Bahtsul Masail

Status Hubungan Mahram Persusuan via Bank ASI

Rabu, 28 Februari 2018 | 08:30 WIB

Assalamu alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul masail NU Online, saya mau tanya terkait bank air susu ibu (ASI). Ada perempuan dikaruniai ASI yang begitu melimpah. Setiap 4 jam sekali ia memerah ASI, lalu membuangnya. Bagaimana ia mendonorkan ASI tersebut ke bank ASI. Lalu bagaimana dengan bayi yang meminum ASI-nya kelak? Mohon penjelasannya, terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb. (Nelly/Bandung)

Jawaban
Alaikum salam wr. wb.
Pembaca yang budiman, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya untuk kita semua di mana pun berada. Kondisi seseorang memang berbeda. Sebagian orang mengalami surplus ASI. Tetapi sebagian lagi mengalami krisis ASI sehingga ia tidak dapat menyusui anaknya sendiri.

Untuk mengatasi kedua masalah ini, kalangan medis berinisiatif untuk membuat bank ASI, lembaga yang menampung ASI dari relawan dan menyalurkannya kepada anak-anak yang membutuhkan.

Donor ASI adalah aktivitas yang berpotensi mengakibatkan status keharaman nikah atau mahram karena persusuan. Pasalnya, asupan susu untuk bayi dari bank ASI setara dengan asupan susu untuk bayi langsung dari puting ibu susu atau salah seorang perempuan sebagaimana keterangan I’anatut Thalibin berikut ini:

قوله وصول الخ) سواء كان بمصّ الثدي أم بغيره كما إذا حلب منها ثم صبّ في فم الرضيع وقوله لبن أي ولو مخيضا ومثل الزبد والجبن والإقط والقشطة لأن ما ذكر في حكم اللبن

Artinya, “Kata syarah ‘Sampainya...’ sama saja sampainya susu itu (ke rongga anak) dengan jalan mengisap puting atau dengan jalan lainnya sebagaimana apabila diperah dari susu itu lalu dituang ke mulut bayi tersebut. Kata syarah ‘susu,’ bermakna susu sekalipun sudah diangkat rumnya, dan seperti juga rum, susu beku, keju, dan kulit susu. Semua yang tersebut itu masih dalam hukum susu,” (Lihat Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Mesir: Daru Ihyai Kutubil Arabiyah Isa Al-Babi Al-Halabi, tanpa catatan tahun], jilid III, halaman 286).

Masalah bank ASI ini pernah diangkat oleh para kiai dalam Muktamar Ke-25 NU di Surabaya pada 20-25 Desember 1971 M. Deskripsi masalah yang muncul ketika itu adalah pengumpulan air susu oleh sebuah rumah sakit dari beberapa kaum ibu (benar-benar susu mereka) untuk dikirimkan kepada bayi-bayi yang dirawat dalam rumah sakit tersebut. Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang demikian itu dapat menjadikan/menimbulkan mahram radha’?

Para kiai saat itu menyimpulkan bahwa pengumpulan susu oleh rumah sakit dari kaum ibu yang diberikan kepada bayi-bayi yang dirawat dalam rumah sakit tersebut bisa menjadikan mahram radha’ dengan sejumlah syarat:

1. Perempuan yang diambil air susunya itu masih dalam keadaan hidup, dan (kira-kira) berusia sembilan tahun Qamariyah.
2. Bayi yang diberi air susu itu belum mencapai umur dua tahun.
3. Pengambilan dan pemberian air susu tersebut sekurang-kurangnya lima kali.
4. Air susu itu harus dari perempuan yang tertentu.
5. Semua syarat yang tersebut di atas harus benar-benar yakin (nyata).

Para kiai NU pada muktamar tersebut mengutip Kitab I’anatut Thalibin berikut ini:

ثُمَّ أَنَّ ظَاهِرَ الْعِبَارَةِ أَنَّهُ يَكْفِيْ وُصُوْلُ اللَّبَنِ الْجَوْفَ خَمْسَ مَرَّاتٍ وَلَوِ انْفَصَلَ اللَّبَنُ مِنَ الثَّدْيِ دَفْعَةً وَاحِدَةً وَلَيْسَ كَذَلِكَ بَلْ لاَ بُدَّ مِنْ انْفِصَالِ اللَّبَنِ خَمْسًا وَوُصُوْلِهِ الْجَوْفَ خَمْسًا

Artinya, “Lalu makna lahiriah teks Fathul Mu’in menyatakan (persusuan yang menjadikan hubungan mahram) itu cukup dengan sampainya air susu perempuan yang menyusui ke dalam perut anak yang disusui lima kali tahapan, meskipun air susu tersebut keluar dari payudara sekali tahapan (saja). Dan yang benar bukan seperti itu. Namun air susu itu harus keluar dari tetek lima kali tahapan dan sampai ke perut anak yang disusui lima kali tahapan pula,” (Lihat Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, [Mesir: At-Tijariyatul Kubra, tanpa catatan tahun], jilid III, halaman 287).

Persoalan ini juga pernah diangkat oleh guru kami Alm KHM M Syafi'i Hadzami pada 1973, (Lihat KHM Syafi’i Hadzami, Taudhihul Adillah: Seratus Masalah Agama [Kudus: Menara Kudus, 1982], juz II, halaman 78). Menurutnya, setiap tahapan penyusuan tidak mensyaratkan banyak tetes atau hingga kenyang. Setetes dalam satu tahapan sekalipun sudah dihitung sebagai satu kali tahapan penyusuan sebagaimana keterangan Syekh Zainuddin Al-Malibari berikut ini:

الرضاع المحرم وصول لبن آدمية بلغت سن حيض ولو قطرة أو مختلطا بغيره وإن قل جوف رضيع لم يبلغ حولين يقينا خمس مرات يقينا عرفا

Artinya, “Persusuan yang mengharamkan nikah adalah sampainya susu putri Adam yang sudah mencapai usia haidh, meski hanya setetes atau bercampur dengan lainnya, meski sedikit, ke rongga bayi yang belum mencapai usia dua tahun secara yakin, sebanyak lima kali dengan yakin secara uruf,” (Lihat Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin pada Hamisy I’anatut Thalibin, [Mesir: Daru Ihyai Kutubil Arabiyah Isa Al-Babi Al-Halabi, tanpa catatan tahun], jilid III, halaman 286).

Dari pelbagai keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa asupan susu bayi dari bank ASI yang memenuhi syarat berdampak pada haram pernikahan karena persusuan. Keharaman ini tidak berlaku hanya antara ibu relawan dan bayi penerima donor ASI, tetapi juga saudara susu dan lain sebagainya seperti haram pada nasab.

Untuk memastikan, kami menyarankan agar aktivitas donor dan pengeleloaan bank ASI melakukan pencatatan dan pendataan ibu relawan dan bayi penerima donor ASI dengan dokumentasi yang rapi dan mudah diakses (digital). Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan apakah asupan susu untuk bayi lewat bank ASI memenuhi syarat keharaman atau tidak. Pasalnya, keyakinan adalah salah satu syarat pertalian mahram karena persusuan.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)