Warta

Pengembalian Fiqh Sesuai Dengan Prinsip Etika

Rabu, 18 Juni 2003 | 09:02 WIB

Jakarta, NU.Online
Fiqh sosial sebagai Manhaj (pola fikir) sangat  relevan di bahas, mengingat masih rendahnya pemahaman umat dan banyaknya persoalan sosial keagamaan yang harus dicarikan landasan keagamannya,  demikian disampaikan  Rais 'Aam KH. Sahal Mahfudz dalam pidato pengukuhan Doctor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, (18/06/2003). Hadir dalam kesempatan itu antara lain Menag RI Prof. Dr..Sayid  Aqil Husin Al-Munawar,MA Mendiknas Malik Fadjar, KH. Abdurahman Wahid, KH. Hasyim Muzadi, Menteri Pertanian Bungaran Saragih, Pengasuh Pondok Pesantren, Pengurus PBNU dan Senat lengkap Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Fiqh memang berkembang cepat  dan berpengaruh sangat dominan dalam kehidupan umat Islam. Menurutnya, sebagaimana sejarah pada fase Madinah, Islam lahir bukan hanya sebagai agama tetapi juga sebagai negara. Karena lahir sebagai negara, sudah barang tentu ia memerlukan perangkat-perangkat sosial  seperti politik dan hukum. Apalagi setelah nabi wafat persoalan - persolan baru muncul, yang harus dicarikan  dasar hukum untuk menjawabnya. Karena  Islam lahir sebagai agama dan negara, wajar jika kemudian lebih banyak persoalan sosial keagamaan  praktis yang muncul  daripada permasalahan sosial keagamaan yang bersifat  teologis.

<>

Akibatnya pemahaman fiqh ditengah-tengah masyarakat sangat  formalistik dan  sering mengundang orang untuk melakukan hillah (manipulasi) terhadapnya. Hal ini dikarenakan dalam proses pengembangan kerangka teoritiknya, fiqh terpisah dari etika. Inilah yang kemudian dikritik Imam Ghozali bahwa fiqh telah menjadi ilmu dunia.  "Karena pandangan yang formalistik itulah dalam konteks sosial  yang ada, ajaran syari'at yang tertuang dalam fiqh terkadang tidak searah dengan kehidupan praktis sehari-hari," paparnya

KH. Sahal kemudian memberikan pemahaman bahwa pengembalian fiqh agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip etik dapat dilakukan dengan  mengintegrasikan maqasid al-syari'ah ke dalam proses pengembangan kerangka teoritik fiqh. Dalam konteks ini berarti hikmah hukum  harus diintegrasikan ke dalam 'illat hukum sehingga diperoleh suatu produk hukum yang bermuara pada kemaslahatan umum.  Dengan demikian fiqh benar-benar sejalan dengan fungsinya sebagai pembimbing sekaligus pemberi solusi atas permaslahan kehidupan praktis baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial.

Lebih lanjut  Kiai sahal dalam pidato pengukuhan menjabarkan  bahwa  Fiqh Sosial  memiliki  lima ciri pokok pertama, interpretasi teks fiqh secara kontekstual, kedua, perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab  secara tekstual (madzhab Qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab Manhaji) ketiga, verifikasi mana ajaran yang pokok mana ajaran furu (cabang) keempat, fiqh dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum  positif negara dan kelima pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial
 
Dalam kesempatan yang sama , Said Aqil selaku Menteri Agama dalam ceramahnya menyatakan kekaguman terhadap kiprah dan pengabdian beliau yang tulus dalam mengembangkan pengetahuan dan pesantren ditengah-tengah masyarakat.  "Kiai Sahal adalah kiai Ensiklopedik", ungkap  Said, menggambarkan keluasan dan kedalaman pengetahuan kiai Sahal dalam penguasaan ilmu agama. 

Disamping itu  ia menggambarkan figur kiai Sahal yang  tetap mempertahankan independensi, moderat dalam menyikapi persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat.   "Beliau konsisten dan penuh kearifan", tambahnya.

Kemudian Gus dur juga sempat memberikan ceramah atas nama keluarga. Dirinya menyatakan heran, secara spontan ia mengatakan, "Reaksi saya cuma satu, kenapa baru sekarang ?", ujarnya.  Ia menjelaskan bahwa ini berarti ada kesenjangan antara perguruan tinggi dengan masyarakat.  Perguruan tinggi telah menjadi puncak menara gading yang jauh persentuhannya dengan realitas masyarakat.

Lebih jauh Gus Dur, yang masih keponakan kiai Sahal ini mengungkapkan. "Kiai Sahal sedikit dari ulama yang mampu menafsirkan fiqh dengan kelenturan yang luar biasa sekaligus penuh kedalaman". Gagasan  fiqh sosial-kontekstual  yang digagasnya tetap mempunyai keterkaitan dinamis dengan kondisi sosial yang terus berubah.  Dirinya berupaya terus menggali fiqh sosial dari pergulatan nyata antara " kebenaran agama" dan realitas sosial yang senantiasa timpang.

Disamping itu menurut  Gus Dur, Kiai Sahal juga figur yang tidak segan-segan mengkritik tradisi fiqh di lingkungan NU yang lebih menonjolkan ketentuan tekstual daripada upaya penelusuran kontekstual.  Kenyataan inilah yang menyebabkan perubahan orientasi dan gagasannya dari mazhab fil al-qaul menjadi madzhab fi al-manhaj yang lebih relevan dalam menjawab tantangan perubahan zaman, ungkap Gus Dur(Cih)


Terkait