muncul harmoni yang mengagumkan.

         

Maka, dalam tempo yang tak begitu lama, alangkah wajar jika Kang Kandar menjadi pujaan banyak orang. Hampir setiap hari ia keluar rumah demi pasien-pasiennya. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung. Nama Kang Kandar makin dikenal luas, setelah banyak pejabat menyenangi pijatannya. Mulanya Pak Kapolres yang rumahnya tak begitu jauh dari kediaman Kang Kandar, lalu ikut-ikutan Pak Lurah, Pak Camat dan beberapa anggota dewan yang tinggal di sekitar desa kami.

         

"Kenapa kemarin tidak datang, Dar?" Suatu hari Pak Kapolres protes kepada Kang Kandar, karena ia tak muncul pada saat kepala polisi itu butuh pijatannya.

       

"Kurang enak badan, Pak," jawabnya beralasan.

         

"Ah, mosok tukang urut merasa tidak enak badan?"

         

"Lha iya lah, Pak. Emangnya mentang-mentang tukang pijat, lantas badannya seger terus, begitu?"

 

"Hehehe, saya kira tukang pijat itu sakti dan kebal peluru," canda Pak Kapolres.

         

Kang Kandar tertawa terkekeh-kekeh.

 

Begitulah, di sela-sela memijat, Pak Kapolres selalu mengajak Kang Kandar bergurau dan bercakap-cakap. Di sisi lain, Kapolres sebagai pelayan umat tentu ingin menyerap kisah orang-orang kecil seperti dirinya. Baginya, cerita-cerita yang dilontarkan mereka membuatnya banyak memahami nasib orang-orang yang ia layani. Meskipun kadang terheran-heran juga menyaksikan Kang Kandar yang pantang mengeluh dan selalu murah senyum.

 

Mengapa ia memandang hidup ini begitu indah, justru di saat orang-orang merasa stres dan depresi karena dilanda wabah corona dan pandemi Covid-19 saat ini?

 

Pak Kapolres lama kelamaan ingin tahu rahasia yang dimiliki Kang Kandar, hingga akhirnya di hadapan Kang Kandar-lah keluhan-keluhannya terlontarkan. Konon, Pak Kapolres merasa kesal pada para koruptor dan penjahat kambuhan. Ia memahami para pecandu narkoba dan menghukumnya dengan hukuman setimpal, tetapi ia merasa jengkel kepada para bandarnya, yang selalu mencari-cari celah untuk bisa lolos dari jeratan hukum. Ia juga menyesalkan oknum-oknum pejabat dan polisi gadungan yang mengambil pungutan liar, hingga pengerukan tambang pasir di sekitar pemukiman penduduk. Orang-orang semacam itu tak akan segan menghambat laju pembangunan daerah, kalau kantongnya belum terisi penuh.

 

Kang Kandar jadi semakin paham tentang suasana daerahnya. Di tengah pijatan nikmatnya, Pak Kapolres seringkali bicara tanpa sadar saat mata mulai diserang kantuk. Ia bicara apa adanya, bahkan tanpa rem. Mulut Pak Kapolres bukan lagi laiknya ember bocor, melainkan sudah jadi ember pecah. Ia seakan tak menyadari bahwa dirinya adalah aparat nomor wahid di kabupaten, sementara yang ia hadapi hanya seorang warga biasa, hanya seorang tukang pijat yang tak bisa melihat.

 

Situasi di kamar pijat antara Kang Kandar dan Pak Kapolres ternyata diketahui oleh para pejabat korup di kabupaten tersebut. Mereka dapat mengendus bahwa Kang Kandar, konon menyimpan seabrek rahasia pribadi yang dibicarakan bersama Kapolres. Hingga pada gilirannya, dari Pak Bupati, beberapa kepala dinas dan pengusaha seperti kontraktor atau broker proyek, ikut menggemari pijatan Kang Kandar. Sontak saja, mereka minta Kang Kandar membeberkan informasi apa pun yang disampaikan kepala kepolisian di kabupaten tersebut.

 

Mula-mula Kang Kandar mencoba bungkam. Ia sangat menyukai profesi memijat, dan tak mau profesi kesayangannya itu dikotori oleh urusan politik. Tetapi, lama kelamaan toh bobol juga, terutama ketika beberapa orang merayunya sambil memberi sedikit tekanan.

 

Namun, bukan karena alasan itu Kang Kandar berhenti keliling untuk memijat pasiennya. Ia merasa sudah waktunya dunia pijat-memijat dijadikan usaha serius. Ketika anak-anaknya sudah beranjak remaja, maka kebutuhan keluarga pun kian menuntut hal-hal yang realistis.

 

"Aku akan bikin rumah pijat di sebelah pangkas rambut milik Pak Majid," kata Kang Kandar kepada istrinya.

 

"Di sekitar pertigaan Jombang? Apa nantinya bisa laku, Pak?" tanya istrinya sangsi.

 

"Kan di sekitar itu banyak pegawai pabrik yang lalu lalang, belum lagi yang bermobil, ditambah pasien-pasien yang sudah jadi langganan," tegas Kang Kandar.

 

Perkiraan Kang Kandar sungguh tepat. Di sekitar pertigaan itu berduyun-duyun orang datang ke rumah pijatnya, dari para pedagang, sopir angkutan, para pegawai pabrik, hingga para penanggung jawab keamanan dan ketertiban kota. Pukul delapan pagi Kang Kandar sudah membuka rumah pijatnya dan pukul enam sore ia tutup. Setiap hari ia bisa memijat lima hingga tujuh orang.

 

Pada hari Jumat ia meliburkan diri, tetapi tidak menolak apabila ada pejabat tinggi memanggilnya untuk dipijat di kediamannya seraya bisik-bisik minta informasi mengenai apa-apa yang telah dibicarakan dengan Pak Kapolres. Pada malam Minggu, dan setelah rehat sejenak ia pun mendatangi rumah Pak Kapolres. Seperti biasa, Pak Kapolres tidak berubah, di sela-sela pijatannya, ia selalu mengumbar cerita tentang segalanya.

 

Setelah empat tahun lebih memanfaatkan jasa Kang Kandar, Pak Kapolres menghadiahi Kang Kandar agar berangkat umrah bersamanya. Seketika Kang Kandar terkaget-kaget, namun dengan cepat ia dapat membaca bahwa perjalanan umrah maupun haji adalah ibadah yang sangat melelahkan, sehingga membutuhkan pijatan bagi tubuhnya.

 

Ternyata, perkiraan itu tak meleset. Di sela-sela ibadah, apabila lelah mencengkeram, Pak Kapolres tak segan memanggil Kang Kandar untuk memijat badan, kaki dan tangannya.

 

Di tanah suci Makkah, Kang Kandar merasakan hidup yang indah dan nikmat luar biasa. Ia tak merasa lelah seperti halnya Pak Kapolres yang memang sudah lanjut usia. Ia merasa senang meskipun diminta untuk memijat kaki Pak Kapolres manakala ia harus berjalan kaki puluhan kilometer mengelilingi Ka'bah, bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwa, hingga jalan-jalan ke Padang Arafah dan Jabal Rahmah.

 

Kang Kandar tetap tersenyum di sepanjang perjalanan umrah. Namun, sepulang dari umrah tersebut ia terheran-heran mendapati istrinya mengeluh dan cemberut. Seketika ia bertanya-tanya mengapa istrinya bersikap tidak seperti biasanya?

 

Kang Kandar baru mengerti kemudian, bahwa ternyata sebuah salon bergaya modern telah berdiri di antara warung Bi Siti dan kedai kopi milik Pak Salim. Istrinya uring-uringan, khawatir rumah pijatnya sepi karena salon baru itu tidak hanya menyajikan potong rambut, tapi sekaligus menyediakan layanan memijat. Beberapa pelanggan setianya sudah mulai bertanya-tanya serta melirik ke arah salon tersebut.

 

Ya, salon baru itu adalah ancaman serius bagi istrinya, tetapi Kang Kandar tetap saja tersenyum, "Tak usah khawatir, rezeki itu sudah ada yang ngatur. Setiap orang sudah ada bagiannya masing-masing."

 

Namun, yang membuat orang-orang gardu merasa kaget justru ketika hasil tes Swab di kantor kelurahan yang menunjukkan adanya empat penduduk Jombang yang dinyatakan positif Covid-19, di antaranya adalah Kang Kandar sendiri.

 

"Ayo, tunjukkan sekarang, apakah Kang Kandar masih tetap tersenyum lalu memandang hidup ini begitu indah?" teriak seorang seniman girang.

 

Suasana hening dan senyap. Selama beberapa minggu tak ada canda-tawa yang terdengar dari mulut Kang Kandar. Warung pijatnya tutup selama ia diisolasi, sementara istri dan kedua anaknya dinyatakan negatif dari Covid 19.

 

Setelah dua bulan dirawat di ruang isolasi, Kang Kandar pulih kembali dan dinyatakan negatif dari Covid-19. Tetapi, lawan-lawan bisnisnya tak tinggal diam. Sekelompok orang melaporkannya ke aparat, meski di kantor polisi Kang Kandar tetap bungkam perihal status rumah pijatnya yang tak berizin. Di samping itu, istrinya pun menjual obat-obatan herbal yang meskipun sudah dinyatakan halal oleh MUI, namun izin memasarkannya masih dipertanyakan.

 

Kang Kandar kemudian memohon kepada Pak Kapolres agar turut membantu menyelesaikan masalahnya. Tetapi, beginilah jawab Pak Joko, "Sekarang aku sudah tidak menjabat Kapolres lagi, Dar. Dua tahun lagi aku sudah pensiun dari jabatan kepolisian. Mohon maaf, Dar."

 

Lalu, apakah dengan kejadian ini Kang Kandar masih optimistis menjalani hidup dan tetap menganggap hidup ini begitu indah?

 

Entah, tak ada yang tahu. Lawan-lawan bisnis, politisi, dan seniman yang tidak menyukainya bersiap-siap untuk bersorak-sorai menertawakan dirinya.

 

Namun, mereka hanya terbengong-bengong ketika kemarin, seorang aparat dari kantor Polres memberi kabar, "Sejak pemanggilan ke kantor polisi, Kang Kandar tiba-tiba hilang entah ke mana. Tetapi, kemarin kami sudah mendapat informasi dari sumber yang dapat dipercaya bahwa Kang Kandar telah berpindah rumah, dan saat ini dia menjadi pelanggan Pak Kapolda yang penasaran dan terkagum-kagum dengan pijatannya." 

 

Supadilah Iskandar, cerpenis adalah guru dan pemerhati kesusastraan kontemporer Indonesia, tinggal di Banten Selatan.