Warta

Sensor Film tidak untuk Batasi Kreativitas

Sabtu, 1 Maret 2008 | 22:24 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga Sensor Film (LSF) tidak berpretensi membatasi kreativitas para seniman. Sensor hanya dikenakan untuk adegan-adegan yang bisa memicu tindakan negatif, terutama terkait kekerasan dan sadisme, pornografi, dan penyalahgunaan obat.

"Kalau misalnya ada adegan dada dibelah, atau seorang perempuan memotong-motong tubuh untuk dimasak lalu kita sensor, masa itu dikatakan membetasi kreativitas," kata Ketua LSF Titie Said di ruang redaksi NU Online, Jakarta, Jum'at (29/2) malam.<>

Adegan lain yang pernah disensor oleh LSF adalah terkait kekerasan yang terjadi di daerah konflik seperti Aceh dan Timor Leste. Beberapa kekerasan dan pembantaian ditampilkan sepihak oleh satu kelompok dan diperankan secara vulgar, kejam, dan provokatif.

"Daerah-daerah yang berkonflik saat ini kan sudah berdamai. Lalu dengan menampilkan itu apakah lantas kita ingin permusuhan akan terus berlanjut," kata Titi Said.

Para kreator film juga sering berargumen bahwa dalam adegan-adegan film itu mereka sedang menyampaikan informasi penting, dan tidak perlu disensor. Menurut Titie Said, informasi mengenai teknis melakukan pelanggaran, semisal dalam membeli, memakai dan menikmati narkoba, sama saja dengan memberikan angin segar untuk memicu pelanggaran-pelanggaran berikutnya.

Tuntutan pembubaran LSF oleh pihak Masyarakat Film Indonesia (MFI) juga terkait dengan adegan-adegan yang dipotong oleh LSF karena mengandung unsur pornografi. Anggota LSF Jamalul Abidin dalam kesempatan itu mengatakan, pada tahun 2007 lalu pihaknya telah memotong 2.383,5  meter atau 229.834 detik penayangan adegan film yang berbau seks dan pornografi.

Pihak MFI misalnya berargumen bahwa tayangan yang agak vulgar yang tentang seks diperlukan untuk menyampaikan pesan penting seputar kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, atau sekedar memberikan informasi mengenai life style masyarakat urban Indonesia sekarang.

Sementara itu pihak-pihak yang mendukung LSF berpandangan bahwa adegan seks dan pornografi tidak kondusif untuk ditonton anak-anak. Selain itu adegan seksualitas yang terlalu vulgar tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

"Ya bersenggama dengan istri itu boleh-boleh saja, tapi kalau dilakukan di alun-alun ya itu urusan lain," kata Ketua PBNU KH Masdar Farid Mas'udi. (nam)


Terkait