Riyadlah dan Khalwat Jamaah Thariqat Naqsabandiyah Padang (2-habis)
Senin, 23 Agustus 2010 | 18:45 WIB
Khalwat Artinya menyendiri, mengasingkan diri dan memencilkan diri. Menyendiri pada satu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah lainnya.
Kalangan sufi Al-Ghazali, misalnya berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani Nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di Gua Hira', sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Saur sesudah menjadi rasul. Khalwat Rasulullah di Gua Hira' adalah tafakur, tentang segala makhluk ciptaan Allah SWT.<>
Sedangkan khalwat Nabi setelah menjadi Rasul, adalah memohon kepada Allah Swt, agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena Nabi SAW berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai ashabul kahfi tanpa mengatakan insya Allah.
Disebutkan, bahwa Imam Ghazali pernah melakukan khalwat tiga kali, masing-masing selama 40 hari. Dalam 'Awarif al-Ma'arif (Ahli Ilmu Pengetahuan) kaum sufi, ia menasihatkan untuk ber-khalwat selama 40 hari setiap tahun dan menjalankannya dengan shalat dan puasa. Khalwat yang dinamai al-Arba'iniyah (sifat 40) ini mempunyai tujuan etis (khuluqiyyah) yaitu penyucian jiwa, dan penyingkiran tabir-tabir (hijab) jasmani. Khalwat ini bukan untuk mencapai mukasyafah atau untuk meminta keluar-biasaan dan keajaiban yang kadang-kadang muncul.
Buya H Ibnu Abbas melakukan khalwat dengan jamaahnya di Padang, Surau Nurul Yaqien, Sungai Balang, Bandar Buat dan Surau Buya Lubuak, di Baruang-Baruang Balantai, Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan setiap tahun, dengan pembagian 40 hari tersebut, yakni 30 hari dibulan Ramadhan, dan 10 hari dibulan Dzulhijah.
Seorang murid tarekat yang berkhalwat, katanya, hendaklah melepaskan diri untuk sementara waktu dari alam sekitar. Seluruh harta miliknya, dan keluarganya serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat berjamaah atau Shalat Jumat. Dalam keadaan seperti itu, ia harus terus menerus mengingat Allah dan tidak memperhatikan apa yang didengar dan dilihatnya, agar dirinya tidak terganggu.
Selama itu pula ia harus tetap bersuci dengan wudlu', tidak tidur kecuali amat letih, dan tidak putus-putusnya berdzikir.
Menurut Buya Ibnu Abbas, amaliah yang dilakukan seseorang selama berkhalwat dan tata caranya tergantung pada aliran tarekat dan ajarannya. Misalnya, tarekat Naqsyabandiah menetapkan tata cara khalwat sebagai berikut.
Pertama, khalwat itu dilakukan dengan i'tikaf dalam masjid/surau. Kedua, orang yang melakukan khalwat harus senantiasa berwudlu. Setiap batal wudlunya, ia harus berwudlu kembali dan kemudian Shalat Tobat dua rakaat karena meninggalkan khalwat dipandang telah melakukan dosa.
Ketiga, mengerjakan zikir. Dalam tarekat Naqsyabandiah, zikir itu terbagi atas zikir darajat dan zikir hasanat. Keempat, dalam berkhalwat hendaklah murid memisahkan diri dari orang banyak. Kelima, Shalat Berjamaah. Keenam, hendaklah selama melakukan khalwat mengurangi makan, minum, tidur dan berkata-kata. Yang terutama dikurangi adalah perkataan lidah dan hati, hati hanya berdzikir kepada Allah SWT.
Ketujuh, dalam berkhalwat memakai baju, kain sarung, dan tutup kepala putih karena warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas bila terkena najis. Kedelapan, selama khalwat murid meninggalkan pekerjaan jual beli dan segala pekerjaan duniawi lainnya yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah SWT.
Kesembilan, tidak makan daging karena daging dapat membuat sifat manusia menjadi buas. Kesepuluh, sedapat mungkin berkhalwat itu memakai kelambu agar selain mencegah nyamuk, lalat dan lainnya yang mengganggu pikiran dalam berzikir, juga dapat mengingatkan orang yang berkhalwat seolah-olah ia berada dalam lubang kubur atau liang lahat.
Kesebelas, muka dan dadanya selalu dihadapkan ke arah kiblat. Keduabelas, berkhalwat melatih rasa sabar dan qana'ah atau menerima apa adanya. (Damanhuri)