Warta

PBNU: Shalat Jenazah Koruptor Tetap Harus, Tapi Ulamanya Jangan Ikut

Sabtu, 21 Agustus 2010 | 08:41 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan tidak pernah mengeluarkan fatwa mengenai larangan untuk menshalatkan jenazah koruptor yang beragama Islam, karena hukum menyelenggarakan shalat jenazah adalah fardlu kifayah. Namun para ulama atau kiai dianjurkan untuk tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor sebagai sebuah sanksi sosial untuk tindak pidana korupsi.

Penegasan ini penting disampaikan terkait banyaknya kalangan yang salah faham terhadap fatwa yang diputuskan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama, 25-28 Juli 2002 di Asrama Hji Pondok Gede, Jakarta.<>

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengatakan, fatwa agar para ulama tidak menshalatkan jenazah koruptor itu berdasar pada hadits Nabi Muhammad SAW. Bahwa suatu ketika Nabi memerintahkan agar para sahabat menshalatkan jenazah seorang sahabat yang meninggal dalam perang Khaibar, namun Nabi sendiri tidak ikut menshalatkannya.

Para sahabat kemudian bertanya mengapa Nabi tidak ikut menshalatkan jenazah si fulan? Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya sahabatmu ini telah melakukan korupsi di jalan Allah.’ Setelah sahabat memeriksa ternyata ditemukan sahabat yang meninggal tadi telah mengambil dan menyembunyikan harta rampasan perang (ghanimah) senilai dua dirham sebelum harta-harta ghanimah itu dibagi.

“Jadi NU mengikuti mengikuti Nabi menyarankan agar para ulama tidak ikut menshalatkan jenazah koruptor. Tapi shalat jenazah tetap harus dilakukan karena hukumnya fardlu kifayah yang berarti cukup dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Maka biarlah yang menshalatkan orang lain saja, atau keluarganya,” kata Said Aqil kepada NU Online di Jakarta, Sabtu (21/8).

Menurutnya, fatwa agar ulama atau kiai tak menshalatkan jenazah itu dimaksudkan agar memunculkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana korupsi. “Sekarang ini kurupsi di Indonesia sudah sangat akut maka perlu ada sanksi sosial buat para koruptor,” katanya. (nam)


Terkait