Warta

Tradisi Membaca dan Menulis

Sabtu, 14 Oktober 2006 | 09:20 WIB

Jakarta, NU Online
Komunitas nahdliyyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU) kalangan pesantren kerap disebut kelompok tradisionalis: kampungan, kolot dan ndeso. Namun demikian, pemaknaan seperti itu pada dasarnya tidaklah sepenuhnya benar. Tradisionalis artinya konsisten mempertahankan tradisi-tradisi, yakni tradisi membaca dan menulis, terutama di kalangan pesantren.

Demikian disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Maarif NU Dr H A Fathoni Rodli M.Pd saat menjadi narasumber pada peluncuran dan bedah buku “Membangun Profesionalitas Guru: Analisis Kronologis atas Lahirnya UU Guru dan Dosen” karya Asrorun Ni’am Sholeh, di Gedung Teater Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba Raya, Jakarta, Jum’at (13/10) lalu.

<>

Hadir pada acara peluncuran buku karya mantan aktivis Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) tersebut, Dr H Fasli Djalal Ph.D (Dirjen PMPTK Diknas RI), Prof Dr Suriani MA (Guru Besar Universitas Negeri Jakarta).

Fathoni, begitu panggilan akrab A Fathoni Rodli, mencoba meluruskan pemaknaan istilah tradisionalis, sebagaimana yang selalu dilekatkan pada kalangan nahdliyyin dan pesantren. “Tradisional, dari kata tradisi. Dalam hal ini adalah selalu mempertahankan tradisi keilmuan. Bicara soal keilmuan, pesantren sudah sejak dulu, tradisi membaca dan menulis sudah lama,” terangnya.

Maka, katanya, tidak heran jika seorang santri bisa menulis dan menerbitkan buku, seperti halnya penulis buku tersebut yang juga seorang santri. “Bukan hal luar biasa kalau ada santri bisa bikin buku. Karena di pesantren sudah terbiasa menulis dan juga membaca,” ungkapnya.

Berkaitan dengan lahirnya Undang-undang (UU) Guru dan Dosen—sebagaimana yang dibahas dalam buku setebal 222 halaman yang diterbitkan oleh Lembaga Studi Agama dan Sosial (eLSAS)—Fathoni mengaku tak terlalu khawatir dengan nasib pesantren. Pesantren, dalam hal ini para guru/ustadz, kemungkinan tak akan mendapatkan tunjangan fungsional dari pemerintah karena tak mampu memenuhi tuntutan profesionalitas, sebagaimana yang diamanatkan dalam UU tersebut.

“Kalau para guru atau ustadz di pesantren tidak dapat tunjangan fungsional ini, sudah biasa. Pesantren itu sudah mandiri sejak dulu, baik mandiri secara pendidikan maupun mandiri dalam bidang ekonomi. Bahkan, dulu (masa penjajahan Belanda, red) NU pernah mengharamkan pesantren menerima bantuan,” terang Fathoni.

Fathoni menjelaskan definisi profesional sebagaimana dimaksud pemerintah dalam UU tersebut. Seorang yang berprofesi sesuatu, jelasnya, bisa dikatakan profesional jika memenuhi empat syarat, yakni, ada penghargaan (dalam bentuk uang atau yang lain) terhadap apa dikerjakan, harus berlatarbelakang pendidikan yang sama dengan pekerjaannya, menjadi anggota organisasi profesi dan memiliki kode etik profesi. “Kalau mengikuti (pengertian, red) ini, tentu para guru/ustadz di pesantren tidak bisa memenuhi,” ujarnya. (rif)