Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menghimbau kepada pemerintah agar pemerintah bisa mempertimbangkan secara seimbang antara larangan anak-anak keluar aceh dengan kemungkinan terjangkitnya wabah penyakit.
"Artinya kalau memang perkiraan wabah penyakit tidak begitu membahayakan maka sebaiknya anak-anak tidak keluar Aceh tetapi kalau ternyata nanti pada ukuran-ukuran tertentu bahwa akan terjadi wabah penyakit maka sebaiknya juga pemerintah membuat kalkulasi ulang tentang isolasi Aceh," ungkap ketua umum PBNU, KH. Hasyim Muzadi dalam jumpa pers di lt 5 gedung PBNU, Kramat Raya 164, Selasa (18/1).
<>Menurutnya, pertimbangan tersebut dilakukan agar pemerintah dapat mengkalkulasi kondisi di Aceh terkait dengan wabah penyakit yang dikabarkan mulai menyerang sebagian pengungsi dan di tambah lagi sekarang mulai terjadi banjir di Aceh. "Pemerintah harus tanggap secara dini agar anak yatim piatu yang menjadi korban tsunami tidak terus bertambah menderita, karena itu pemerintah harus secara serius melakukan investigasi mana yang lebih baik di lakukan untuk menyelamatakan masa depan mereka," katanya di hadapan wartawan.
Karena itu, lanjut Hasyim jangan sampai keinginan baik pemerintah untuk tidak membawa anak-anak korban gempa dan tsunami keluar dari Aceh akan tetapi kondisi di sana juga rawan wabah penyakit. "Ini memang dilematis, untuk itu pemerintah harus mengambil kebijakan secepatnya supaya pemulihan Aceh bisa di percepat," tambahnya.
Pasca bencana tsunami, diperkirakan ada 35 ribu anak-anak Aceh yang terlantar. Mereka tidak punya tempat tinggal, jadi yatim piatu atau terpisah dengan anggota keluarganya. Nasib mereka rawan oleh tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi kondisi kesehatan, pendidikan, masa depan mereka dan motif tesembunyi pihak-pihak tertentu dibalik misi kemanusiaan mereka.
Pada kesempatan tersebut, Hasyim selaku ketua PBNU juga mengaku mendapatkan keluhan dari beberapa negara Islam yang juga turut memberikan bantuan tetapi tidak mendapatkan pemberitaan secara seimbang, padahal bantuan mereka itu grand (hibah) bukan loan (pinjaman lunak). "Kemarin saya bertemu dengan Saudi yang mewakili 17 negara Islam dan 17 duta besar negara-negara Islam yang ada di Jakarta kalau mereka menyampaikan keluhan pemberitaan bantuan mereka di Indonesia, ketimbang negara-negara lain yang membantu, padahal bantuan mereka itu kebanyakan berbentuk loan," ujar Hasyim mengutip pernyataan mereka.
Kepada negara-negara Islam tersebut Hasyim juga memberikan kesempatan untuk melakukan konferensi pers di gedung PBNU kepada media pers di Indonesia baik cetak maupun elektronik agar dapat menyampaikan secara langsung publikasi bantuan yang telah mereka lakukan selama ini. (cih)