Ulama perempuan dan masyarakat dapat menutupi kekurangan pemerintah dalam usaha melindungi hak-hak kaum perempuan, terutama buruh migran. Ulama perempuan memiliki peran strategis untuk melakukan mendidikan dan pemberdayaan.
Peran itu terwujud melalui kekuatan pengetahuan agama untuk bersikap kritis dan mampu menganalisis setiap persoalan perempuan. Sayangnya, gerak ulama perempuan cenderung terbatas pada wilayah tertentu.<>
"Ulama perempuan tidak hanya bisa menjadi rujukan terhadap wacana keagamaan yang kerap ditanyakan kaum perempuan, tetapi juga persoalan sehari-hari semacam rumah tangga, pekerjaan dan masalah lain yang tidak berkaitan dengan persoalan agama," ujar Afwah Muntazah, pimpinan Pondok Pesantren Putri Kempek, Cirebon, Jawa Barat, saat berbicara dalam seminar " Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan yang berlangsung di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/11).
Afwah menjelaskan tindak kekerasan terhadap perempuan di akar rumput masyarakat yang terjadi selama ini karena disahkan dalil keagamaan, hadist, ayat Al-Qur'an dan budaya kultural. Celakanya, kata dia, aturan itu diperkuat dengan keberadaan fatwa ulama termasuk asaatidzah yang memaknainya secara tekstual.
"Kondisi itu tergambar dalam ungkapan kepasrahan di kalangan perempuan lantaran takut dosa, khawatir dicap membangkang dan lainnya," paparnya.
Afwah menyadari bahwa makna tekstual yang diterapkan turut dipengaruhi sejumlah hal. Misalnya saja pemahaman kebanyakan perempuan awam terbilang rendah ketimbang laki-laki dari sisi kajian kitab kuning.
Di samping itu, Afwah melanjutkan, ulama harus bergerak dalam ibadah sosial yang lebih luas dan aktif. Sebab ibadah sosial memiliki manfaat yang sama besar dengan ibadah mahdoh semata.
"Sosialisasi yang intens, dengan penguatan wacana keagamaan yang adil adalah solusi untuk mewujudkan peran ulama perempuan yang melengkapi kebutuhan komunitasnya dari sisi agama maupun dunia secara harmoni," pungkasnya. (rep)