Syafiq Alielha: Air Mata Merendam Bulu Kuduk Sepanjang Aceh Selatan hingga Barat
Senin, 17 Januari 2005 | 15:24 WIB
Meulaboh, NU Online
Bencana Gempa dan Tsunami yang hingga hari ini diketahui menelan 114.978 jiwa dan 12.132 orang hilang telah mendorong Syafiq Alielha, salah seorang aktivis dari Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) yang juga kontributor NU Online terpanggil untuk terjun menjadi relawan di Aceh. Berbagai persoalan tentang bencana memilukan itu sempat direkam Syafiq dan dituturkannya dalam catatan yang dikirimkannya kepada NU Online.
Berangkat dari Jakarta tgl 29 Desember, aku tertahan di Medan 1 hari: menunggu bantuan yang direncanakan datang. Namun begitu bantuan dipastikan tidak datang karena kapalnya berlabuh entah di mana, aku memutuskan untuk ke Singkil. Karena itulah jalur yang paling mungkin untuk sampai di Meulaboh saat itu. Ditemani Arif (temen Aceh) dan Andi (Sekjend FPPI Medan), aku berangkat. 18 jam perjalanan, kami sampai di Singkil. Kami Sempat kebingungan di sana.
<>Karena tidak ada posko apapun yang bisa ditemui di kawasan pelabuhan. Jalan darat terputus di Bakongan, dan satu-satunya jalan adalah lewat laut.
Namun kendala muncul. Tidak ada kapal yang berani melaut. Nelayan masih takut akan kemungkinan terjadinya gempa susulan, seperti diberitakan media. Kami bertemu dengan relawan lokal Singkil yang juga ingin mengirim bantuan ke Meulaboh. Sudah dua hari mereka tertahan di pelabuhan, karena belum dapat kapal.
Beruntung, pada sore hari, kami dapat kabar bahwa mereka dapat kapal, namun belum dapat kapten (nahkoda) yang mau mengemudikan, karena sang kapten kapal tidak berani. Setelah mencari sana-sini, akhirnya nahkoda yang kami harap ketemu juga. Seorang batak berewokan, dengan selera humor yang cukup untuk menghilangkan ketegangan.
Momen pemberangkatan cukup menegangkan. Dilepas puluhan warga yang berkumpul di pelabuhan, berdoa, membuatku merinding dan terharu. Semua berharap gempa susulan yang diberitakan tidak terjadi. Kami berangkat pukul 10 malam. Dan selama 1 jam perjalanan kami diselimuti kebisuan. Duduk di tempat masing-masing.
Namun begitu malam beranjak larut dan bintang bulan menampakkan sinarnya, suasana rileks mulai tercipta. Perjalanan yang diperkirakan hanya membutuhkan waktu 9 jam molor menjadi 15 jam. “Kita sempet tersesat dan mutar-mutar selama 3-4 jam. Saya belum pernah berlayar sampai ke Labuhan Haji selama 4 tahun ini, karena itu daerah rawan,” kata sang kapten.
Pukul 3 kami baru sampai Labuhan Haji, Aceh Selatan. Suasana bencana sudah terasa. Meski tidak sebesar yang aku perkirakan sebelumnya. Kapal-kapal terdampar di daratan, rusak, dan rumah-rumah di pinggir pantai dinding-dindingnya jebol . Di Labuhan Haji sepi, hanya ada beberapa titik pengungsi, dan kami tidak mendapatkan truk untuk mengangkut barang ke Meulaboh. Aku berinisiatif ke Tapak Tuan, Ibukota Aceh Selatan, untuk mencari dan mengirim informasi.
Bupati Aceh Selatan bersedia mencarikan truk untuk mengangkut bantuan kami. Aku sendiri dari Tapak Tuan langsung menuju Meulaboh, menumpang mobil polisi. Lagi-lagi, kebisuan tercipta. Polisi yang menyetir di sampingku, setelah bercerita kalo kakak kandungnya hilang di Banda Aceh dan dia sebenarnya takut untuk ke Meulaboh karena jalur ke sana relatif tidak aman, tidak lagi bicara. Hanya musik yang diputarnya keras-keras. Aku pun diam. Suasana gelap dan dia menyetir kencang sekali. Seakan kompensasi dari ketakutannya.
Setelah berjalan selama kurang lebih tiga jam, kami mulai memasuki kawasan utama bencana: Kabupaten Nagan Raya, lalu kabupaten Aceh Barat. Memasuki Meulaboh pada saat itu, tanggal 1 Januari 2005, memerindingkan bulu roma. Kita seakan memasuki kota mati, daerah tak berpenghuni. Suasana gelap karena listrik masih mati, dan tak satupun orang bisa kita jumpai.
Polisi yang mengantarkupun tegang dan kebingungan. Tidak tahu harus kemana. Aku membayangkan semua penduduk mati, karena bau anyir menyengat di sana-sini. Namun ada harapan. Kami menjumpai RS Cut Nyak Dien yang masih berdiri, dengan nyala lampu di beberapa ruangannya. Kami ke sana, namun tidak ada yang bisa ditemui. Suasana sepi. “Benarkah semua orang di sini sudah mati?” batinku.
Setelah beberapa lama dua orang pengendara motor menghampiri. Mereka membawa kami ke kantor bupati, dan di sana ada banyak pengungsi. Ternyata masih ada kehidupan di sini. Setelah berbisik-bisik sana sini, kami kembali ke rumah sakit dan menginap di sana. Aku tidur di bus yang terparkir di halaman.
Paginya, kehidupan yang aku tunggu datang. Di jalanan, sejumlah orang berlalu-lalang, dengan muka-muka bingung dan mengharukan. Aku bangun dan berjalan menuju pantai. Seperti di Nagan Raya, rumah-rumah di sinipun banyak hancur. Rumah-rumah yang tidak ambruk pun tampak sepi tak berpenghuni. Makin dekat ke arah pantai pemandangan kian menyedihkan. Mayat tergeletak di beberapa sudut jalan, putih membusuk, beberapa mengambang di rawa-rawa. Semua tidak bisa dikenali lagi rupanya.
Di pinggir pantai aku bertemu seorang pemuda y