Warta

RUU Sumberdaya Air Terlalu Didominasi Aspek Ekonomi Ketimbang Ekologi

Ahad, 28 September 2003 | 05:27 WIB

Jakarta, NU Online
Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumbedaya dan Lingkungan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Ir H Bunasor Sanim, MSc menyatakan, implikasi diterapkannya RUU Sumberdaya Air (SDA) haruslah mempunyai kaitan dengan ekosistem, dan tidak dilihat hanya sebagai barang "ekonomi mutlak".

"RUU Sumberdaya Air terlalu didominasi aspek ekonomi dibanding ekologi dan kurang memandang air dari aspek sosial sebagai barang publik," katanya pada orasi ilmiah di Kampus IPB Darmaga, Minggu.

<>

Ia mengemukakan hal itu dalam orasi ilmiah penetapannya sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Sumbedaya dan Lingkungan Fakultas Pertanian IPB akhir pekan ini (27/9) dalam rangkaian Dies Natalis ke-40 institut pertanian terbesar se Asia Tenggara itu.

Catatan kritis lainnya yang disampaikannya, karena lebih melihat sebagai barang ekonomi mutlak, RUU SDA lebih banyak mengangkat aspek ekonomi dengan nuansa liberalisme yang kental.

Selain itu, kata dia, pelibatan swasta tidak jelas dan tidak tegas, di mana juga terlihat pemilikan SDA oleh pihak tertentu. "Padahal dalam pemanfaatam sumberdaya air tidak selalu harus memiliki SDA tersebut," katanya.

Dalam perspektif yang lebih rinci jika melihat secara menyeluruh terhadap RUU SDA, menurut Bunasor Sanim, ada beberapa implikasi yang dapat menimbulkan konflik atau kerancuan dalam penerapannya.

Ia merujuk pada pasal 7 ayat 3 RUU SDA, di mana hak ulayat masyarakat diformalkan dengan adanya Perda (Peraturan Daerah), dan hal itu dinilainya sangat merugikan, karena kelak pranata sosial yang selama ini mengatur pengelolaan air juga menjadi formal, yang selanjutnya akan membuat akses masyarakat akan SDA semakin kecil.

"Posisi masyarakat untuk mengelola air jangan sampai dinafikkan karena dapat berakibat timbalnya konflik, karena masalah air adalah hal yang sensitif," katanya.

 Menurut dia, RUU SDA ini juga dapat memacu konflik di dalam masyarakat karena badan usaha dan perorangan, boleh mengusahakan sebagian dari wilayah sungan dengan izin dari pemerintah pusat atau daerah (pasal 9 ayat 1).

"Pasal ini dapat menyebabkan akses masyarakat terhadap air di wilayah tertentu dari suatu sungai dapat terhambat," tambanya. pasal 8 ayat 1 RUUS SDA disebutkan adanya hak guna pakai air, yang menurutnya pasal ini belum memberikan penjelasan yang jelas jika ada petani di luar jaringan irigasi menggunakan air untuk usaha, termasuk apabila ada petani menggunakan air
di dalam jaringan irigasi harus mengurus izin kepada siapa.

Peluang privatisasi besar

Pada sorotannya yang lain, Bunasor Sanim --yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB--melihat bahwa peluang privatisasi yang begitu besar dalam pengelolaan air, terutama bagi swasta merupakan implikasi yang dapat timbul dari RUU SDA itu.

Peluang dimaksud, katanya, terutama ada pada pasal 11 ayat 3 di mana melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.

"Namun dalam hal ini tidak ada batasan dan ketegasan seberapa besar peran swasta ini. Jadi, sebaiknya swasta berperan sebatas pada pembangunan infrastruktur saja," katanya.

Ia juga mengatakan, RUU SDA juga memberi peluang bagi masyarakat tertentu --terutama yang berpendapatan tinggi--untuk memodifikasi cuaca (pasal 38 ayat 2), karena masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi dapat membeli teknologi untuk memodifikasi cuaca.

"Sehingga (dengan kondisi tersebut) dapat merugikan kelompok atau petani tertentu yang tidak mampu membiayai modifikasi cuaca," katanya.

Bunasor Sanim juga melihat ada persoalan serius pada pasal 77 ayat 2 yakni, adanya batas-batas tertentu dalam kemampuan pembiayaan BUMN/BUMD pengelola sumberdaya, pemerintah dan Pemda dalam memberikan bantuan pembiayaan pengelolaan SDA.

"Jika melihat pasal 77 ayat 2 ini maka sangat bertentangan dengan pasal 33 ayat 1 dan 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara dan pemerintah harus bertanggung jawab terhadap terjaminnya masyarakat luas memperoleh air," katanya.(mkf)


 


Terkait