Warta

PCNU Jepara: Nuklir Mubah, PLTN Haram

Ahad, 9 September 2007 | 06:50 WIB

Semarang, NU Online
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara, Jawa Tengah menegaskan, berdasarkan bahtsul masa'il diperoleh kesimpulan bahwa aplikasi nuklir untuk keperluan lain hukumnya mubah, tetapi untuk pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) haram.

"Aplikasi nuklir kecuali pada PLTN, pada dasarnya hukumnya mubah atau boleh. Yang sudah jelas-jelas hukumnya haram adalah proyek PLTN Muria yang akan dibangun di Jepara," demikian keterangan Ketua PCNU Jepara, H. Nuruddin Amin dalam penjelasan tertulisnya, Ahad (9/9).<>

Penjelasan tersebut disampaikan berkaitan dengan banyaknya kesalahpahaman mengenai hasil pembahasan alim ulama yang diselenggarakan oleh LBM NU Jateng dan PCNU Jepara pada 1 September 2007.

Bahtsul Masa'il atau pembahasan yang diikuti sekitar 100 kiai dari wilayah Jateng memutuskan bahwa PLTN Muria hukumnya haram, mengingat dampak negatifnya lebih besar daripada dampak positifnya.

Tim perumus bahtsul masa'il yang terdiri atas K.H. Aniq Muhammadun, K.H. Kholilurrohman, K.H. Ahmad Roziqin, dan K.H. Imam Abi Jamroh, telah mempresentasikan keputusan tersebut dalam forum Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LBM PBNU di Wisma Taman Wiladatika Cibubur, Kamis (6/9).           

"Semua peserta rakernas dapat memahami keputusan haram PLTN Muria. Semua peserta juga dapat mendudukkan antara aplikasi nuklir yang hukumnya mubah dan aplikasi nuklir dalam PLTN Muria yang diharamkan oleh ulama Jepara," kata Nuruddin Amin.

Mengenai aplikasi nuklir dalam konteks PLTN di tingkat nasional, Nurudin mengatakan, akan menjadi kajian lebih mendalam di tingkat PBNU.

Menurut dia, hasil  pembahasan para ulama yang akhirnya memutuskan fatwa haram untuk PLTN Muria sudah sesuai ketentuan, "al-ijtihad laa yunqodlu bi al-ijtihad" atau hasil ijtihad ulama tidak dapat dianulir oleh hasil ijtihad yang lain.

"Jadi, keputusan ini tidak dapat dianulir oleh PWNU ataupun PBNU sekalipun karena sifatnya juga kontekstual di Jepara," katanya.

Menurut dia, keputusan tersebut antara lain didasarkan kaidah "dar’ul mafasid muqoddamun ’ala jalbil mashalih" (mencegah kerusakan atau dampak negatif harus didahulukan daripada mencapai kebaikan atau dampak positifnya).

Ia menjelaskan, seringkali ada mafsadah (keburukan) dan maslahat (manfaat) berkumpul dalam sebuah perkara. Alquran mencontohkan "khamr" (minuman keras) dan "maisir" (judi), yang diakui ada manfaatnya, akan tetapi dampak negatif atau dalam bahasa Alquran disebutkan sebagai "itsmuhuma akbaru min naf’ihima" (dosanya lebih besar daripada manfaatnya) sehingga hukumnya haram.

"Ketentuan Alquran ini kemudian jadi rujukan utama dan dirumuskan dalam berbagai kaidah fikih," kata Gus Nung, sapaan Nuruddin Amin. 

Mengenai aplikasi nuklir kecuali pada PLTN, kata dia, tidak menjadi perbincangan dalam mubahatsah alim ulama di Jepara, sebab aplikasi nuklir selain untuk PLTN, hukumnya mubah. Apalagi untuk kepentingan kedokteran, pertanian, dan rekayasa genetika lain yang membawa manfaat.

"Makanya kita kan tidak pernah bereaksi negatif terhadap hal itu. Silakan ada reaktor penelitian di Yogyakarta, di Bandung, dan di Serpong. Itu untuk kebutuhan pengembangan keilmuan yang sangat bermanfaat," katanya.

PCNU Jepara mengingatkan, jangan sekali-sekali melakukan simplifikasi bahwa reaktor PLTN itu sama dengan reaktor penelitian di Serpong.

Kapasitas reaktor PLTN Muria yang rencananya dibuat besarnya 4x1.000 MW, katanya, jelas lebih besar dibandingkan dengan reaktor penelitian Serpong, yang kalau dijadikan listrik, kapasitasnya hanya 30 MW.

Reaktor nuklir di Serpong bertujuan menghasilkan radio isotop dan penelitian material yang bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan, sedangkan reaktor PLTN semata-mata menghasilkan panas yang digunakan untuk menggerakkan turbin generator listrik.

Menurut dia, kapasitas limbah yang dihasilkan juga berbeda. Limbah PLTN jauh lebih besar, di antaranya terdapat limbah tingkat tinggi (high level waste) atau disebut plutonium, yang usia radiasinya 24.000 tahun.

Hingga kini, kata dia, belum ada teknologi yang dapat menetralkannya. "Ini diakui oleh semua ahli nuklir, baik yang pro maupun yang kontra-PLTN," katanya menandaskan.

Dalam pembahasan fikih yang lalu, kata dia, limbah itu dikategorikan sebagai "mafsadah muhaqqoqoh" (dampak negatifnya nyata).

Mengenai argumentasi adanya krisis energi, menurut dia, dalam pembahasan fikih dipandang masih bersifat "mauhumah" atau "dhanni" (perkiraan), sedangkan kebutuhan untuk memenuhinya, termasuk dalam kategori kebutuhan "tahsiniyyah" (tersier atau kebutuhan kemewahan), bukan "hajiyyah" (kebutuhan sekunder), apalagi "dharuriyyah" (kebutuhan primer).

Padahal dari sisi kapasitas PLTN menyediakan listrik, kata Gus Nung, sebenarnya kemampuan PLTN hanya mempunyai kontribusi 2-4 persen dari kebutuhan energi nasional, sedangkan persediaan energi lain yang lebih aman masih relatif banyak, seperti batubara, gas alam, angin, matahari, gelombang laut, "biofuel", bioetanol, dan lain-lain yang dimiliki Indonesia.

PCNU Jepara juga menilai, pemerintah tidak melibatkan masyarakat dalam memutuskan PLTN Muria dan tidak pernah melakukan sosialisasi.

Dalam hal ini pemerintah tidak memenuhi prinsip fikih "siyasah" yang menyatakan "tashorruful imam ’alarra’iyyah manuthun bil-mashlahah" (kebijakan pemerintah harus mengikuti kemaslahatan rakyat). Rencana PLTN Muria juga telah mengakibatkan kegelisahan masyarakat atau "tarwi’ul muslimin".

"Seluruh pertimbangan itulah yang membuat para ulama memutuskan PLTN Muria hukumnya haram," kata Gus Nung menegaskan. (ant/din)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait